Abstract

Modern retail is a business channel selling consumer goods directly and indirectly with the fastest growth for consumer goods companies in Indonesia. With the rapid growth of the modern retail business in the Sidoarjo area, it is enough to cover the existence of traditional retail in the vicinity. After the enactment of the Sidoarjo Regency Regulation Number 10 of 2019 concerning Supermarket Arrangement in Sidoarjo Regency, can the regulation provide protection and maintain the consistency of the existence of traditional retail amidst the proliferation of modern retail. The research uses normative research based on the legal approach. With the changes in the Regional Regulation of Sidoarjo Regency Number 10 of 2019 concerning Arrangement of Supermarkets in Sidoarjo Regency from the previous regulation, Regent's Regulation Number 36 of 2016 concerning Arrangement of existing Minimarkets and the changes made.

Pendahuluan

Perkembangan ritel modern di Indonesia kini sudah meraba di pinggiran kota hingga pedesaan, [1] tingginya jumlah penduduk membuat meningkatnya akan kebutuhan hidup khususnya barang dan jasa. Berkembangnya ritel modern ini sudah menggantikan sebagian besar keberadaan ritel tradisional di Indonesia, Ritel modern biasa kita sebut dengan toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan . (Perpres No. 112 Th 2007) Pesatnya pertumbuhan ritel modern terutama minimarket membuat resah pedangang kecil, entah itu pedagang yang ada di ritel tradisional ataupun toko kelontong yang ada di pinggir jalan, jarak yang bedekatan [2] bahkan banyak yang bersebelahan atau hanya berseberangan dipisahkan jalan raya menjadi faktor utama penyebab timbulnya persaingan usaha, pelayanannya yang berkualitas membuat kehadirannya dapat diterima oleh masyarakat, meningkatnya kebutuhan masyarakat merupakan alasan utama para pelaku usaha minimarket untuk tetap bertahan dan berkembang dalam dunia bisnis. [3]

Menjamurnya minimarket ini memang menimbulkan dampak yang positif dan negatif bagi masyarakat, karena kehadiran minimarket sangat menguntungkan bagi masyarakat non pedagang. Faktor jam buka yang lebih lama membuat masyarakat bisa berbelanja kapanpun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tempat yang bersih dan ber- ac memang memiliki nilai lebih bagi masyarakat, berbeda dengan ritel tradisional yang tidak mengutamakan kenyamanan dalam berbelanja serta terkadang tidak lengkapnya barang kebutuhan sehari-hari. Tapi jika kita melihat dari kacamata pedagang, pesatnya minimarket ini membuat penurunan pendapatan mereka, minimnya modal usaha membuat mereka tidak mampu untuk bersaing. Maka dari itu, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sebagai upaya pemerintah untuk berusaha dalam memfasilitasi pembangunan ekonomi di bidang perdagangan dengan memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat mencakup koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah merupakan pilar pembangunan ekonomi nasional. Konsep undang-undang perdagangan ini menjadi salah satu prinsip pembangunan ekonomi nasional sebagaimana pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dalam memfasilitasi pembangunan ekonomi bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai bidangnya dengan menyediakan sarana dan prasarana perdagangan, menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam menjaga keseimbangan perkembangan dan juga kesatuan ekonomi. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang tercantum dalam Pasal 67 ayat (1) “Pemerintah menetapkan kebijakan perlindungan dan pengamanan Perdagangan”, namun dalam penetapan kebijakan perlindungan dan pengamanan perdagangannya diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Konsep perlindungan yang diatur dalam penataan ritel modern dan tradisional yakni harus memenuhi syarat ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus melakukan analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang melihat pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Di Sidoarjo terdapat 22 ritel tradisonal yang sudah berjalan [2] dan terdapat sekitar 450 minim arket yang tersebar di kota ini, apabila dipresentasikan ritel tradisional mencapai 9,52% sedangkan ritel modern mencapai 90,47%. Dari sini kita bisa melihat bahwa ritel tradisional akan kehilangan tempat dan eksistensinya pada masyarakat, sedangkan payung hukum yang melindungi ritel tradisional dan pedagang kecil di Kabupaten Sidoarjo mulai dari Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 20 Tahun 2011 tentang Penataan Minimarket yang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo hingga Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo belum bisa diimplementasikan sebagaimana mestinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan cara mengolah bahan hukum secara umum dan menganalisis permasalahan hukum berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan analisis deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umun di tarik menjadi kesimpulan yang lebih khusus, dilakukan analisis secara jelas, sistematis pada bahan hukum tersebut

Hasil dan Pembahasan

4.1. Penataan Ritel Modern di Kabupaten Sidoarjo

A. Kebijakan Penataan Ritel Modern di Kabupaten Sidoarjo

Ritel modern terdiri dari supermarket, supermall, hypermarket,dan minimarket. Berdasarkan beberapa jenis dari toko modern tersebut, minimarket merupakan salah satu ritel yang mengalami perkembangan sangat pesat di Kabupaten Sidoarjo. Hal tersebut tentunya menimbulkan kerugian bagi pedagang ritel tradisional dan pedagang kecil lainnya, dikarenakan keberadaan minimarket telah masuk hingga desa-desa dan perkampungan. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menginginkan supaya keberadaan ritel modern menjadi lebih tertata dengan menerbitkan Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 20 Tahun 2011 tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo, namun kebijakan tersebut hanya berlaku selama 5 (lima) tahun karena dialihkan dengan Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo. Substansi dari kedua kebijakan tersebut tidak mengalami banyak perubahan, hanya saja lebih memperjelas akan sanksi administratif serta aturan mengenai kewajiban dan larangan. Selain itu, perbedaan juga terletak pada aturan tentang jarak pendirian ritel modern dengan ritel tradisional yang dikelola pemerintah, yang awalnya 300 meter berubah menjadi 500 meter. Dilanjutkan dengan perubahan jam kerja yang bertambah 1 (satu) jam pada hari senin hingga jum’at, yang mulanya dimulai pukul 08.00 wib hingga pukul 22.00 WIB menjadi pukul 07.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB, serta bertambah 3 (tiga) jam pada hari sabtu dan minggu yang awalnya dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB, menjadi pukul 07.00 WIB sampai 24.00 WIB.

Berselang 3 (tiga) tahun kemudian pada tahun 2019 muncullah peraturan baru yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo. Namun, dalam pelaksanaannya dirasakan kurang efektif karena ketiga kebijakan tersebut belum bisa dijalankan sebagaimana semestinya.[1] Adapun alasan munculnya produk hukum tersebut tidak jauh berbeda dengan semangat dua produk hukum sebelumnya yaitu demi menjaga persaingan usaha yang adil terhadap ritel tradisional, umkm serta toko swalayan.

B. Kebijakan Penataan Ritel Modern di Sidoarjo Dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo

Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2016 dibuat untuk menggantikan Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2011 tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo (Berita Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2011 Nomor 20). Menurut PerBup ini, konsep ritel modern merujuk pada definisi toko swalayan dan minimarket yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Nomor 12 dan 13 yang menyatakan bahwa ritel modern adalah tempat usaha atau sarana sebagai penjualan barang kebutuhan sehari-hari dengan sistem pelayanan mandiri dengan penjualan langsung ke konsumen secara ecer maupun grosir dalam bentuk perkulakan. Pendirian ritel modern harus memperhatikan peraturan perundang-undangan dan analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat terkait keberadaan pasar rakyat dan UMKM.(Novita, 2018) Analisa tersebut dilakukan oleh lembaga yang kompeten dan independen terkait keberadaan pasar tradisioanl dan UMKM diantaranya meliputi struktur mata pencaharian penduduk, pendapatan ekonomi keluarga, penyerapan tenaga lokal, ketersediaan fasilitas sosial dan fasum, dampak positif dan negatif pendirian retail. Pendirian retail modern seperti minimarket harus disosialisasikan kepada pedagang kecil eceran hingga radius 100 meter.(Lihat Perbup No 36 Th 2016)

Untuk yang akan menjalankan ritel modern wajib memiliki IUTS yang diterbitkan oleh Kepala Badan Kabupaten Sidoarjo. IUTS ini berlaku selama ritel modern berada di lokasi yang sama pada saat pendaftaran dan wajib melakukan pendaftaran ulang selama 5 (lima) tahun sekali. Pengelola ritel modern harus memprioritaskan tenaga kerja yang berasal dari Sidoarjo sendiri, dengan perbandingan 70:30, selain itu pengelola juga harus memperhatikan jam kerja ritel modern yang sesuai dengan Perbup ini.

Siapapun yang akan membuka usaha ritel modern, UMKM dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha maupun pasokan dan dilaksanakan dengan prinsip saling menguntungkan, jelas, wajar, berkeadilan dan transparan. Terdapat juga pembatasan bagi pelaku usaha yang akan membuka gerai/outlet di tempat lain, jumlah maksimalnya adalah 150 gerai/outlet. Setiap pelaku usaha ritel modern diwajibkan untuk melaporkan tiap 6 bulan sekali kepada kepala dinas meliputi jumlah gerai yang dimiliki, omset penjualan, jumlah mitra UMKM, jumlah tenaga kerja yang diserap, dan sasaran CSR yang dilakukan kepada lingkungan setempat. Larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha yaitu melakukan pengusaan secara monopoli, menimbun barang, menjual barang yang dilarang, menggunakan tenaga kerja dibawah umur ataupun tenaga kerja asing, serta mendirikan tempat usaha baru sebelum dokumen perijinannya lengkap.Sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha jika tidak melanggar peraturan adalah berupa sanksi administratif.Sanksi ini berupa peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan IUTS, hingga penutupan kegiatan usaha.

Keberadaan kebijakan penataan ritel modern di Sidoarjo yakni dengan menggunakan Instrumen Perbup No. 36 Tahun 2016 yang digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan dan payung hukum untuk upaya penyelesaian masalah terkait keberadaan ritel modern.Dampak yang tidak diinginkan oleh pedagang tradisional begitu dirasakan karena mereka mengalami penurunan pendapatan sejak adanya keberadaan ritel modern di sekitar lingkungan mereka.

C. Kebijakan Penataan Ritel Modern di Sidoarjo Pasca Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo

Peraturan mengenai ritel modern di Sidoarjo mengalami penambahan peraturan pada tahun 2019, yaitu dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo.Perda ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada UMKM dan pasar rakyat, mengatur keberadaan dan pendirian toko swalayan di suatu wilayah, serta mewujudkan sinergi yang saling menguntungkan antara toko swalayan dan pasar rakyat.Selanjutnya perda ini menjelaskan tentang klasifikasi toko swalayan, dan persyaratan perijinan yang harus dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendirikan toko swalayan.

Toko swalayan juga memberikan dampak yang baik untuk lapangan pekerjaan.Prioritas pemenuhan tenaga kerja yang ber KTP Sidoarjo sebesar 75% dan sisanya diambil dari masyarakat yang mempunyai KTP luar Sidoarjo.Untuk hal lain-lain banyak yang diadopsi dari Perbup No.36 Tahun 2016 Tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo.

Berdasarkan pada analisis di atas terdapat perbedaan dari Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penataan Minimarket dengan Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo.

Selain terdapat adanya perbedaan, dalam Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan ini juga memuat beberapa tambahan kebijakan yang belumdiatursebelumnya. Poin-poin yang belum diatur dalam kebijakan ini yang terdapat pada pasal 2, yakni meliputi ruang lingkup yang terdapat pada toko swalayan. Ruang lingkup toko swalayan tersebut meliputi:

  1. Klasifikasi, diatur dalam Pasal 5 (lima) yang mengatur tentang perbedaan luas lantaipenjualan toko swalayan dan sistem penjualan juga jenis barang dagangannya. Dalam klasifikasi ini pengertian toko swalayan dibagi menjadi 5 yakni: minimarket, supermarket, hypermarket, department store, dan perkulakan. System penjualan dan barang yang didagangkan oleh minimarket, supermarket, dan hypermarket adalah sama yakni menjual produk rumah tangga, produk makanan untuk dikonsumsi dengan penjualan secara ecer.
  2. Penataan dan Pengendalian, kebijakan ini tidak jauh berbeda dengan kebijakan sebelumnya hanya terdapat perbedaan jarak antara toko swalayan dengan ritel tradisional yang dikelola pemerintah yang tentunya sudah dibahas dalam tabel di atas dan penambahan jarak antara minimarket dalam satu manajemen yang sama sekarang diatur dalam pasal 9 ayat (5) dengan ketentuan jarak minimal adalah 1.000 meter dan harus memperhatikan pada kepadatan penduduk disana.
  3. Kewajiban dan Larangan, penambahan kebijakan baru juga terdapat pada ketentuan peralihan dan ketentuan lain-lain yang terdapat pada Pasal 21 dan Pasal 20. Didalam Pasal 21 ini menjelaskan tentang IUTS (Izin Usaha Toko Swalayan) pada toko swalayan yang sudah berjalan atau sudah mendapat izin sebelum dikeluarkannya kebijakan baru yakni Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo ini masih tetap berlaku dan dalam kurun waktu paling lama 2 tahun diwajibkan untuk menyesuaikan dengan kebijakan ini.
  4. Pembinaan dan Pengawasan, pelaku usaha toko swalayan yang telah mejalankan usahanya dan terbukti belum memiliki IUTS (Izin Usaha Toko Swalayan) akan dicabut izinnya apabila tidak mengajukan permohonan IUTS (Izin Usaha Toko Swalayan) dalam kurun waktu selama 3 (tiga) bulan sejak diberlakukankya kebijakan ini, ketentuan ini diatur dalam ayat 3. Tidak hanya dalam ayat 3, ayat 4 dalam Pasal 20 ini juga memiliki sanksi administrative yakni pencabutan izin usaha oleh Dinas terkait apabila terbukti melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 tentang kemitraan dalam Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo beralokasi tidak sesuai dengan tata ruang dan ketentuan jarak dengan toko swalayan yang akan didirikan dengan ritel tradisional yang dikelola pemerintah yang sudah ada sebelumnya apabila dalam kurun waktu 2,5 tahun pelaku usaha toko swalayan tidak merekomendasikan kajian hasil analisa pada masyarakat setempat.

4.2 Perlindungan Ritel Tradisonal Pasca Terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo

Pemerintah daerah Sidoarjo sejatinya sudah memperhatikan untuk melindungi keberadaan ritel tradisional dengan diterbitkannya Perda Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini terlihat dalam Perda ini terkait aturan tentang jarak yang ada antara ritel modern dan ritel tradisional, kemitraan yang harus dilakukan ritel modern untuk membantu UMKM dan pasar rakyat. Adanya faktor prefensi dan prilaku masyarakat yang berubah akibat adanya perubahan dari tingkat pendapatan, gaya hidup [5], ketersediaan waktu serta teknologi yang maju hingga biaya transportasi mempengaruhi jumlah kebutuhan masyarakat akan ritel modern yang dianggap lebih efisien dibanding ritel tradisional.

Pada Pasal 8 ayat (1) “Jarak antara toko Swalayan dengan pasar rakyat paling sedikit 1.000 (seribu) meter” dan dalam Pasal 9 ayat (5) “Jarak antar minimarket berjejaring dalam manajemen yang sama minimal berjarak 1.000 (seribu) meter dan perlu memperhatikan kajian berdasarkan kepadatan penduduk”. Dengan adanya perubahan pada pengaturan mengenai jarak antara tiap ritel yang diperpanjang dimana pada peraturan sebelumnya pada Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Penataan Minimarket diatur dengan jarak 500 meter, kini pada peraturan yang terbaru menjadi 1000 meter.

Perlindungan terhadap eksistensi ritel tradisional mutlak untuk dilakukan upaya mensinergikan kekuatan ritel modern dengan kelemahan ritel tradisional.[6] Seharusnya keadaan ritel modern dapat menjaga eksistensi ritel tradisional dan bukan malah sebaliknya. Dengan salah satu caranya adalah pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan secara substansil mengatur pola hubungan antara ritel tradisional dan ritel modern. Dengan peraturan yang ada dianggap mampu mewujudkan perlindungan terhadap ritel tradisional. Dimana konsep perlindungan terhadap ritel tradisional sesungguhnya sudah diupayakan oleh pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 pada Pasal 4 diatur tentang persyaratan pendirian pusat perbelanjaan dan ritel modern.[7]

Berkaitan dengan pendirian ritel tradisional, pusat perbelanjaan dan ritel modern telah ditentukan bahwa mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Lebih lanjut mengenai zonasinya ritel tradisional Pasal 4 huruf (a) dan (b) Perpres Nomor 112 menentukan bahwa pendirian pusat perbelanjaan dan ritel modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan ritel tradisional, usaha kecil dan usaha menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan dan memperhatikan jarak antara supermarket dengan ritel tradisional yang telah ada sebelumnya. Pendiriannya harus memperhatikan lokasi-lokasi yang telah ditentukan dalam Pasal 15. Pendirian pengkulakan hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri sekunder (pasal 15 ayat (1)). Pendirian supermarket dan pusat perbelanjaan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokasi atau lingkungan di dalam kota/perkotaan. Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. ritel tradisional berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan perumahan di dalam kota/kabupaten.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa zonasi ritel tradisional dan ritel modern menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam pembuatan rencana tata ruang harus memperhatikan mengenai zonasi ritel tradisional dan ritel modern. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa zonasi ini merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah daerah untuk menjaga eksistensi ritel tradisional. Berkaitan dengan persaingan usaha cara sehat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan ini melatarbelakangi agar setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

Kesimpulan

  1. Berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo menggantikan peraturan sebelumnya yakni Peraturan Bupati Kabupaten Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penataan Minimarket dalam peraturan terbaru tersebut terjadi perubahan yang tidak signifikan dari peraturan sebelumnya, dimana perubahan hanya terkait mengenai pengaturan jarak antara ritel modern dengan ritel tradisional yang sebelumnya berjarak 500 meter diubah menjadi 1000 meter, kemudia aturan jam operasional ritel modern sebelumnya dimulai pukul 07.00 sampai pukul 22.00 kini diubah menjadi pukul 08.00 sampai 22.00 atau 23.00 di hari kerja senin sampai jumat pada hari sabtu dan minggu sampai pukul 24.00. Dengan penambahan tenaga kerja asal Sidoarjo ditambah 5% dari ketentuan sebelumnya yakni sebanyak 70%, diperaturan yang terbaru menjadi 75% tenaga kerja berasal dari Kabupaten Sidoarjo. Pembaharuan IUTS di peraturan yang baru menjadi 3 (tiga) bulan sekali untuk diperbaharui, yang mana dalam peraturan sebelumnya diatur pembaharuan IUTS 6 (enam) bulan sekali. Tidak banyak terjadi perubahan kebijakan dalam peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo.
  2. Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penataan Toko Swalayan di Kabupaten Sidoarjo diharapkan dapat melindungi sektor ritel tradisional yang semakin lama tenggelam tertutupi oleh pesatnya ritel modern. Upaya pemberdayaan bagi ritel tradisional yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan diubahnya beberapa poin dalam aturan tersebut berharap mampu menaikkan eksistensi ritel tradisional di wilayah Kabupaten Sidoarjo, meskipun implementasinya masih belum sesuai dengan harapan pemerintah. Adanya bentuk perizinan yang masih belum sesuai regulasinya mengenai ritel modern yang memudahkan bertambahnya ritel modern disekitar ritel tradisional perlu diperbaiki demi menjaga stabilitas dan eksistensi ritel tradisional wilayah Kabupaten Sidoarjo.

References

  1. A. Rachman, “KEBIJAKAN PENATAAN MINIMARKET ( Studi Deskriptif Implementasi Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Penataan Minimarket di Kabupaten Sidoarjo ),” vol. 3, hal. 33–43, 2015.
  2. A. E. Marantika, “PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENATAAN STAND DAN PENEMPATAN PEDAGANG,” hal. 89, 2019.
  3. O. Moechtar, “PASAR MODERN PADA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2010 DALAM ASPEK HUKUM PERSAINGAN,” no. 5, hal. 151–175, 2010.
  4. C. NOVITA, “DAMPAK KEHADIRAN MINIMARKET TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG ECERAN & GROSIR DI DESA HESSA AIR GENTING KEC. AIR BATU KAB. ASAHAN,” 2018.
  5. M. Fathia, “Efektifitas Pasal 23 Ayat 2 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perindustrian Dan Perdagangan Terkait Jarak Pendirian Minimarket Dengan Pasar Tradisional,” hal. 21, 2013.
  6. M. Iffah, F. R. Sutikno, dan N. Sari, “Pengaruh Toko Modern terhadap Toko Usaha Kecil Skala Lingkungan (Studi Kasus : Minimarket Kecamatan Blimbing , Kota Malang),” J. Tata Kota dan Drh., vol. 3, hal. 55–64, 2011.
  7. A. Noor, “Perlindungan Di Tengah Ekspansi Pasar Ritel Modern,” Economica, vol. IV, no. 2, hal. 107–120, 2013.