Regulatory Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v11i0.1162

Juridical Overview Regarding the Unenforceability of Court Decisions in Civil Cases That Have Permanent Legal Force (INKRACHT)


Tinjauan Yuridis Tentang tidak dapat Dilaksanakannya Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (INKRACHT)

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Execution Civil Cases Court Judgement

Abstract

The approach is the statute approach, which is to examine the legal rules that apply in Indonesia, relating to the non-enforceability of court decisions in civil cases that already have permanent legal force (Inkracht). Data were collected through primary legal materials which include several laws that refer to civil law and secondary legal materials by digging up information related to the content of the research being studied, and using several books, journals, and previous research. Execution of a decision or what is known as execution is a forced action taken by the Court to a party who has lost to implement a decision that has permanent legal force, this becomes a series of decisions that are included in the end of a civil case process concerning the rights and obligations of a person both in a matter or dispute. From this study it can be concluded that the scope of execution of civil cases in its implementation is divided into two, namely real executions and executions with the payment of a sum of money. However, in carrying out the execution, several legal reasons were found that became obstacles so that the execution could not be carried out, including: the absence of executable assets, the declaratory decision, the object of the execution was in the hands of a third party, the land to be executed was not clearly defined. , changes in the status of land to be owned by the state, and the object of execution is abroad.

Pendahuluan

Penegakan hukum yang adil dan berkeadilan pada prinsipnya adalah sebagai wujud negara yang memiliki konsep negara hukum (rule of law) sebagai cita bangsanya. Hal ini menjadikan lembaga peradilan mempunyai peranan penting dan berprinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana yang telah diamanatkan pada Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam proses penegakan hukum materil tidak dapat dipisahkan dengan penegakan hukum formil, karena keduanya berjalan dengan tujuan untuk mewujudkan rasa keadilan terhadap masyarakat.[1]

Sedangkan dalam penegakan hukum di bidang perdata dan acara perdata, eksekusi merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh oleh pihak yang dimenangkan untuk mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya sebagaimana yang telah tertulis pada amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Ruang lingkup penerapan eksekusi perdata dapat dikatakan tidak mudah dikarenakan eksekusi tersebut bersifat pasif yang mana eksekusi hanya dapat dimohonkan oleh pihak yang dimenangkan dalam putusan pengadilan dan dilaksanakan oleh panitera atau juru sita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi dapat dijalankan apabila Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata sudah tidak bisa diajukan upaya banding atau kasasi dan putusan tersebut harus bersifat condemnatoir yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandur unsur hukuman, sedangkan putusan hakim yang bersifat konstitutif atau declaratoir tidak membutuhkan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya.[2]

Perkara perdata dianggap selesai tanpa dibantu oleh pengadilan dalam melaksanakan putusan apabila dari pihak yang kalah sudah bersedia menjalankan putusan tersebut secara sukarela. Namun pada realitanya, masih sering terjadi bahwa dari pihak yang dikalahkan tidak bersedia menjalankan putusan tersebut sehingga dalam hal ini memerlukan bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan putusan secara paksa. Pada hakikatnya pelaksanaan eksekusi merupakan suatu realisasi dari kewajiban pihak yang dikalahkan dalam suatu putusan pengadilan, namun pada faktanya pihak yang kalah justru melakukan perlawanan serta tidak ada itikad untuk memenuhi prestasi. Sebagaimana data yang diambil di Pengadilan Negeri Sleman dari tahun 2010 hingga tahun 2013 dalam pelaksanaan eksekusi putusan hakim untuk sengketa perdata dengan jumlah 220 berkas permohonan yang terdaftar namun hanya sejumlah 143 yang terlaksana dan sisanya berjumlah 77 yang belum terlaksana. Diketahui dari 77 berkas permohonan yang belum terlaksana tersebut sebagian besar adalah dari berkas permohonan eksekusi riil pengosongan tanah atau rumah dengan jumlah 66 berkas, selanjutnya 5 berkas jenis eksekusi pembayaran sejumlah uang, dan 6 berkasnya lagi adalah permohonan eksekusi hak tanggungan.Adapun berbagai faktor dari penundaan eksekusi dalam perkara perdata gugatan di Pengadilan Negeri Sleman adalah dikarenakan adanya kendala yang terkait dengan eksekusi riil yang berupa pengosongan tanah dan rumah serta banyaknya biaya yang harus ditanggung pemohon.

Dalam mengatasi kendala tersebut pihak Pengadilan Negeri Sleman melakukan berbagai upaya seperti memanggil pihak pemohon eksekusi yang diharapkan dapat lebih aktif menyelesaikan secara kekeluargaan dengan harapan pihak termohon dapat menjalankan eksekusi secara sukarela, sehingga tidak memerlukan biaya yang ditanggung oleh pemohon dan dianggap memberatkan.[3] Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa lembaga peradilan merupakan suatu lembaga penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, serta mampu menyelesaikan sengketa secara sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun pada praktek dalam menjalankan eksekusi, banyak ditemukan upaya perlawanan dari pihak yang kalah atau pihak yang tereksekusi bahkan disertai kekerasan, ancaman, dan pengerahan massa. Permasalahan lainnya juga muncul dikarenakan mencari pembeli objek lelang eksekusi yang tidak mudah, sehingga berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak pemohon eksekusi yang telah dimenangkan oleh pengadilan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, yaitu pendekatan yang menggunakan undang-undang terkait dengan isu hukum yang diteliti dengan mengkaji aturan hukum yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan Tidak Dapat Dilaksanakannya Putusan Pengadilan dalam Perdata yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Inkracht). Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis secara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum dan ditarik menjadi sebuah kesimpulan yang lebih khusus.

Hasil dan Pembahasan

A. Ruang Lingkup Eksekusi dalam Perkara Perdata

Ruang lingkup hukum perdata meliputi adanya pengajuan tuntutan hak melalui pengadilan dikarenakan terdapat suatu perbuatan ingkar janji atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang. Sedangkan pengertian dari tuntutan hak yaitu suatu tindakan yang tujuannya untuk mendapatkan perlindungan hak yang diperoleh dari pengadilan untuk mencegah adanya tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting).[4] Eksekusi merupakan pelaksanaan dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan dilakukan secara paksa. Eksekusi hanya dapat dijalankan apabila suatu putusan Hakim bersifat kondemnator, yaitu putusan yang mengandung unsur hukuman di dalam amar atau diktumnya. Menurut M. Yahya Harahap, terdapat beberapa asas eksekusi yaitu :

  1. Melaksanakan suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  2. Putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela.
  3. Putusan yang dapat dieksekusi hanya yang bersifat condemnatoir.
  4. Eksekusi yang diperintah serta di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.[5]

Dalam tata cara pelaksanaannya, eksekusi hanya digolongkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu eksekusi riil dan eksekusi dengan pembayaran sejumlah uang.

Adapun berita acara eksekusi riil harus meliputi hal-hal sebagai berikut :[6]

  1. Jenis-jenis barang yang dieksekusi;
  2. Letak, ukuran, serta luas barang tetap yang akan dieksekusi;
  3. Hadir atau tidaknya pihak yang akan dieksekusi;
  4. Penegasan serta keterangan pengawasan barang;
  5. Penjelasan non-bavinding bagi yang tidak sesuai dengan amar putusan;
  6. Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi dilaksanakan;
  7. Jam, hari, tanggal, bulan, serta tahun dilaksanakannya eksekusi;
  8. Berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi, kepala desa setempat serta pihak tereksekusi.

HIR bahwa eksekusi tersebut dilaksanakan apabila pihak yang kalah tidak berkenan untuk membayar dengan sejumlah uang sehingga dapat dilakukan secara paksa dengan cara menjual lelang harta kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu yang kemudian hasil penjualan tersebut dibayarkan kepada pihak yang dimenangkan oleh putusan pengadilan. Pada umumnya prosedur eksekusi dilakukan sebagai berikut :

  1. Pemohon eksekusi terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri supaya putusan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena pihak yang kalah tidak berkenan melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela;
  2. Berdasarkan permohonan tersebut maka sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 196 HIR, Ketua Pengadilan Negeri melakukan aanmaning terhadap pihak yang kalah supaya berkenan memenuhi putusan pengadilan dalam kurun waktu selama 8 (delapan) hari;
  3. Apabila pihak yang kalah masih tetap mengabaikan serta tidak berkenan untuk melaksanakan putusan Hakim, maka dengan ini Ketua Pengadilan Negeri memberi perintah supaya melakukan penyitaan terhadap barang bergerak. Apabila hal tersebut belum mencukupi maka dapat dilakukan penyitaan terhadap benda tetap sebagaimana jumlah nilai yang sesuai dengan putusan Hakim. Keadaan tersebut disebut sebagai sita eksekusi, yakni sita yang berdasarkan titel eksekutorial. Dalam pelaksanaan sita eksekusi tersebut dilaksanakan oleh Panitera atau Panitera Pengganti bersama dua orang saksi serta menandatangani Berita Acara sebagai bukti telah dilaksanakannya eksekusi;
  4. Eksekusi selesai apabila dilaksanakannya sesuai dengan Putusan Hakim atau jumlah nilai sita sudah sesuai dengan amar putusan Hakim.[7]

Perbedaan diantara keduanya terletak pada pelaksanaannya, yang mana eksekusi riil lebih mudah dan sederhana dari eksekusi dengan pembayaran uang. Pada dasarnya secara teoritis eksekusi riil tidak terlalu rumit dan prosesnya relatif cepat, sehingga tidak diatur secara rinci dalam undang-undang. Sedangkan eksekusi dengan pembayaran sejumlah uang cenderung tidak mudah serta memerlukan syarat dan tata cara yang tertib dan terperinci, supaya tidak terjadi penyalahgunaan yang merugikan pihak tergugat maupun penggugat. Sebab adakalanya dimana pihak tergugat tidak mempunyai uang tunai, yang ada hanyalah harta benda. Sehingga dilaksanakannya penjualan lelang terhadap harta benda tersebut untuk mewujudkan pembayaran yang berbentuk uang tunai yang mana memerlukan tata cara yang cermat dalam pelaksanaan eksekusinya, yakni melalui tahap proses executoriale beslag yang dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan lelang.

B. Faktor yang Mempengaruhi tidak dapat Dilaksanakannya Eksekusi

Pada hakikatnya proses pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan mempunyai tujuan untuk menyelesaikan perkara dalam bentuk putusan Pengadilan yang dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa serta menetapkan bagaimana hukumnya, namun dengan dijatuhkannya suatu putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir bukan berarti suatu sengketa tersebut telah selesai melainkan harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah. Apabila pihak yang kalah tidak melaksanakannya atau telah lalai melaksanakan putusan pengadilan maka dapat dilakukan dengan tindakan paksa yang berupa eksekusi, yaitu tindakan yang dilakukan negara melalui pejabat pengadilan atas permohonan pihak yang dimenangkan dalam suatu putusan. Namun pada prakteknya, terdapat beberapa kendala yang menghambat proses pelaksanaan eksekusi, kendala tersebut dapat bersifat hukum maupun non hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk menghalangi proses eksekusi yang mengakibatkan berkurangnya nilai keadilan dalam pelaksanaannya.Kendala yang bersifat hukum dapat berupa masalah yang menyangkut persoalan-persoalan teknis pengadilan sehingga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan eksekusi dan yang termasuk dalam eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan (non-executable). Beberapa kendala tersebut dapat berupa objek penyitaan yang tidak jelas atau bertolakbelakang dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengenai penyitaan harta pihak yang kalah dalam pelaksanaan eksekusi. Selain itu, terdapat tindakan yang berada di titik ekstrim yang mana dengan sengaja menghalangi jalannya eksekusi dengan melakukan perlawanan fisik terhadap petugas eksekusi dengan memiliki tujuan supaya eksekusi tidak dapat dilaksanakan.[8] Sedangkan kendala yang bersifat non hukum adalah sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa pengadilan tidak dapat secara ex officio melaksanakan tahapan eksekusi setelah ada permohonan pelaksanaan eksekusi dari pihak yang menang, maka dalam hal ini apabila dari pihak yang kalah masih belum ada keinginan untuk melaksanakan putusan secara sukarela dan di sisi lain pihak yang dimenangkan juga belum mengajukan permohonan eksekusi, maka Ketua Pengadilan Negeri belum mempunyai wewenang untuk melakukan tahapan pelaksanaan eksekusi.

Perlu diketahui juga bahwa terdapat beberapa alasan hukum serta fakta yang menjadi dasar dinyatakannya eksekusi tidak dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut :

  1. Tidak ada harta kekayaan yang dapat dieksekusi

Dalam situasi tersebut, sudah dipastikan bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena barang yang akan dijadikan sebagai objek eksekusi tidak ada. Habisnya harta kekayaan tereksekusi dapat disebabkan oleh dua hal, yakni sudah habis terjual sebelum dilaksanakannya eksekusi dan telah terjadinya bencana alam seperti kebakaran, banjir, dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, bukan berarti dapat menggugurkan tuntutan pemohon eksekusi untuk dipenuhi atas apa yang akan menjadi haknya, karena secara yuridis tagihan atau prestasi yang harus dibayarkan itu tetap ada dan hanya proses eksekusinya yang tidak dapat dilaksanakan. Apabila ditinjau dari perspektif baik dari segi teoritis maupun empiris, sifat non-executable pada faktor ini dapat dikatakan bersifat sementara. Karena apabila ditemukan harta kekayaan tereksekusi di kemudian hari, maka sifat non-executable yang melekat pada eksekusi dapat dihilangkan.

  1. Putusan Bersifat Deklarator

Berdasarkan asas-asas eksekusi yakni putusan yang dijatuhkan harus yang bersifat kondemnator, yaitu amar putusannya berisi suatu hukuman terhadap pihak tergugat. Sedangkan putusan yang bersifat deklarator adalah suatu putusan yang amarnya hanya terdapat suatu pernyataan, yang sekedar menegaskan suatu kedudukan, hak, keadaan dan kewajiban yang tidak disertai dengan adanya pernyataan penghukuman. Upaya yang dilakukan supaya putusan perkara yang bersifat deklarator masih melekat akan kekuatan eksekutorial yaitu dengan cara pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan baru. Dalam pemeriksaan gugatan baru, hakim hanya diperbolehkan untuk meneliti apakah pernyataan deklarator tersebut dapat dikaitkan dengan eksekusi tanpa harus menilai serta memeriksa materi substansi putusan deklarator. Perlu diingat bahwa tidak semua putusan deklarator mempunyai urgensi eksekusi, sehingga tidak semua putusan deklarator dapat diajukan sebagai gugatan baru dan dimohonkan untuk dilaksanakan eksekusi. Karena harus terdapat adanya objek eksekusi yang jelas dan bersifat melindungi kepentingan penggugat supaya tergugat membayar apa yang menjadi kewajibannya dan hak tergugat bisa dipulihkan kembali. Selain itu, putusan deklarator yang dapat kembali diajukan sebagai gugatan baru adalah hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena jika belum berkekuatan hukum tetap maka gugatan baru untuk permohonan adanya eksekusi belum bisa diajukan.[9]

  1. Objek Eksekusi Berada di Tangan Pihak Ketiga

Pada prinsipnya, eksekusi harus dinyatakan tidak dapat dijalankan apabila objek tereksekusi sudah berada di tangan pihak ketiga. Namun prinsip tersebut tidak terlepas dari faktor bagaimana keabsahan alas hak yang diperoleh pihak ketiga atas objek tersebut dan adanya amar yang mencantumkan penghukuman bagi siapa saja yang mendapatkan hak dari tergugat. Dalam menentukan tidak atau dapat dilaksanakannya suatu eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri berpijak pada kedua faktor tersebut serta harus meneliti terlebih dahulu bagaimana kedudukan alas haknya atas objek yang akan dieksekusi. Karena apabila alas haknya tidak jelas maka dipastikan eksekusi dapat menjangkau pihak ketiga yang tidak ikut digugat, namun jika alas haknya sah maka dalam hal ini eksekusi terhadap objek yang berada pada pihak ketiga yang tidak ikut digugat dapat dinyatakan sebagai noneksekutabel.

Tanah yang Hendak Dieksekusi Tidak Jelas Batasnya

Dalam menerapkan kasus semacam ini dalam kategori objek tereksekusi yang bersifat noneksekutabel, sangat diperlukan sikap terbuka dan teliti untuk menghindari sikap terburu-buru untuk mengeluarkan penetapan noneksekutabel atas objek tanah yang tidak jelas batasnya. Karena hal tesebut harus melalui tahap upaya untuk mengetahui secara pasti oleh pihak pengadilan mengenai batas tanah yang hendak dieksekusi, adapun beberapa langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut :[10]

Memerintahkan pemeriksaan setempat, apabila terjadi ketidakpastian mengenai batas tanah objek tereksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk mengeluarkan perintah pemeriksaan setempat yang perlu dihadiri oleh Kepala Desa, Camat, pihak Pertanahan, serta para saksi yang dianggap mengetahui keadaan tanah sebelum menetapkan dapat atau tidaknya untuk dilaksanakan eksekusi terhadap objek tersebut.

Biaya pemeriksaan setempat yang harus ditanggung oleh Pemohon eksekusi, mengingat pemeriksaan setempat merupakan satu rangkaian dengan eksekusi yang hendak dijalankan maka hal tersebut menjadi kewajiban Pemohon Eksekusi dalam membayar panjar biaya pemeriksaan.

Jika pemeriksaan setempat tidak berhasil menemukan batas yang jelas maka eksekusi dinyatakan noneksekutabel, dalam hal ini apabila telah dilakukan upaya pemeriksaan setempat yang dilakukan dengan cermat namun tetap tidak menemukan kejelasan akan batas tanah yang hendak dieksekusi, maka baru dapat dibenarkan apabila dikeluarkannya penetapan noneksekutabel atas objek tanah yang tidak jelas akan batas- batasnya.

  1. Perubahan Status Tanah Menjadi Milik Negara

Kasus yang sedemikian sering dijumpai terhadap objek tereksekusi yang berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU). Pada umumnya HGB hanya diberikan untuk masa jangka waktu tertentu yaitu 20 tahun dan boleh diperpanjang kemudian. Ada kemungkinan di saat perkara terjadi, pada tanah berperkara masih melekat HGB dari pihak tergugat, akan tetapi saat eksekusi hendak dijalankan HGB tergugat sudah habis sedangkan perpanjangan yang dimintanya belum keluar atau bisa juga ditolak sehingga tidak dapat diperpanjang, dari beberapa kemungkinan yang terjadi tersebut yang menyebabkan objek tanah tereksekusi ditetapkan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. Akan tetapi, sering dijumpai kasus dimana perubahan status suatu tanah tersebut tidak tegas, sekalipun batas waktunya sudah habis namun tidak dikeluarkan perpanjangan. Di sisi lain juga tidak ada pernyataan tegas yang dikeluarkan oleh pihak berwenang tentang tanah tersebut yang telah beralih menjadi tanah negara.

  1. Objek Eksekusi Berada di Luar Negeri

Eksekusi terhadap barang yang berada di luar negeri dinyatakan noneksekutabel dikarenakan menerapkan prinsip nasionalitas dan ektrateritorial yang terkandung dalam perundang-undangan hukum acara perdata. Selain itu dikarenakan adanya hambatan yang berupa asas kedaulatan, dimana suatu negara yang mempunyai kedaulatan penuh atas negaranya. Sehingga badan kekuasaan negara lain tidak dibenarkan apabila bertindak dalam wilayah negara lainnya, kecuali adanya perjanjian bantuan hukum (judicial assistance) antara Indonesia dengan negara lain di bidang pelaksanaan penegakan hukum perdata. Mengingat pula akan asas berlakunya putusan peradilan Indonesia, yang tercantum pada Pasal 431 Rv bahwa putusan hanya berlaku dan berdaya eksekusi di wilayah Indonesia, sehingga tidak mempunyai daya eksekusi di luar negeri. Begitupun juga sebaliknya, bahwa putusan hakim pengadilan asing juga tidak berlaku di Indonesia.

Kesimpulan

Ruang lingkup eksekusi dalam perkara perdata, dibagi menjadi dua, yaitu eksekusi riil dan eksekusi dengan pembayaran sejumlah uang. Perbedaannya adalah eksekusi riil lebih mudah dan prosesnya relatif cepat, sedangkan eksekusi dengan pembayaran sejumlah uang cenderung tidak mudah serta memerlukan syarat dan tata tertib untuk menghindari penyalahgunaan yang dapat merugikan salah satu pihak baik dari penggugat maupun tergugat.Dalam pelaksanaan putusan perkara perdata (eksekusi) sering ditemukan permasalahan serta beberapa alasan hukum yang menjadi dasar dinyatakannya eksekusi tidak dapat dilaksanakan, yaitu meliputi : tidak adanya harta yang dapat dieksekusi, amar putusan yang bersifat deklarator, objek eksekusi berada di tangan pihak ketiga, tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya, perubahan status tanah menjadi milik negara, serta objek eksekusi berada di luar negeri.

References

  1. D. L. Sonata, “Permasalahan Pelaksanaan Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata dalam Praktik,” Fiat Justisia, vol. 6, no. 2, 2015.
  2. A. N, “PENGARUH NON HUKUM TERHADAP KEADILAN PELAKSANAAN EKSEKUSI DALAM PERKARA PERDATA.”
  3. S. Hartini, S. Widihastuti, and I. Nurhayati, “Eksekusi putusan hakim dalam sengketa perdata di Pengadilan Negeri Sleman,” J. Civ. Media Kaji. Kewarganegaraan, vol. 14, no. 2, pp. 128–138, 2017.
  4. R. Kasim, “EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA,” Lex Soc., vol. 5, no. 9, 2017.
  5. N. J. AULIA, “EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP PADA PERKARA PERDATA NO.20/P.dt.G/2011/PN.Pbr DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA PEKANBARU.”
  6. A. W. Wahyu, S. Yudowibowo, and Harjono, “EKSEKUSI RIIL DALAM PERKARA PERDATA TENTANG PENGOSONGAN TANAH DAN BANGUNAN RUMAH.”
  7. R. Yulianti, “otonomi desa sebagai landasan pengelolahan kepentingan masyarakt berdasarkan asal-usul dan adat istiadat.” .
  8. R. A. Arzani, “Tinjauan yuridis terhadap putusan declaratoir yang tidak dapat dieksekusi.”
  9. Sarwohadi, “Sekitar eksekusi.”
  10. S. Soemardjan, “Otonomi Desa Adat,” Antropol. Indones., vol. 65, no. 32, pp. 121–127, 2001.