Background: Inclusive education ensures equitable access for students with special needs, yet implementation in Indonesia faces challenges like limited resources, insufficient teacher training, and societal stigma. Knowledge Gap: While studies examine teacher attitudes and institutional challenges, the role of government policy remains underexplored. Aim: To analyze the implementation of government policies on inclusive education. Results: Qualitative analysis revealed gaps in training and funding, contrasting with successful policy instruments supporting inclusion. Novelty: This study identifies disparities between policy frameworks and their practical application. Implications: Collaborative efforts among stakeholders and enhanced cultural support are crucial for effective policy implementation and better educational outcomes.
Highlights:
Keywords: Inclusive Education, Government Policy, Teacher Training, Societal Stigma, Resource Allocation
Sebagian manusia terlahir dengan fisik tidak sempurna, kecacatan fisik atau kognitif berasal dari berbagai faktor genetik, kecelakaan, keadaan eksternal, atau usia lanjut. Dalam beberapa hal, intervensi medis atau teknologi dapat menghilangkan kecacatan tersebut [1]. Nilai moral, individual, kehidupan sosial, dan kesadaran lingkungan bisa dipahami siswa, dan bisa digunakan sekolah untuk mengonstruksi moral dalam pendidikan karakter [2].
Pendidikan inklusif memberikan siswa hak akses, hadir, berpartisispasi, dan sukses di sekolah. Lingkungan pembelajaran kondusif mendukung tercapainya tujuan pembelajaran optimal [3]. Pendidikan inklusif menjamin penyertaan siswa khusus, kelompok siswa menjadi kelas regular, Special educational needs and/or disabilities (SEND), menjadi bagian tidak terpisahkan di masyarakat, melalui perlakuan khusus, akan mampu terlibat dalam pembangunan [4].
Pendidikan inklusif di sekolah formal diatur melalui PP Nomor 70 Tahun 2009, menjelaskan siswa berkebutuhan khusus dan berkemampuan luar biasa, diterima di sekolah reguler yang telah ditetapkan 'sekolah inklusif' dan dialokasikan dana tambahan [5]. Berdasarkan UUD 1945, disabilitas merupakan bagian integral masyarakat, mereka menikmati hak dan kewajiban sama dengan lainnya [6]. Pembelajaran di sekolah menyebabkan interaksi siswa, interaksi tersebut memengaruhi siswa disabilitas dan termotivasi telibat aktif [7]. Metode terbaik pembelajaran melalui berbagai diskusi dan berkesinambungan, semua pihak merasa dihormati, sehingga berani berpendapat [8]. Pembelajaran yang inklusi dapat diterapkan untuk mengembangkan demokrasi belajar dan mengoptimalkan potensi peserta didik [9].
Pertimbangan memilih tema implementasi kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusi saat ini sebagai obyek penelitian, pertama perspektif tenaga pendidik terhadap implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan inklusi. Sebagian besar guru/tenaga pendidik inklusi/disabilitas menganggap kebijakan pemerintah belum optimal, terutama gaji guru honorer yang relatif kecil, sedangkan tingkat kesulitannya lebih besar. Kedua jumlah lembaga pendidikan inklusi. Saat ini relatif belum banyak sekolah luar biasa dan tenaga pengajar berkualifikasi pendidikan luar sekolah, sehingga banyak abk/inklusi belum sempat mengenyam pendidikan di lembaga formal pendidikan luar biasa, karena kesulitan mengakses sekolah tersebut. Ketiga perspektif budaya masyarakat, yang relatif beranggapan negatif terhadap abk/inklusi, sehingga suatu keluarga akan menjadi ‘malu’.
Beberapa penelitian terkait pendidikan inklusi, pertama The Individualized Instruction Application For Personal-Social Skills Of Students With Intellectual Disabilities. [10]. Kedua Who’s included and Who’s not? An analysis of instruments that measure teachers’ attitudes towards inclusive education. Penelitian ketiga Tantangan Dan Strategi Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi di Indonesia: Literature Review. Keempat Constructing inclusive teacher identity in a Finnish international teacher education programme: Indonesian teachers' learning and post-graduation experiences. Kelima Implementasi Pendidikan Inklusif Sebagai Perubahan Paradigma Pendidikan Di Indonesia.
Sementara ini tema pendidikan inklusi telah dianalisis dari aspek: sikap guru terhadap pendidikan inklusif, tantangan dan strategi mengoptimalkan pendidikan inklusi di Perguruan Tinggi, penyelenggaraan pendidikan inklusi, rekonstruksi identitas guru inklusif, dan pembelajaran individu. Belum ditemui tema analisis implementasi kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusi saat ini, karena itu peneliti menganggap penting tema tersebut. Penelitian terhadap implementasi kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusi saat ini dan penelitian terdahulu relatif memiliki perbedaan dalam aspek teori yang digunakan, sedangkan persamaan penelitian terdahulu dan penelitian ini yaitu menggunakan metode kualitatif.
Fokus analisis penelitian ini terkait implementasi kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusi. Tujuan penelitian ini menganalisis bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi. Manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Diharapkan dapat dipahami implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi. 2. Diharapkan pembaca bersikap lebih arif dan obyektif saat memahami realitas implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi saat ini. 3. Dapat ditemukan berbagai solusi terbaik terkait permasalahan pendidikan inklusi saat ini.
Pendidikan inklusi merupakan suatu pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang berkebutuhan pendidikan khusus di lembaga pendidikan/sekolah regular (SD, SMP, SMU, SMK), tergolong luar biasa baik dalam arti kelainan, lamban belajar maupun berkesulitan belajar lainnya (Asrori, 2020, p. 118). Hasil belajar siswa dipengaruhi beberapa faktor,: 1. Internal (dari dalam diri). Kesehatan, Intelegensi dan bakat, Minat dan motivasi, Cara belajar. 2. Eksternal (dari luar diri): Keluarga, Sekolah, Masyarakat, lingkungan sekitar. Berhasil atau tidak dalam mencapai hasil belajar, akan sangat dipengaruhi dialektika faktor internal dan eksternal yang ada (Asrori, 2020, p. 139)
Tujuan pembelajaran di sekolah dipengaruhi dua faktor, yakni 1. Dalam diri (intern), meliputi: a. jasmaniah (faktor kesehatan, cacat tubuh). b. psikologis (inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan). c. kelelahan. 2. Di luar diri (ekstern), meliputi: a. keluarga (cara pendidikan, status ekonomi, suasana). b. lembaga sekolah (metode mengajar, peraturan sekolah, kurikulum). c. masyarakat (bentuk relasi, latar belakang relasi.) Berhasil atau tidaknya mencapai tujuan belajar akan dipengaruhi faktor yang berasal dari dalam dan dari luar diri sendiri.
Metode penelitian ini kualitatif, yakni bergantung pengamatan manusia, baik dalam wilayahnya maupun dalam peristilahannya. Bertujuan mengerti fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah [11].
Paradigma merupakan cara analisis ilmiah yang memungkinkan semua rumusan masalah dijawab dengan baik, bertujuan mendapat pemahaman komprehensif tentang analisis implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kualitatif deskriptif, melalui wawancara mendalam dan interpretasi peristiwa. Instrumen penelitian adalah human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan instrumen penelitian sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat simpulan atas temuannya [12].
Langkah-langkah tersebut sesuai pendapat Creswell bahwa peneliti kualitatif melihat fenomena sosial secara komprehensif, melihat gejala yang ada sebagai satu kesatuan utuh, sarana menggali dan memahami makna individu atau kelompok, analisis data secara induktif dan diperoleh melalui studi pustaka, wawancara mendalam, FGD, dan observasi lapangan [13]. Wawancara mendalam dilakukan dengan pertimbangan obyektifitas, keluasan informasi, dan kompetensi, dilakukan kepada tujuh narasumber dengan berbagai profesi di tiga kota: Surabaya, Yogyakarta, dan Sidoarjo. Ketujuh narasumber tersebut meliputi: staf penerjemah pusat bahasa yang inklusi, dosen dengan disabilitas, pengajar SLB, guru SD, dokter dengan putra tergolong inklusi, dan aktifis Pendidikan Inklusi/ABK.
Data sekunder terkait objek kajian, menunjang validitas analisis objek, meliputi data umum dan pribadi. Data umum: buku, makalah, koran, majalah, catatan rapat, laporan resmi. Data pribadi: jurnal pribadi, catatan harian, surat, surat elektronik [14]. Data sekunder penelitian ini berasal dari berbagai artikel jurnal ilmiah dan berbagai buku terkait Pendidikan Inklusi/ABK.
Menganalisis obyek kajian berdasarkan data yang ada, menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Memahami tema implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi menyangkut masalah interdisipliner, sehingga analisisnya menghubungkan data yang ada dan sesuai dengan berbagai literatur. Obyek kajian dianalisis dengan teori Psikologi Pendidikan. Tinjauan pustaka sistematis, baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan proses penting menyusun simpulan penelitian ini, sehingga memungkinkan efektifitas teori ilmiah dan praktik berbasis data, kedua jenis tinjauan tersebut penting untuk mendukung literatur Psikologi Organisasi dan perilaku [15]. Analisis data penelitian dilakukan dengan menjelaskan beberapa kutipan wawancara terkait implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi, serta temuan informasi saat FGD.
Hasil belajar siswa dipengaruhi faktor Internal (Kesehatan, Intelegensi dan bakat, Minat dan motivasi, Cara belajar) dan Eksternal (Keluarga, Sekolah, Masyarakat, lingkungan sekitar) [16]. Tujuan pembelajaran di sekolah juga dipengaruhi dua faktor, yakni intern meliputi: a. jasmaniah (faktor kesehatan, cacat tubuh). b. psikologis (inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan). c. kelelahan. 2. ekstern meliputi: a. keluarga (cara pendidikan, status ekonomi, suasana). b. lembaga sekolah (metode mengajar, peraturan sekolah, kurikulum). c. masyarakat (bentuk relasi, latar belakang relasi.) [17]. Peran pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi terkait dengan faktor eksternal yang memengaruhi hasil belajar dan tujuan belajar, karena itu penting untuk menganalis temuan data saat penelitian, baik wawancara atau FGD.
Data penelitian terkait pertanyaan peran pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi saat ini, baik dari aspek kebijakan/UU pendidikan, alokasi anggaran, dll, mendapat jawaban bervariatif, menurut narasumber (2,4,7) yang berprofesi sebagai guru SLB/SD penyelenggara pendidikan inklusi, disebutkan bahwa peran pemerintah dinilai masih kurang peduli, dan untuk anggaran pendidikan inklusi, didapat dari dana BOSDA dan anggaran yang lain tidak ada (narasumber 4. Wawancara 2. B2). Sedangkan keterangan narasumber 2, Wawancara 2. B1, menjelaskan bahwa sejauh ini peran pemerintah belum dirasakan. Mungkin karena di wilayah yang bersangkutan sudah ada sekolah-sekolah khusus untuk anak anak inklusi, sehingga sekolah umum dinilai tidak perlu mendapat bimbingan secara khusus. Menurut narasumber 7. Wawancara 1. A2, lebih jelas disebutkan bahwa akses pendidikan inklusi masih terbatas. Pemahaman dan kompetensi pendidikan inklusi, baik bagi sekolah dan para tendiknya juga sangat terbatas. Pelaksanaan hanya sebatas terlaksana saja, tanpa ada arahan dan verifikasi yang jelas terhadap pemenuhan kebutuhan ABK dan orang tua ABK.
Terkait pertanyaan hal apa sajakah yang masih perlu dikembangkan dalam aspek pendidikan/pembelajaran inklusi/ABK/Disabilitas di Indonesia? Narasumber penelitian memberikan jawaban bervariatif, narasumber (2,4,7) berprofesi sebagai guru SLB/SD penyelenggara pendidikan inklusi. Narasumber 4, (wawancara 2, B2) mengatakan yang perlu dikembangkan adalah menyiapkan generasi untuk bisa tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, intelektual, mental, sosial dan spiritual dalam rangka memasuki kehidupan nyata di dalam berbagai lingkungan sosial yang terus berkembang dan dinamis. Membatasi ABK dari akses pendidikan yang terbuka dan bermutu, tentu tidak ’humanis’, dan jika hal itu dibiarkan terus menerus, berarti kita menyetujui ’dehumanisasi’ pendidikan. Oleh karena itu berbagai alternatif model pendidikan bagi ABK perlu terus dikembangkan, diperluas dan ditemukan, sehingga banyak pilihan yang dapat disodorkan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing.
Jawaban narasumber 2, Wawancara 2. B1 menjelaskan “Aspek yang perlu dikembangkan adalah sosialisasi dari pihak dinas pendidikan atau instansi terkait, bagaimana cara yang tepat untuk memberikan pengajaran kepada anak inklusi supaya tepat/tidak salah asuhan”. Sedangkan narasumber 7. Wawancara 2. A2 menegasakan tentang penggalian kembali budaya Indonesia yang sebenarnya sudah luhur. Saling asah asih asuh, tepo seliro, dan guyub rukun sebenarnya bisa mengejawantah dalam bentuk dukungan penuh dan menyeluruh bagi Pendidikan, pembelajaran ABK dan juga tim pendukung bagi orangtua ABK. Kondisi burn out pada orangtua ABK atau pun keluarga inti ABK cukup sering terjadi. Mereka perlu tim pendukung agar kesehatan mental mereka tetap terjaga, sehingga ABK bisa tetap sejahtera lahir dan batin.
Jawaban narasumber saat FGD tentang kebijakan pemerintah terkait pendidikan khusus tampak sangat berbeda dengan jawaban narasumber saat wawancara, karena menegaskan adanya peran aktif pemerintah melalui berbagai kebijakan. Pertama terdapat beberapa kebijakan peraturan/UU yang telah diambil: 1. UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, 2. Permendiknas No 23 tahun 2008 tentang standar kualifikasi dan kompetensi guru pendidikan khusus, 3. Permendiknas No 07 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelaian dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. 4. UU No. 9 Tahun 2011. tentang pengesahan konvensi hak penyandang disabilitas (Convention on The Right Of Persons With Disabilitas). 5. UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas pasal 10 menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak untuk mendapat layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang Pendidikan. 6. PP No 13 Tahun 2020 tentang akomodasi layak bagi peserta didik penyandang disabilitas. 7. Keputusan Mendikbudristek No 56/M/2022 tentang pedoman penerapan kurikulum dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
Lebih lanjut, narasumber FGD menjelaskan tentang kebijakan kedua, langkah penguatan pelayanan dan dukungan terhadap lembaga SLB di Jawa Timur, meliputi : 1. Memperkuat kerjasama antara dinas dengan lembaga SLB untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan kepada siswa berkebutuhan khusus. 2. Menyusun program pembinaan dan pelatihan bagi tenaga pendidik dan kependidikan di SLB untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memberikan layanan inklusif dan berkualitas. Kebijakan ketiga. Memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana di sekolah SLB baik melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun anggaran pemerintah daerah. Terdapat juga langkah 3. peningkatan efektivitas proses administrasi perizinan, meliputi: 1. Meningkatkan efisiensi dalam penerbitan rekomendasi dan perizinan bagi lembaga pendidikan khusus, termasuk perpanjangan izin operasional, pendirian lembaga baru, dan perubahan nomenklatur lembaga. 2. Memastikan proses perizinan berjalan transparan, cepat, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Selain itu narasumber juga menjelaskan adanya kebijakan keempat. Pengembangan program pendidikan inklusif, meliputi: 1. Mengembangkan program pendidikan inklusif di sekolah baik negeri maupun swasta di Jawa Timur dengan menyediakan dukungan, sumber daya, dan pelatihan bagi guru dan staf sekolah. 2. Memperluas aksesibilitas pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus di berbagai tingkat pendidikan menengah. Terkait pembiayaan, narasumber menjelaskan tentang kebijakan kelima. Pemberdayaan program beasiswa afirmasi dan repatriasi, meliputi: Memberikan pendampingan dan pelayanan yang holistik kepada peserta Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) Papua dan ADEM Repatriasi, termasuk dalam hal bimbingan akademik, psikososial, dan pengembangan keterampilan. Kebijakan keenam adalah Pengembangan program vokasi istimewa dan abkistimewa.id, meliputi:1. Mengembangkan dan meningkatkan efektivitas Program Vokasi Istimewa dengan fokus pada penyediaan pelatihan keterampilan yang relevan dan mendukung kemandirian siswa SLB. 2. Mengoptimalkan penggunaan platform abkistimewa.id sebagai alat untuk implementasi kurikulum merdeka belajar di SLB, serta untuk dokumentasi dan promosi hasil-hasil program vokasi.
Narasumber FGD juga menjelaskan kebijakan ketujuh, program kolaborasi dengan industri untuk pemberdayaan anak berkebutuhan khusus: 1. Memperkuat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan untuk memberikan kesempatan kerja kepada lulusan SLB, terutama yang memiliki hambatan pendengaran atau berkebutuhan khusus lainnya. 2. Mendorong pembentukan program kerja sama antara sekolah dan industri dalam bentuk magang, pelatihan kerja, atau penempatan kerja bagi siswa berkebutuhan khusus. Program terakhir/kedelapan terkait peningkatan kreativitas dan prestasi anak berkebutuhan khusus: 1. Mewadahi dan mendukung partisipasi siswa berkebutuhan khusus dalam berbagai lomba dan kompetisi, seperti LKSN, O2SN, dan FLS2N. 2. Memberikan pelatihan dan dukungan kepada guru dan siswa untuK mempersiapkan dan mengikuti berbagai kompetisi tersebut. 3. Memperkuat kerjasama antara dinas dengan lembaga SLB. 4. Menyusun program pembinaan dan pelatihan SLB.
Terdapat delapan kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi, namun berdasarkan data penelitian, dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan efektif. 1. Kebijakan Peraturan/UU, 2. Penguatan Pelayanan Dan Dukungan Terhadap Lembaga SLB Di Jawa Timur, 3. Peningkatan Efektivitas Proses Administrasi Perizinan, 4. Pengembangan Program Pendidikan Inklusif, 5. Pemberdayaan Program Beasiswa Afirmasi Dan Repatriasi, 6. Pengembangan Program Vokasi Istimewa Dan Abkistimewa.Id, 7. Kolaborasi Dengan Industri Untuk Pemberdayaan Anak Berkebutuhan Khusus, 8. Peningkatan Kreativitas Dan Prestasi Anak Berkebutuhan Khusus.
1. Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Berdasarkan temuan data penelitian, terdapat dua realitas data berbeda terkait implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi selama ini, menurut pendidik/guru di lembaga SLB/sekolah penyelenggara, pemerintah masih kurang optimal dalam aspek pelatihan terhadap guru dan pembayaran gaji, sedangkan menurut narasumber FGD, justru pemerintah sudah optimal dengan membuat sejumlah instrumen pendukung. Data penelitian yang menegasi implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi muncul dari para guru/pendidik yang merasakan langsung dampak implementasi kebijakan pemerintah di lapangan. Data penelitian yang mengafirmasi implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi berasal dari narasumber FGD, yang juga praktisi pendidikan, dan menyampaikan berbagai panduan kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusi.
Kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusi, perlu mendapatkan pengawasan ketat semua pihak agar bisa efektif dilaksanakan. Keluhan dari para pendidik terkait gaji dan fasilitas pendukung pendidikan inklusi, serta realitas di masyarakat yang relatif menganggap ABK/disabilitas sebagai hal yang memalukan karena dianggap aib. Hal tersebut merupakan catatan penting semua pihak, bahwa implementasi kebijakan pemerintah belum sepenuhnya efektif. Tercapainya tujuan pembelajaran dan hasil pembelajaran, salah satunya ditentukan oleh aspek lembaga sekolah, yang di dalamnya terdapat dialektika antara guru/pendidik, kebijakan pemerintah, dan peran masyarakat.
Terkait permasalahan dalam implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi, sebaiknya dinas pendidikan atau instansi terkait perlu perlu merumuskan lagi kebijakan pengajaran kepada anak inklusi supaya tepat/tidak salah asuhan. Selain itu dinas pendidikan juga perlu menegaskan tentang penggalian kembali budaya luhur Indonesia. Saling asah asih asuh, tepo seliro, dan guyub rukun bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk dukungan penuh dan menyeluruh bagi terhadap aspek pendidikan, pembelajaran ABK dan juga eksistensi tim pendukung secara moral dan psikologis terhadap orang tua ABK. Kondisi burn out pada orangtua ABK atau pun keluarga inti ABK sering terjadi, karena itu mereka perlu tim pendukung agar kesehatan mental mereka tetap terjaga, sehingga ABK bisa tetap sejahtera lahir dan batin.
Kebudayaan luhur bangsa wajib dilestarikan semua pihak, meski saat ini terdapat pengaruh kuat globalisasi, agar generasi penerus masih bisa mewarisi nilai-nilai luhur yang sudah menjadi identitas Indonesia. Adat dan budaya nasional, merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai, demikian pula dalam aspek pendidikan, seyogyanya berakar kuat pada nilai luhur adat budaya bangsa. Nilai asah asih asuh, tepo sliro, guyub rukun, saling menghormati terutama yang lebih tua, kejujuran, dan lain-lain wajib dilestarikan selain produk budaya seperti pakaian adat, rumah adat, masakan tradisonal, dan lain-lain.
Tujuan pendidikan adalah mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki generasi muda serta mewariskan nilai luhur karakter mulia bangsa. Menjadi kewajiban semua pihak untuk menyiapkan generasi penerus bangsa agar bisa tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, intelektual, mental, sosial dan spiritual dalam kehidupan nyata di dalam berbagai lingkungan sosial yang terus berkembang dan dinamis. Membatasi ABK dari akses pendidikan yang terbuka dan bermutu, akan menjadi sikap yang tidak ’humanis’, dan jika hal tersebut diabaikan dalam jangka panjang, maka secara tidak langsung, pihak yang terkait akan dianggap menyetujui praktik ’dehumanisasi’ dalam pendidikan di Indonesia. Implementasi kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusi, merupakan tindakan positif negara, namun di lapangan menemui berbagai kendala, karena itu perlu sinergi semua pihak untuk mengawasi dan memastikan kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya, serta tidak ada pihak yang dirugikan.
Berdasarkan analisis, terdapat realitas data yang bersifat menegasi dan mengafirmasi terkait implementasi kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi. Menurut realitas data yang bersifat menegasi, pemerintah masih belum optimal dalam aspek pelatihan terhadap guru dan pembayaran gaji, sedangkan menurut realitas data yang bersifat mengafirmasi, justru pemerintah sudah optimal dengan membuat sejumlah instrumen pendukung. Perlu sinergi semua pihak untuk mengawasi dan memastikan kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya, serta tidak ada pihak yang dirugikan.