Industrial Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v11i0.1163

Industrial Land Use Agreement between PT. SIER with Tenant Judging from the Legal Terms of the Agreement


Perjanjian Penggunaan Tanah Industri antara PT. SIER dengan Tenant Ditinjau dari Syarat Sah Perjanjian

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Contract Civil Code Defects of Will

Abstract

The Industrial Land Use Agreement between PT SIER and the Tenants has been going on since the 1980s. According to PP No. 40 of 1996, the tenants have a Building Use Right over the Management Right for 30 years and can be extended for another 20 years. This study aims to determine whether the agreement is in accordance with the legal terms of the agreement because there are new provisions to extend its rights. This type of research is normative, the object of which lies in the principles applied in the contract and theoretical aspects of land law as well as normative studies related to the use of land on management rights. The results of the research from this agreement when viewed from Article 1320 of the Civil Code have actually been legally fulfilled as long as there is no element of coercion from the Tenant who pays the income. As well as the existence of a strong legal basis from PT SIER to make new provisions regarding income money to extend the Right to Build

Pendahuluan

Di Indonesia, badan hukum atau orang diberi kewenangan untuk mendapatkan hak atas tanah yang tujuannya untuk diusahakan dan untuk membangun sesuatu.Jika ditelaah lebih lanjut dalam Undang Undang Pokok Agraria No5 Tahun 1960, tidak ada ketentuan eksplisit yang menjelaskan mengenai Hak Pengelolaan. HPL secara yuridis memiliki aspek publik dan aspek perdata. Untuk aspek publik yang dimaksud konsep HPL adalah sebagai hak menguasai dari Negara yang pelimpahan kewenangan pelaksanaannya sebagian diberikan kepada pemegang HPL yang bertujuan untuk penyediaan tanah bagi pihak lain yang memerlukan. Dimana si-pemegang Hak Pengelolaan memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan yang berorientasi pada semangat UUPA pasal 2 ayat (2) dan (3) demi terwujudnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Untuk aspek perdata terlihat pada konsep Hak Pengelolaan yang fungsi awalnya “dikelola” oleh Badan yang di tunjuk pemerintah, berubah menjadi “hak” yang didapatkan oleh pihak Ke-Tiga untuk keperluan usaha dibidangnya melalui perjanjian antara pemegang HPL dengan pihak Ke-Tiga. Pemegang Hak Pengelolaan membuat perjanjian kepada Pihak Ke-Tiga dengan menyerahkan bagian bagian tanah HPL yang nantinya akan dimanfaatkan.

PT. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) merupakan salah satu BUMN yang memegang Hak Pengelola yang berada di wilayah Surabaya. Kawasan dengan luas lahan sebesar ± 245 Ha yang dikembangkan sejak tahun 1974, PT. SIER menampung sekitar lebih dari 200 perusahaan di wilayahnya.[1]

Pada Tanggal 25 September 2019 diadakan Rapat Pertemuan Forum Komunikasi (Forkom) SIER di Ruang Bekisar Lt. 1 Gedung Wisma SIER, Jalan Rungkut Industri Raya No. 10 Surabaya. Rapat tersebut membahas tentang dasar penentuan harga tanah dalam perpanjangan HGB di atas HPL yang dikuasai PT. SIER. Dalam Rapat tersebut dihadiri oleh anggota Forkom SIER yang juga merupakan perwakilan dari tenant (perusahaan penyewa lahan) PT. SIER. Dalam risalah rapat tersebut menyimpulkan tentang perubahan perhitungan biaya perpanjangan HGB diatas HPL yang saat itu menjadi harga pasar berdasarkan Keputusan Direksi PT.SIER.[2] Perlu diketahui bahwa Perjanjian Penggunaan Tanah Industri ( PPTI ) sebelumnya menggunakan NJOP sebagai biaya perpanjangan HGB diatas HPL.

Perjanjian tentang harga perpanjangan yang awalnya menggunakan NJOP kini berubah menjadi Harga Pasar, membuat perbedaan harga yang cukup signifikan sehingga akan memberatkan para tenant untuk memperpanjang sewa tanah industri. Jika tidak memperpanjang sewa lahan maka akan berdampak pada biaya lain baik materil maupun formil yang lebih besar seperti; biaya sewa tempat baru, pemindah mesin produksi, pengurusan legalitas di tempat baru, pencarian SDM lain yang kemungkinan tidak dapat dapat mengikuti pilihan tempat baru dan lain sebagainya. Maka satu satunya pilihan terbaik yang bisa dipilih adalah menyiapakan dana lebih untuk menerima ketentuan baru dalam perpanjangan kontrak sesuai keputusan direksi PT. SIER yang sudah ditetapkan.

Dalam Perjanjian, terdapat asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dimana asas tersebut mengharuskan adanya kesepakatan antara para pihak. Ketentuan perjanjian yang baru tersebut, para tenant yang ingin meneruskan usahanya di daerah kawasan PT. SIER harus menerima keputusan tersebut. Jika tidak berkenan, maka mereka harus mengakhiri HGB di atas HPL yang sudah pernah disepakati sebelumnya.

Dalam penelitian terdahulu meneliti tentang: Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional meneliti tentang kewenangan yang didapat dalam Hak Pengelolaan baik dari lingkup internal maupun eksternal [3], Implementasi Hak Pengelolaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Negara meneliti tentang penerapan hak pengelolaan yang ditujukan pada badan hukum yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah dengan cara konversi atau pemberian hak yang didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten / kota[4], Pemanfaatan Tanah diatas Hak Pengelolaan Antara Regulasi dan Implementasi yang meneliti tentang pemanfaatan yang diberikan pihak ketiga melalui perjanjian sesuai perundangan yang berlaku. Pemanfaatan tanah diatas HPL diperoleh dari Surat Perjanjian Penggunaan Tanah (SKPT) yang memperbolehkan HGB atau Hak Pakai berdiri diatas Hak Pengelolaan dengan jangka waktu dan perpanjangan yang ditentukan menurut undang-undang [5], Perlindungan Hukum Pemegang Hak Guna Bangunan Diatas Tanah Hak Pengelolaan Di Jalan Nibung Raya Kecamatan Medan Petisah meneliti tentang perlindungan hukum mengenai masa berlaku yang sudah habis bisa dimohonkan kembali. Namun tidak menutup kemungkinan bagi pemegang hak pengelolaan untuk menolak permohonan tesebut karena tanah Hak Pengelolaan hak tanahnya berada sepenuhnya pada pemegang HPL dan sewaktu waktu dapat melepaskan hak mereka kembali ke Negara [6].

Dari uraian latar belakang dan penelitian terdahulu tersebut diatas, jelaslah sudah bahwa penelitian penulis tentang Perjanjian Penggunaan Tanah Industri antara PT. SIER dengan Tenant Ditinjau dari Syarat Sah Perjanjian yang merupakan penelitian pembaharuan dari penelitian terdahulu, karena didalam penelitian penulis meneliti tentang keabsahan perjanjian antara PT SIER selaku pemegang Hak Pengelolaan dengan Tenant terkait adanya ketentuan baru mengenai pembayaran uang pemasukan sesuai Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dasar sebagaimana tersebut diatas, perlu diadakan penelitian.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah normatif yang sumber hukumnya berdasar pada peraturan perundang-undangan yang dilengkapi dengan teori dan literatur untuk menjawab permasalahan yang diteliti dengan pendekatan pendekatan kasus (case approach) dan perundang-undangan (statue approach). langsung pada permasalahan hukum yang menyangkut syarat sah perjanjian antara PT SIER dengan Tenant dengan analisa bahan hukum kualitatif deduktif.

Hasil dan Pembahasan

A. Penggunaan Tanah Industri Antara PT. SIER dengan Tenant

Bermula pada tanggal 27 Juli 1985 yang telah diterbitkan Sertipikat HGB No. 6/Kelurahan Rungkut Menanggal dengan pemegang haknya tertulis nama PT. Bambang Djaja yang merupakan salah satu Tenant dari PT. SIER. Lalu pada tanggal 26 November 2010, dilakukan perpanjangan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri (selanjutnya disingkat PPTI) Oleh PT. Bambang Djaja. Dalam PPTI Pasal 4 tentang Pembayaran (Uang Pemasukan) terdapat perhitungan yang merumuskan pembayarannya sebagai berikut : 4,5% x Luas Lahan x NJOP + PPN 10%.

Pada tanggal 11 April 2018 telah ditetapkan Peraturan Direksi PT SIER No. 021/KD/D.01/IV/2018 Tentang Uang Pemasukan Atas HGB Diatas HPL yang Habis Masa Berlakunya. Melalui dasar Peraturan Direksi tersebut, PT. SIER menerapkan ketentuan baru mengenai rumusan pembayaran kepada seluruh tenant yang berada dikawasannya. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan Forkom SIER yang dilaksanakan pada tanggal 25 September 2019 di ruang Bekisar Lt. 1 Gedung Wisma SIER di Jalan Rungkut Industri Raya No. 10 Surabaya yang membahas tentang perubahan biaya perpanjangan HGB diatas HPL.

Dasar PT SIER menetapkan perubahan ketentuan baru mengenai harga adalah dengan memperhatikannya Surat Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana Prasarana Perhubungan Kementrian Badan Usaha Milik Negara RI, No: S-13/D4.MBU/03/2018 tanggal 08 Maret 2018 tentang Penyampaian Resume Kajian Penentuan besaran Tarif Wajar atas Perpanjangan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri (PPTI) pada BUMN Kawasan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan Laporan Kantor Jasa Penilai Publik MBPRU No Laporan : 0276-D/C/MBPRU-JKT/MTQ/VII/2017, dengan nomor proyek : 0276-D/SIER/VIII/2017 tanggal 29 Agustus 2017, perihal : Laporan Penentuan Besaran Tarif yang Wajar atas Perpanjangan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri (PPTI) di PT. SIER.

Diketahui dalam perubahan tersebut ada ketentuan baru mengenai mengenai uang pemasukan untuk PPTI yang perumusan pembayarannya sebagai berikut :5,8% x Luas Lahan x Harga Pasar + PPN 10%. Perubahan biaya tersebut, baik prosentase (yang saat itu ditetapkan 5,8%) maupun harga tanah (menjadi Harga Pasar) akan dikaji lebih lanjut tentang berubahnya perhitungan harga ditinjau dari syarat syarat sah perjanjian KUH Perdata pasal 1320

Gambar 1. Skema peraturan mengenai alur harga objek perikatan

B. Analisa Yuridis Perjanjian Penggunaan Tanah Industri antara PT SIER dengan Tenant

Perjanjian Pengguanaan Tanah Industri antara PT. SIER dengan Tenant dapat mengikat kedua belah pihak dikala telah memenuhi syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Perjanjian tersebut apabila tidak memenuhi salah satu syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Pasal 1320 KHUPerdata maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Perjanjian Pengguanaa Tanah Industri antara PT. SIER dengan Tenant sepatutnya menganut Asas Konsensualisme. Dalam Azas Konsensualisme mewajibkan adanya kesepakatan antara para pihak dalam membuat suatu kontrak. Sepakat mengadung cacat kehendak dan memiliki akibat hukum yang lain yaitu dapat dibatalkan. Cacat Kehendak dalam kesepakatan terjadi jika perbuatan hukum telah dilakukan oleh seseorang, namun terbentuknya kehendak tersebut dilakukan secara tidak sempurna[7]. Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi pada saat kesepakatan terjadi, yang mengakibatkan salah satu pihak berada dalam kondisi dimana dia tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Dalam hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk dari cacat kehendak.[8]. Sebaliknya dalam perjanjian, jika tidak ada kesepakatan oleh kedua belah pihak,perjanjian tersebut secara yuridis tidak dapat mengikat para pihak.

Analisa Yuridis Perjanjian Penggunaan Tanah Industri antara PT SIER dengan Tenant menurut Pasal 1320 KUH Perdata antara lain :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Pada KUH Perdata Pasal 1320 syarat sah yang pertama adalah kesepakatan antar pembuat kontrak. Di dalam Perjanjian Antara PT. SIER selaku pemegang Hak Pengelolaan dengan para tenant telah terjadi kesepakatan. Penulis menyajikan salah satu contoh perjanjian yang telah dibuat dihadapan notaries oleh salah satu tenant yang berada di wilayah Rungktu Industri Surabaya yaitu dari PT. Bambang Djaja pada hari Jumat 26 Nopember 2010. Pada perjanjian tersebut para pihak telah dicapai kesepakatan untuk mengadakan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri (Perpanjangan) dalam Sertipikat Nomor 80.

Lalu jika ditinjau dari teori yang dipaparkan oleh J.H. Niewnhuis, kesepakatan dalam kontrak terbentuk dari dua unsur, yang pertama adalah Penawaran yang berarti merupakan pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, yang mencakup unsur mutlak yang harus ada (Esensialia). Dalam PPTI, pihak dari PT. Bambang Djaja bermaksud untuk memperpanjang sertipikat HGB No 6pernah di perjanjikan sebelumnya pada tanggal 2 Maret 1982 nomor 01/SIER/1982.

Yang kedua adalah penerimaan yang berarti pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari. Dan dalam PPTI No. 80, Pihak PT. SIER menyepakati untuk memberikan HGB untuk menggunakan tanah industry di Kawasan Industri Rungkut Surabaya dengan syarat syarat dan ketentuan ketentuan yang sudah disepakati.

Lalu jika PPTI disesuaikan dengan aspek yang ditinjau dalam analisa Yahanan, M Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari, yang menjelaskan tentang sepakat adalah siapapun yang mengikatkan dirinya mengandung tiga arti:

  1. Orang-orang yang membuat kontrak harus sepakat mengenai hal hal pokok, dan syarat syarat lain untuk mendukung kesepakatan mengenai hal hal pokok yang diperjanjikan.Dalam hal ini baik PT SIER maupun PT Bambang Djaja menyepakati perpanjangan penggunaan tanah diwilayah industry yang menjadi hal pokok perjanjiannya. Adapun hal hal lain terkait ketentuan pembayaran dan kewajiban lainnya merupakan pendukung dari kesepakatan mengenai perpanjangan penggunaan tanah diwilayah Industri tersebut.
  2. Apayang dikehendaki oleh pihak satu, maka juga disepakati oleh pihak pihak yang lainnya. Dalam PPTI pun pengajuan perpanjangan yang dikehendaki salah satu tenant dalam contoh ini adalah PT. Bambang Djaja telah disepakati oleh pihak PT. SIER.
  3. Ada kebebasan para pihak dan tidak adanya unsur tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dalam kebebasan itu, dan dalam hal ini para pihak dalam PPTI telah menyepakati akta perjanjian dihadapan notaris.

Karena PT. SIER merupakan pemegang Hak Pengelolaan di kawasan Rungkut Industri, maka isi perjanjian khususnya pada pasal 4 tentang Pembayaran (uang pemasukan) antara tenant satu dengan tenant yang lainnya adalah sama, yakni dengan rumusan 4,5% x Luas Lahan x NJOP + PPN 10%. Lalu dari penjelasan diatas yang membahas contoh akta kesepakatan antara PT. SIER dengan PT. Bambang Djaja (yang juga merupakan salah satu tenant dari PT. SIER) dalam contoh ini telah Sah sesuai syarat pertama KUH Perdata pasal 1320.

Lalu terkait Penetapan Direksi PT. SIER No. 021/KD/D.01/IV/2018 Tentang Uang Pemasukan Atas HGB Diatas HPL yang Habis Masa Berlakunya, membuat perubahan rumusan pembayaran tentang prosentase (yang saat itu ditetapkan 5,8%) dan juga harga tanah (menjadi Harga Pasar yang umumnya jauh lebih tinggi nilai nya dari harga NJOP). Dikarenakan naiknya harga prosentase dan berubahnya ketentuan yang awalnya NJOP berubah menjadi Harga Pasar, otomatis akan menambah nilai bayar para tenant untuk menggunakan lahan industry di kawasan SIER.

Melalui penetapan tersebut,sesuai dengan azas konsensualisme, maka para tenant wajib mengikuti (menyepakati) aturan yang dibuat oleh PT SIER selaku pemegang hak pengelolaan. Meskipun karena pembaharuan tersebut membuat harga perpanjangan menjadi naik,jika dikaitkan dengan KUH Perdata pasal 1320, para tenant yang tidak sepakat untuk melakukan perpanjangan (dengan melakukan pembayaran) sampai masa berlaku HGB di atas HPL habis, maka sesuai dengan PP No 40 Tahun 1996 Pasal 35 ayat 1 (satu) Point A yang menjelaskan mengenai hapusnya status HGB karena berakhirnya jangka waktu sesuai yang ditetapkan dalam PPTI, maka status HGB tenant yang bersangkutan akan dengan sendirinya kembali ke dalam penguasaan PT. SIER.

Dampak yang akan terjadi jika tenant yang HGB nya sudah berakhir dan tidak diperpanjang, sesuai dengan PP No 40 Tahun 1996 Pasal 38, tenant tersebut wajib menyerahkan tanah bekas HGB yang dikuasainya kepada PT. SIER dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam PPTI. Dalam PPTI pasal 11 tentang Akibat Berakhirnya Perjanjian, tenant yang habis masa HGB-nya diberi waktu 6 (enam) bulan untuk membongkar bangunan, mesin dan perlengkapan lain yang berada diatas tanah tersebut, hingga tanah yang dikembalikan dalam keadaan kosong. Adapun beban mengenai pajak dan pungutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Daerah karena penggunaan tanah, tetap menjadi kewajiban yang harus dibayar oleh tenant tersebut.

Selain itu, jika dianalisa lebih jauh lagi, dampak dari tenant yang tidak membayar (sehingga masa penggunaan HGB-nya berakhir), harus memikirkan tempat baru dimana dia akanmelanjutkan kegiatan usahanya yang berarti harus mengurus proses administrasi mulai dari awal perijinan hingga legalitas tempat baru tersebut. Lalu akomodasi pemindahan mesin dan perlengkapan lain yang harus dipikirkan, pencarian SDM baru jika ada karyawan lama yang tidak bisa mengikuti tempat dimana perusahaanya tersebut pindah, dan hal hal lain terkait biaya baik secara materil maupun formil. Berikut penulis tampilkan tabel perbandingan kerugian mengenai pengambilan keputusan perpanjangan PPTI.

No Melanjutkan PPTI Tidak Melanjutkan PPTI
1 Menambah dana untuk memperpanjang PPTI sebesar 1,3% (5,8% - 4,5%) + penyesuaian harga pasar Membayar sewa lahan baru untuk penggunaan tanah industry ditempat lain (harga tergantung lokasi, bisa lebih murah / lebih mahal )
2 Waktu,tenaga dan biaya pencarian tempat baru. (berpotensi mengganggu kegiatan operasinal yang lain)
3 Pengurusan administrasi, perijinan dan legalitas tempat baru.
4 Biaya meratakan/pengosongan bangunan lama dan Akomodasi pemindahan mesin dan kelengkapan lainnya
5 Pencarian SDM baru saat ada karyawan lama yang tidak bisa mengikuti perpindahan lokasi perusahaan baru
6 Dampak-dampak lain akibat aktifitas pemindahan gedung dan alat
Table 1.Perbandingan kerugian melanjutkan dan tidak melanjutkan PPTI

Bagi para tenant yang berfikiran mau tidak mau harus melanjutkan perpanjangan PPTI (dengan membayar sesuai aturan yang baru) dengan dasar pertimbangan untuk menghindari dampak kerugian yang lebih besar, maka menurut penulis bisa diartikan sebagai keterpaksaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari “keterpaksaan” adalah berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan.

Dalam kesepakatan terdapat cacat kehendak bilamana terjadi suatu keadaan yang tidak normal seperti unsur penyalahgunaan keadan (masburik van omstandigheden) berkaitan dengan kondisi pada saat kesepakatan terjadi, yang mengakibatkan salah satu pihak berada dalam kondisi dimana dia tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Dalam kasus ini, bagi para tenant yang merasa terpaksa membayar perpanjangan PPTI tersebut, bisa dikatakan sebagai bentuk dari cacat kehendak.

Sesuai pendapat J. Satrio bahwa penyalahgunaan keadaan tidak mululu berbicara tentang “isi” kontrak karena isinya mungkin tidak terlarang, melainkan ada sesuatu sebab hal lain yang terjadi pada saat lahirnya kontrak, sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.[9] Suatu sebab hal lain ketika dikaitkan dengan keadaan para tenant adalah keterpaksaan untuk membayar perpanjangan PPTI dengan alasan menghindari kerugian yang lebih besar dengan membayar perpanjangan yang notabene nya “sedikit lebih murah”.

2. Kecapakan untuk membuat suatu perikatan

Pada syarat sah nomor 2 (Cakap untuk membuat kontrak) terdapat kata “Cakap”. Menurut analisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin dan Yunial Laili Mutiari, persyaratan kecakapan diperlukan karena hanya orang cakap saja yang mampu memahami, melaksanakan, dan mempertanggug jawabkan akibat hukum suatu kontrak. Maka cakap adalah orang atau badan hukum harus memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum. Dalam PPTI perwakilan dari setiap pihak sudah dipastikan cakap karena baik dari perwakilan PT. SIER dengan perwakilan para tenant yang terlibat dalam perjanjian mampu melakukan perbuatan hukum dan mengakibatkan dirinya dalam hubungan kontraktural.

Untuk standar kecakapan badan hukum cukup memperhatikan kewenangan yang melekat pada orang yang mewakili pembuatan kontrak. Jika orang tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum bagi perusahaanya maka badan hukum tersebut telah memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat kontrak. Sesuai UU No. 40 Tahun 2007 pasal 1 angka 5 Jo. Pasal 92, untuk pengurusan PT sebagai badan hukum diwakili oleh direksi sebagai pengurus yang berwenang sesuai ketentuan anggaran dasarnya.

Dalam contoh PPTI (perpanjangan) No 80 antara PT SIER dengan PT Bambang Djaja, Terkait standard kecakapan diukur dari beberapa hal yang diantaranya; menghadap dihadapan notaries yang secara sah PT. SIER diwakili oleh Tuan Budi Santoso, S.H. yang lahir pada tanggal 29 Mei 1965 menjabat sebagai Asisten Kepala Biro Hukum perseroan yang merupakan pemegang kuasa dari Tuan Doktorandus Rudhy Wisaksono yang menjabat sebagai Direktur Utama PT. SIER Surabaya.Dari pihak PT. Bambang Djaja yang secara sah diwakili oleh Tuan Harry Suwignjo yang lahir pada tanggal 15 Mei 1971 yang menjabat sebagai direktur perusahaan mewakili direksi. Melalui contoh ini persyaratan kedua telah Sah sesuai syarat KUH Perdata pasal 1320.

3. Obyek yang diperjanjikan

Pada syarat sah nomor 3 (adanya objek atau pokok persoalan suatu kontrak) terdapat kata “Objek”. Menurut analisa dari Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari memaparkan yang dimaksud objek ialah apa-apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan. Lalu menurut KUH Perdata pasal 1332, hanya benda/barang yang dapat diperdagankan saja yang bisa dijadikan objek atau pokok persoalan tertentu (dapat ditentukan dalam kontrak). Doktrin hukum mengakui tentang tidak hanya terhadap benda/barang yang berwujud saja, tetapi juga benda/barang yang tak berwujud yang dikemudian hari aka nada, dapat menjadi objek atau pokok persoalan dalam kontrak, asalkan hal tersebut dapat ditentukan dikemudian dan dengan syarat-syarat tertentu. [10]

Dari PPTI antara PT SIER dengan PT Bambang Djaja objek yang diperjanjikan ialah perpanjangan penggunaan tanah industri di daerah kawasan rungkut industry yang menjadi objek atau pokok persoalan dalam kontrak. Maka untuk persyaratan kedua dalam PPTI telah Sah sesuai syarat KUH Perdata pasal 1320

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Pada syarat sah nomor 4 (adanya Causa yang tidak dilarang undang undang (halal) terdapat kata “Halal” yang memiliki arti isi dari kontrak itu sendiri tidak boleh melanggar hukum positif yang ada. Menurut analisa Yahanan, M Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari, terkait criteria atau ukuran causa suatu kontrak yang tidak dilarang adalah kontrak yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Kontrak yang sebab atau causa nya dilarang oleh undang-undang dalam perbuatan hukum kontraktual berkaitan dengan 3 aspek yakni; 1) dilakukannya perbuatan hukum kontraktual, 2) substansi dari perbuatan hukum kontraktual, 3) maksud dan tujuan dari perbuatan hukum kontraktual. Jadi sebab atau causa yang dilarang oleh undang-undang harus dilaksanakan oleh para pihak. Sebagai contoh semisal pada kontrak utang piutang yang memiliki klausula bahwa utang yang diperoleh debitor akan digunakan untuk membeli dan mengedarkan narkotika dilarang oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. (vide UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).

Lalu terkait dengan kesusilaan tidak dijelaskan dalam KUH Perdata, namun kesusilaan yang baik merupakan aturan sebuah kontrak mengenai norma-norma sosial yang tidak ditulis yang dianggap baik dan diikuti oleh masyarakat yang besangkutan. Menurut Dr. M. Syaifuddin, dengan mengutip dari buku Herlian Budiono, yang juga mengutip pendapat Asser dan Hartkamp, menjelaskan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesusilaan yang baik diserahkan kepada hakim dalam keadaan bagaimanapun juga untuk tiap kasus harus mencari pandangan dari nilai-nilai hidup yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kemudian, criteria/ukuran bertentangan dengan ketertiban umum sebagai sebab atau causa yang tidak dilarang, juga tidak dijelaskan dalam KUH Perdata. Namun menurut Cohen, dalam bukunya Dr. M Syaifuddin, berpendapat bahwa, suatu perbuatan dianggap “bertentangan dengan ketertiban umum” jika perbuatan tersebut bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat. Lalu perbedaan antara bertentangan dengan ketertiban umum dan bertentangan dengan kesusilaan yang baik terletak pada titik tolak penilaiannya. Titik tolak ketertiban umum terutama ialah elemen kekuasaan. Sebaliknya, titik tolak kesusilaan yang baik lebih kepada hubungan intern perorangan.[11]

Untuk PPTI sendiri yang diperjanjikan ialah perpanjangan penggunaan tanah industri yang mana diperuntukan pembangunan ekonomi pada sektor industrial yang berguna untuk membangun perputaran roda perekonomian Indonesia. Lalu mengenai isinya, ada causa yang mengatur tentang harga perpanjangan penggunaan tanah industry. Dalam perkembangannya, harga perpanjangan yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak telah diganti rumusannya oleh PT SIER.

Perubahan harga yang dilakukan oleh Pihak PT. SIER jika ditinjau dari Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 adalah tidak relevan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 (Satu) point 6 yang menjelaskan tentang perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya suatu hak tanpa mengubah syarat syarat dalam pemberian hak tersebut. Maka sesuai dengan PP No 40 Tahun 1996 pasal 1 point 6 tersebut, seharusnya perpanjangan hak hanya merupakan penambahan waktu dan tidak diperbolehkan mengubah syarat yang telah diperjanjikan sebelumnya, yang telah diatur dalam perjanjian awal ketika pemberian hak pertama kali.

Hal ini menandakan bahwa ketentuan yang diperbaharui oleh PT. SIER bertentangan dengan Undang Undang yang bisa mengakibatkan perjanjian ini batal demi hukum karena tidak sesuai dengan norma yang ada. Hal tersebutbisa diartikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum karena bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat yakni tidak sesuai dengan PP No 40 Tahun 1996. Namun masih sangat sulit untuk menentukan apakah kontrak tersebut bertentangan dengan ketertiban umum karena pembentuk KUH Perdatatidak menjelaskan lebih detail mengenai makna dari kontrak yang bertentangan dengan ketertiban umum.

Kesimpulan

Perjanjian Penggunaan Tanah Industri antara PT. SIER dengan para tenant sejatinya telah memenuhi ke-empat unsur syarat sah perjanjian yang di atur oleh KUH Perdata Pasal 1320, namun jika ditelaah lebih lanjut mengenai penentuan harga baru uang pemasukan yang ditetapkan oleh Direksi PT SIER akan membuat kontrak tersebut menjadi cacat. Hal tersebut terjadi jika salah satu dari tenant yang menyewa di daerah kekuasaan PT SIER “merasa terpaksa” untuk membayar perpanjangan PPTI dengan alasan menghindari kerugian yang lebih besar dan memilih untuk membayar uang perpanjangan. Jika tidak ada dasar hukum yang kuat atas perubahan ketentuan uang pemasukan tersebut, maka PPTI bisa dikatakan batal demi hukum. Melalui rumusan uang perpanjangan yang baru, jelas memberatkan para tenant untuk memperpanjang haknya dikarenakan naiknya prosentase uang pemasukan sebesar 1,3% dan ketentuan harga tanah yang berubah menjadi harga pasar yang umumnya jauh lebih tinggi nilai nya dari harga NJOP. Jika hal tersebut diatas terjadi, maka “sirine” status penyalahgunaan keadaan (Masburik van Omstandigheden) akan aktif berbunyi. Karena penyalahgunaan merupakan salah satu faktor pengganggu kehendak yang bebas untuk menyepakati kontrak antar pihak, yang bertentangan dengan asas kebebasan membuat kontrak dan asas konsensualisme. Disaat suatu kontrak tidak sesuai kehendak, yang mana kesepakatanya terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan (keterpaksaan salah satu pihak), maka eksistensi kontrak tersebut akan dapat dibatalkan, bukan batal demi hukum.

Melalui Media ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ibu Sri Budi Purwaningsih, S.H., M.Kn. selaku dosen pembimbing atas bimbingan serta dukungannya dan Ibu Noor Fatimah Mediawati,S.H.,M.H beserta Bapak Moch. Tanzil Multazam,S.H.,M.Kn selaku dosen penguji atas saran-sarannya yang telah di berikan sehingga penelitian ini dapat di selesaikan dengan baik.

References

  1. https://www.sier.id/About Diakses pada tanggal 17 Juni 2020
  2. Peraturan Direksi PT SIER No. 021/KD/D.01/IV/2018 Tentang Uang Pemasukan Atas HGB Diatas HPL yang Habis Masa Berlakunya
  3. Urip Santoso, “Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam hukum Tanah Nasional”, Vol. 24, No. 2, 2017.
  4. Afra Fahilah Dharma Pasambuna, “Implementasi Hak Pengelolaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Negara”, Vol. 5, No. 1, 2017.
  5. Ana Silviana, “Pemanfaatan Tanah Di Atas Hak Pengelolaan Antara Regulasi dan Implementasi” Vol. 5, No. 1. 2017
  6. Victor, Skripsi : “Perlindungan Hukum Pemegang HGB Diatas Tanah HPL Di Jalan Nibung Raya Kecamatan Medan Petisah” (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2018).
  7. Herlien Budiono. 2016, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya,Bandung.
  8. Dr. Muhammad Syaifuddin, S.H., M.Hum., 2016, Hukum Kontrak, Mandor Maju, Bandung.
  9. J. Satrio, 1992. Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), Citra Aditya Bakti, Bandung.
  10. C. Asser-A.S Hartkamp dalamDr. Muhammad Syaifuddin, S.H., M.Hum., 2016, Hukum Kontrak, Mandor Maju, Bandung.
  11. J.L.P. Cahen dalam dalam Dr. Muhammad Syaifuddin, S.H., M.Hum., 2016, Hukum Kontrak, Mandor Maju, Bandung.