Abstract
This study aims to analyze and describe acts of violence against women in Pasuruan Regency as well as analyze and describe the implementers in advocating acts of violence against women in Pasuruan Regency. The research method used is a qualitative approach, data collected through observation, interviews and documentation, while the data sources are primary and secondary data. Informants determined by purposive sampling, the informants include the Head of Gender Mainstreaming Institutionalization (PUG) and Women's Protection, Facilitators and Staff (Data), data analysis derived from Miles and Huberman data, namely through data collection, data, data presentation and conclusion. The results of this study indicate that the implementers in advocating for assistance to acts of violence against women in Pasuruan Regency should be the KBPP Office, and PPT-PPA which consists of various OPD (Regional Apparatus Organizations) as providing support and assistance to victims.
Pendahuluan
Kekerasan perempuan merupakan suatu tindakan yang melukai perempuan tanpa adanya persetujuan dari perempuan yang menjadi korban tersebut [1]. Pada saat ini di Indonesia kekerasan perempuan masih menjadi suatu permasalahan yang masih belum terselesaikan dan semakin banyak yang mejadi korbannya. Sehingga, kekerasan perempuan sangat menyita perhatian semua pihak baik dari pemerintah pusat khususnya Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) hingga pemerintah kabupaten/kota. Berbagai macam faktor penyebab terjadinya kekerasan perempuan diantaranya adalah dipicu oleh kondisi ekonomi yang semakin menurun, kondisi lingkungan sekitar korban dan pelaku atau pergaulan, kondisi sosial, dan sejak tahun 2020 sampai 2021 saat ini faktor pemicu yang paling besar adalah pandemi Covid-19 dikarenakan segala sektor mengalami penurunan salah satunya pada sektor ekonomi yang semakin melemah sedangkan kebutuhan yang semakin meningkat.
Provinsi Jawa Timur juga masih mengalami tingkat kasus kekerasan perempuan yang masih tinggi. Dimasing-masing daerahnya juga masih terdapat kasus kekerasan perempuan yang tinggi. Khususnya di Kabupaten Pasuruan yang menduduki peringakat ke-22 dengan jumlah kasus sebanyak 27 kasus pada Januari hingga 12 Desember 2021 [2]. Dari jumlah kasus kekerasan yang cukup tinggi tersebut, pemerintah Kabupaten Pasuruan memberikan perlindungan serta penanganan kepada korban, agar kekerasan perempuan tidak mengalami peningkatan. Namun, dalam realitanya korban kekerasan perempuan di kabupaten Pasuruan masih tinggi, hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
No | Tahun | Jumlah Korban |
1 | 2019 | 23 Korban |
2 | 2020 | 41 Korban |
Pada tabel 1 yang bersumber dari Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan tahun 2021dijelaskan bahwa jumlah korban kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan mengalami kenaikan pada tahun 2020. Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP) melakukan upaya pendampingan dan penanganan korban kekerasan melalui sebuah solusi aplikatif dengan sebutan Sakera Jempol untuk penanganan kekerasan di Kabupaten Pasuruan, yang merupakan sebuah ide kreatif dari bidang pemberdayaan perempuan Dinas KBPP dengan didasarkan pada tingginya kasus kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 58 kasus kekerasan.
Namun dalam pelaksanaannya program Sakera Jempol maupun advokasi jempol terdapat ketidakselarasan mengenai tujuan dengan realita yang terjadi, karena tingkat pelaporan kasus kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan masih rendah yang mengakibatkan banyaknya korban kekerasan yang belum tertangani, dikarenakan kurangnya peran aktif dan koordinasi dari para stakeholder dalam melaksanakan tugas serta fungsinya. Sangat dibutuhkannya peran dan koordinasi dari para stakeholder yang dapat membantu keberhasilan dalam pelaksanaan advokasi jempol yaitu pendampingan kepada korban. Stakeholder yang terlibat dalam proses advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan yaitu pemerintah, swasta, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat. Stakeholder pemerintah dalam kegiatan advokasi jempol berperan memberikan persetujuan, dukungan, serta pengawasan terhadap kebijakan, program kegiatan dan anggaran dalam pelaksanaan advokasi pendampingan.
Upaya pendampingan serta penanganan kekerasan perempuan bukan hanya tanggung jawab dari pihak pemerintah saja, namun tanggung jawab dari seluruh stakeholder seperti pihak bantuan hukum, kepolisian, pengadilan, psikiater, pihak rehabilitasi sosial, perguruan tinggi, organisasai masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat,dan pihak stakeholder lainnyaseperti yang telah ditetapkan dalam Keputusan Bupati Pasuruan Nomor: 260/709/HK/424.014/2019 mengenai susunan keanggotaan pengurus pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Namun, dalam realitanyamasih kurangnya peran, koordinasi serta dukungan dari setiap stakeholder yang seharusnya terlibat dalam advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh keputusan Bupati Pasuruan sehingga upaya yang dilakukan oleh Dinas KBPP belum berjalan secara maksimal, sehingga korban banyak yang tidak melaporkan kasus yang menimpanya, yang mengakibatkan banyak korban yang belum tertangani.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian yang digunakan yaitu di Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan. Pada penelitian ini yang menjadi fokus adalah penelitia adalah advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.16 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 9 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yaitu : (a) Konseling, (b) Terapi dan advokasi untuk penguatan, (c) Pemulihan diri korban kekerasan. Dan peran implementor dalam advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan berdasarkan Nugroho (2014). Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan purposive sampling, informan tersebut diantaranya adalah Kasi Pelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Perlindungan Perempuan, Tenaga pendamping serta Tenaga Administrasi (Data). Jenis dan sumber data berasal dari data primer dan sekunder, dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data berasal dari data Miles dan Huberman yaitu melalui pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Advokasi Pendampingan Tindak Kekerasan Perempuan di Kabupaten Pasuruan
Konseling
Konseling menurut Pepinsky dan Pepinsky dalam Rofiq (2017) menjelaskan bahwa konseling merupakan sebuah proses pemberian layanan bantuan yang menggunakan interaksi antara konselor serta konseling didalam ruangan khusus, yang bertujuan untuk merubah tingkah laku konseling untuk mencapai pemecahan kebutuhannya [3]. Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Aroma Elmina Martha (2020) dalam penelitian terdahulunya yang menjelaskan bahwa konseling dilihat sebagai sebuah proses kerjasama yang mana dari setiap individu diberikan sebuah penghargaan dalam kapasitas kekuatan yang sama dalam mendiskusikan sebuah masalah serta strategi pemecahan masalahnya [4]. Dalam hal ini konseling dilakukan untuk menangani korban kekerasan perempuan yang dilakukan oleh Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan. Konseling yang dilakukan oleh Dinas Keluarga Berencan dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan dilakukan setelah korban melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. Konseling dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan dari korban serta bertujuan untuk mengetahui tindakan yang selanjutnya dilakukan oleh pihak Dinas kepada korban. Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan dalam hal konseling memiliki konselor sendiri dari Tenaga Pendamping Fasilitator Lapangan Penanganan Kasus Tindak Kekerasan Perempuan yang sekaligus sebagai psikologi yang menangani korban kasus kekerasan perempuan.
Konseling dilakukan melalui assessment terlebih dahulu dan wawancara kepada korban kekerasan, selanjutnya hasil dari assessment tersebut akan dijadikan sebagai acuan oleh konselor dan tenaga pendamping untuk memutuskan tindakan yang selanjutnya akan diberikan kepada korban. Tahapan yang dilakukan setalah konseling yaitu berdasarkan kebutuhan dari korban dan kasusnya. Konseling kepada korban kekerasan perempuan merupakan salah satu bentuk advokasi pendampingan berupa bantuan pengobatan psikis. Advokasi pendampingan berupa konseling ini adalah kegiatan yang memang wajib dilakukan kepada korban sebagai bentuk awal penanganan kepada korban kekerasan perempuan khususnya di Kabupaten Pasuruan. Konseling ini dilakukan mulai dari awal setelah korban melakukan pelaporan hingga kasusnya selesai, hal tersebut karena sebagai bentuk monitoring kepada korban kekerasan perempuan agar dapat memastikan bahwa korban tidak mengalami trauma kembali serta dapat melupakan kasus kekerasan yang menimpanya.
Terapi dan Advokasi Untuk Penguatan
Terapi menurut Singgih Gunawan yaitu perawatan kepada kejiwaan seseorang yang mengalami suatu gagasan ataupun pelaksanaan teknik khussu untuk penyembuhan penayakit mental serta pada kesulitan-kesultan untuk penyesuaian diri [5]. Menururt Aroma Elmina Martha (2020) terapi dilakukan melalui pendidikan hukum klinis yaitu paraktik yang dapat mendukung serta mampu berkontribusi sebagai suatu pengalamn yang berharga bagi klien [4]. Advokasi penguatan merupakan suatu pemberian hak kepada korban dengan penguatan fisik dan psikis dari korban [6]. Terapi dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut dari konseling sebagai bentuk pengobatan mental dan kejiwaan dari korban kekerasan. Sedangkan advokasi penguatan adalah suatu pembelaan dan perlindungan yang diberikan kepada korban kekerasan perempuan.Dalam hal ini terapi dan advokasi penguatan yang dilakukan oleh Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten Pasuruan yaitu berupa konseling lanjutan yang dilakukan dengan psikolog dari RSUD, serta visum dan rehabilitasi apabalia diperlukan oleh korban dan pembelaan dalam pemberian bantuan hukum. Namun, untuk konseling lanjutan ini dilakukan berdasarkan hasil dari assessment konseling yang disesuaikan dengan kebutuhan dari korban dan kasusnya. Kegiatan terapi yang dilakukan lainnya yaitu pemantaun kepada korban kekerasan melalui tenaga fasilitator dan tenaga pendamping fasilitator lapangan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Pemantaun tesebut dilakukan sebagai bentuk monitoring dan evaluasi dari konseling yang dilakukan.
Sedangkan untuk advokasi penguatan yang dilakukan yaitu penguatan psikis kepada korban, serta pemberian dan pembelaan korban melalui bantuan hukum. Tetapi advokasi penguatan tersebut dilakuka berdasarkan kebutuhan dari korbannya, untuk penguatan secara mental kepada korban diberikan hingga korban merasa dirinya sudah baik-baik saja yang dilakukan melalui konseling kembali. Namun, untuk advokasi pembelaan berupa bantuan hukum kepada korban dilakukan berdasarkan kebutuhan dari korban dan juga kasusnya, karena pihak Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan tidak memaksakan korban kekerasan perempuan untuk memproses kasusnya hingga ke proses hukum.
Pemulihan Diri Korban
Menurut ilmu psikolog, pemulihan diri adalah proses penyembuhan yang dilakukan diri sendiri untuk dapat bangkit kembali dari penderitaan atau luka yang pernah dialami dari luka batin [7]. Sedangkan menurut Subiyantoro (2006) dalam penelitian terdahulu dari Alika Mutiara Shadina, dkk (2021) menjelaskan dalam pelaksanaan advokasi harus mengutamakan pemulihan diri korban, proses pemulihan diri ini dilakukan berada dijalur yang sama serta memberikan dukungan kepada korban agar dapat mempercepat pemulihan diri korban [8]. Dalam hal ini pemulihan diri korban dilakukan pada korban kekerasan perempuan yang ada di Kabupaten Pasuruan, proses pemulihan diri ini dilakukan oleh Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan. Pemulihan diri hanya bisa berhasil apabila ada kemauan dan semangat dari diri korban, maka dari itu Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan memberikan motivasi-motivasi kepada korban kekerasan perempuan sebagai upaya untuk pemulihan diri korban dan juga agar korban mampu melupakan kasus kekerasan yang menimpanya. Tenaga fasilitator dan pendamping lapangan penanganan kasus tindak kekerasan perempuan bersikap sebagai support system dari korban yang selalu mendukung dan mendampingi korban selama proses advokasi pendampingan berlangsug hingga tuntas sampai korban merasa dirinya sudah baik-baik saja, dan mampu merubah dirinya hingga dalam kondisi seperti kekerasan belum menimpanya. Tahapan pendampingan yang dilaksanakan dilakukan hingga korban merasa dirinya sehat secara fisik dan psikis.
Namun pada tahun 2016 pemulihan diri korban ini juga dilakukan melalui pemberdayaan korban kekerasan perempuan dan hanya berjalan sampai pada tahun 2017 saja dengan alasan yang tidak dijelaskan oleh pihak Dinas KBPP Kabupaten Pasuruan. Padahal pemberdayaan korban kekerasan perempuan ini sangat penting karena dapat membantu dalam meningkatkan kemandirian ekonomi korban kekerasan perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam perspektif sosial ekonomi sangat berperan staretgis, karena perempuan mampu mengambil alih posisi subordinat perempuan dengan kedudukan perempuan yang mempunyai keunggulan kompetitif [9]. Pemberdayaan perempuan bisa dilakukan melalui beberapa kegiatan yang diantaranya adalah kegiatan pendidikan, pembinaan serta pengembangan kelemabagaan supaya perempuan mampu berperasan aktif pada penguatan sosial ekonomi mereka sendiri [9].
Implementor Dalam Advokasi Pendampingan Tindak Kekerasan Perempuan di Kabupaten Pasuruan
Implementor adalah pihak yang memiliki peran untuk melaksanakan kebijakan dan kelompok sasaran lainnya, pihak ini bertanggung jawab sebagai pihak utama yang mengarahkan program sesuai dengan ketentuan [10]. Jika berdasarkan penelitian terdahulu dari Amanda Elista, dkk (2021) pihak stakeholder yang berperan sebagai implementor adalah seluruh pihak pemerintah dan juga sasaran dari dilaksanakannya kebijakan tersebut [11]. implementorini adalah sebagai pelaksana kebijakan yang didalamnya termasuk kelompok sasaran dari advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan. Adanya implementorini dapat menjadi pengukur keberhasilan dari advokasi pendampingan.
Dalam hal ini pelaksana kebijakan adalah Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuran dengan kelompok sasarannya adalah korban kasus tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan. Advokasi pendampingan dilakukan oleh Dinas KBPP sebagai bentuk penanganan korban kasus kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan. Terkait dengan pelaksana advokasi pendampingan, Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan memiliki 3 (tiga) pelaksana dalam pemberian pelayanan kepada korban kekerasan perempuan, yang memiliki kompetensi masing-masing yaitu sebagai berikut :
- Tim Administrasi : Mampu memahami serta menerima laporan kasus dan menginput data pada SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak)
- Tim Teknis : Mampu memhami kasus dan menindaklanjuti atau merujuk korban untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutahn kondisi korban.
- Tim Pendampingan : Memahami kondisi psikis korban dan mampu mendampingi korban ke tempat pelayanan yang dibutuhkan. Dan mampu menjaga kerahasiaan serta identitas korban.
Berdasarkan penelitian terdahulu menurut Mei Sarah Wati (2019) implementor dari penaganan tindak kekerasan perempuan adalah Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang ada di beberapa kecamatan. Sedangkan di Kabupaten Pasuruan pelaksana advokasi pendampingan adalah Dinas KBPP juga dibantu oleh Tim PPT-PPA dalam melaksanakannya agar sesuai dengaa sasaran dari adanya advokasi pendampingan [10]. Sasaran dari adanya advokasi pendampingan adalah perempuan korban kekerasan yang membutuhkan penanganan dan akses informasi untuk tindak kasus kekerasan perempuan, serta masyarakat Kabupaten Pasuruan agar dapat memahami dan turut aktif mencegah kasus kekerasan perempuan. hal tersebut dilakukan agar kasus korban kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan tidak semakin meningkat, korban kekerasan perempuan juga berani bersuara dan melapor akan kasus kekerasan yang menimpanya.
Pelaksana dari advokasi pendampingan ini seharusnya adalah Dinas KBPP, dan PPT-PPA yang terdiri dari berbagai OPD (Organisasi Perangkat Daerah) sebagai pemberian dukungan dan pendampingan pada korban. Pelaksana dari advokasi pendampingan ini tidak ada karakteristik khusus, Dinas KBPP hanya menginginkan adanya komitmen dari masing-masing koordinator yang ada di PPT-PPA, karena komitmen itu akan dapat membantu Dinas KBPP dalam melaksanakan advokasi pendampingan ini kepada korban kekerasan sesuai dengan apa yang diharapkan. Serta proses komunikasi yang baik harus tetap terjalin antar pelaksana advokasi pendampingan ini, agar bisa melaksanakan advokasi pendampingan sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing dan selaras dengan kegiatan advokasi pendampingan yang dilakukan oleh Dinas KBPP.
Namun dalam realitanya, pelaksana dari advokasi pendampingan tidak menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang ada. Berdasarkan stakeholder yang terlibat dalam advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan pada tahun 2021, tugas dan kewajiban dari implementor stakeholder kegiatan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Implementor | Idealnya | Realitanya |
Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan | Melakukan pendampingan kepada kasus korban kekerasan perempuanMemberikan hak advokasi kepada kasus korban kekerasan perempuanMelakukan pendantaan kepada kasus korban kekerasan perempuanMemfasilitasi kebutuhan kasus korban kekerasan perempuan berdasarkan SOP yang telah adaMelakukan koordinasi dengan stakeholder lain Menjembatani korban dengan pemberi bantuan pada kasusnya | Melakukan pendampingan kepada kasus korban kekerasan perempuanMemberikan hak advokasi kepada kasus korban kekerasan perempuanMelakukan pendantaan kepada kasus korban kekerasan perempuanMemfasilitasi kebutuhan kasus korban kekerasan perempuan berdasarkan SOP yang telah adaMelakukan koordinasi dengan stakeholder lainMemberikan rumah aman dan pendampingan kepada korban kekerasan perempuanMediasi pada kasus perceraian yang disertai dengan kekerasanMenjembatani korban dengan pemberi bantuan pada kasusnya |
RSUD Bangil | Memberikan bantuan visum dan pendampingan psikologi korbanKoordinasi dengan Dinas KBPP mengenai hasil dari visum dan psikologi korban | Memberikan bantuan visum dan pendampingan psikologi korbanKoordinasi dengan Dinas KBPP mengenai hasil dari visum dan psikologi korban |
Polres Pasuruan | Pelaporan korbanPendataan korbanBantuan hukumForensik Koordinasi dengan Dinas KBPP mengenai pelaporan korban Koordinasi dengan Dinas KBPP mengenai pendataan korban | Pelaporan korbanPendataan korbanBantuan hukumKoordinasi dengan Dinas KBPP mengenai pelaporan korban |
Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan | Rehabilitasi sosialRumah aman dan pendampinganPemberian hak korban pekerja dari pekerja sosialKoordinasi dengan Dinas KBPP terkait perkembangan kasus korban kekerasan perempuan | Rehabilitasi sosialPemberian hak pekerja perempuan korban kekerasan dari pekerja sosial |
Kementrian Agama Kabupaten Pasuruan | Mediasi pada kasus perceraian yang disertai dengan kekerasanPemberian hak perempuan dalam rumah tangga Koordinasi dengan Dinas KBPP untuk kasus perceraian disertai kekerasan perempuan | Pemberian hak perempuan dalam rumah tangga Koordinasi dengan Dinas KBPP untuk kasus perceraian disertai kekerasan perempuan |
Berdasarkan tabel 2 yang bersumber dari hasil olah penulis tahun 2022 dapat diketahui bahwa stakeholder implementor dalam advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan masih belum melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakatinya dengan dinas Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan PPT-PPA Kabupaten Pasuruan. Implementor masih kurang berperan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga beberapa tugas dan kewajiban dari OPD lain dilaksanakan oleh Dinas KBPP sendiri.
Kesimpulan
Advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan dengan indikator konseling yang dilakukan oleh Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan yaitu melalui assessment konseling untuk mengetahui permasalahan dari korban dan kondisi psikis korban, kegiatan tersebut dilakukan pada awal setelah korban melakukan pelaporan dan setelah proses penanganan kasus kekerasannya selesai, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk evaluasi dan monitoring pada kondisi psikis korban. Pada indikator terapi dan advokasi untuk penguatan terapi diberikan tergantung dari kebutuhan korban, dan advokasi untuk penguatan diberikan untuk perlindungan dan pembelaan kepada korban oleh Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasuruan. Sedangkan pada indikator pemulihan diri korban dilakukan melalui pemberian motivasi kepada korban agar korban bisa melupakan kasus yang menimpanya, sehingga korban mampu beradaptasi kembali di masyarakat. Implementor dalam advokasi pendampingan tindak kekerasan perempuan di Kabupaten Pasuruan yaitu Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan. Pelaksana tersebut memiliki kompetensi masing-masing yang tertuang dalam SOP (Standar Operasional Prosedur) pelayanan Dinas KBPP.
References
- Bambang, Eko. (2006). Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Pengalaman Forum Belajar Bersama Komnas Perempuan. Jakarta. Komnas Perempuan.
- Sitem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), 2021
- Rofiq, A. A. (2017). Teori dan Praktik Konseling. Surabaya: Raziev Jaya.
- Martha, A. E. (2020). Advokasi Perempuan Korban Kekerasan Melalui Model Clinic Legal Education. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 27(3), 547-567.
- Puspitasari, R. (2019). SHALAT SEBAGAI TERAPI DALAM MENGATASI KECEMASAN (studi kasus pada klien B di Tanjung Enim Kecamatan Lawang Kidul Kabupaten Muara Enim)(SKRIPSI) (Doctoral dissertation, UIN Raden Fatah Palembang).
- Shadina, A. M., & Timoera, D. A. (2021). Advokasi Komisi Nasional Perempuan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rhizome: Jurnal Kajian Ilmu Humaniora, 1(1), 26-32.
- Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajawali, 2002
- Shadina, A. M., & Timoera, D. A. (2021). Advokasi Komisi Nasional Perempuan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rhizome: Jurnal Kajian Ilmu Humaniora, 1(1), 26-32.
- Isna, F. A. (2018). Model of Women Empowerment in Strengthening Family Socio-Economic Status. In Proceedings of the 1st International Conference on Emerging Media and Social Science (ICEMSS 2018). Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
- Wati, M. S., & Kismartini, K. (2019). PERAN STAKEHOLDERS DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DARI TINDAK KEKERASAN DI KOTA SEMARANG. Journal of Public Policy and Management Review, 8(2), 303-319.
- Elista, A., Kismartini, K., & Rahman, A. Z. (2021). PERAN STAKEHOLDER DALAM PROGRAM PENCEGAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA SEMARANG. Journal of Public Policy and Management Review, 10(3), 363-377.