Social Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v20i0.1284

Coordination between Actor in Handling Homeless People in Sidoarjo Regency


Koordinasi Antar Aktor dalam Menangani Gelandangan di Kabupaten Sidoarjo

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Coordination Actors The Tramp

Abstract

The high poverty rate in East Java can be explained by a variety of reasons, namely the lack of synergy in the poverty alleviation program between levels of government. So, the problem of poverty should be a top priority in development policy and also the main challenges in policy development in East Java, to achieve the welfare of the community. Causes of poverty is the lack of distribution of work, so the big cities in general provide more jobs and greater than small towns.This study aims to describe and analyze the condition of the tramp in Sidoarjo, as well as describe and analyze the synergy of actors in dealing with a tramp in Sidoarjo. This type of research is descriptive qualitative research. Determination of informants of this research using purposive sampling, with the informant Section Head of the Social Rehabilitation Department of Social Sidoarjo Regency, the Head of the Field of Public Order and Peace of the Community Civil service Police Unit of the City of Sidoarjo, Head of the Social Welfare Workers district in Sidoarjo, and the Tramp who roaming the streets. Data collection techniques in this study using observation, interview and documentation. The technique of analyzing data in this research using data collection, data reduction, data presentation and data verification. The results showed most of the bums in Sidoarjo is the immigrant population of the cities in the vicinity Sidoarjo and stay vagrancy, although there is also a drifter who comes to Sidoarjo in the morning to beg and go home at night. A variety of factors that affect the arrival of a vagrant to Sidoarjo, ranging from oppressed the needs of the economy, have hope for a better life in Sidoarjo up feeling lazy to work.

Pendahuluan

Pembangunan nasional adalah serangkaian upaya berkelanjutan di semua bidang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik. Pembangunan nasional merupakan bagian dari pemenuhan tujuan nasional yang ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berpartisipasi dalam perwujudan tatanan dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sebagai negara berkembang, Indonesia masih perlu dibenahi. Kapasitas negara di berbagai sektor pembangunan tidak dapat di implementasikan secara simultan dan menghasilkan secara maksimal. Perlu adanya suatu perencanaan untuk pemerataan pembangunan, terbatasnya kemampuan suatu negara maka perlu bantuan dan kesadaran dari setiap lapisan masyarakat.

Dalam proses pembangunan saat ini, dapat dipastikan bahwa ada banyak permasalahan mendasar, termasuk masalah kemiskinan, yang merupakan dampak dari pembangunan yang tidak merata antara kota dan desa.. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 26,5 juta orang atau 10,12 persen, dan jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2016 yang sebesar 27,7 juta orang, jumlah penduduk miskin berkurang 1,18 juta orang. Untuk angka kemiskinan di Jawa Timur masih relatif tinggi. Pada periode semester akhir tahun 2017 angka kemiskinan di Jawa Timur sebesar 4,4 juta atau 11,20 persen. Meski demikian, pada tahun 2017 angka kemiskinan tersebut mengalami penurunan dibanding tahun lalu yang mencapai 4,6 juta atau 11,85 persen.

Tahun Jumlah Kemiskinan Persentase
Semester 1 Semester 2 Semester 1 Semester 2
2014 4786,8 4748,4 12,42 12,28
2015 4789,1 4776 12,34 12,28
2016 4703,3 4638,5 12,05 11,85
2017 4617 4405,3 11,77 11,20
Table 1.Jumlah Kemiskinan di Jawa Timur

Data di atas diperkuat dengan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan pada tahun 2014 sampai tahun 2015 sebesar 6,49 persen, sedangkan di perkotaan hanya 3,93 persen. Pada Tahun 2016 sampai 2017, jumlah penduduk miskin hanya turun sebesar 0,01 persen. Tingginya kesenjangan ekonomi terlihat dari 47 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang hanya ditopang oleh 4 perkotaan yaitu Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Kediri.

Penyebab tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur dapat dijelaskan dengan berbagai alasan yakni kurangnya sinergi dalam program pengentasan kemiskinan antar tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota), budaya masyarakat, akses publik yang buruk terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan kendala geografis, dan infrastruktur ekonomi dan sosial yang terbatas di pedesaan. Oleh karena itu, masalah kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan dan juga tantangan utama dalam kebijakan pembangunan Jawa Timur untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penyebab kemiskinan lainnya adalah distribusi pekerjaan di Indonesia masih kurang, sehingga kota-kota besar pada umumnya menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kota-kota kecil. Lahan pertanian yang sempit di pedesaan juga banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan beberapa perusahaan atau pabrik. Penduduk desa terdorong untuk melakukan urbanisasi untuk mengubah hidup mereka, tetapi pendidikan dan keterampilan yang mereka punya masih kurang memadai. Inilah alasan keengganan orang-orang tunawisma untuk kembali ke wilayah mereka selain karena mereka merasa malu, mereka berpikir daerah mereka memiliki pekerjaan yang lebih sempit daripada tempat mereka sekarang tinggal. Mereka memutuskan untuk tetap meminta-minta, mengamen, memulung, dan berjualan seadanya hingga pekerjaan yang lebih baik menjemput mereka.

Gelandangan adalah masalah yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan, mereka sering menempati beberapa emperan toko, pemukiman kumuh, kolong jembatan untuk tempat tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. Orang yang memilih untuk bergelandang tidak memungkinkan untuk hidup berkeluarga, hidup berkeliaran, dan seringkali merasakan hawa panas maupun dingin serta terkena hujan. Keberadaan mereka membuat masyarakat merasa sangat resah dikarenakan mengganggu beberapa aktivitas yang terjadi di jalan raya dan merusak keindahan di perkotaan, selain itu banyak tindakan yang dilakukan oleh gelandangan seperti mencuri, menggesek mobil pengendara dan pelecehan perempuan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980, di dalam masyarakat setempat gelandangan dijelaskan sebagai seseorang yang menjalani kehidupan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang tidak memiliki tempat tinggal serta pekerjaan yang tetap di suatu wilayah dan hidupnya selalu mengembara di tempat umum.

Banyaknya gelandangan ini juga mendapat perhatian dari beberapa Daerah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Cimahi telah menjadi sebuah permasalahan, para gelandangan telah diberikan pembinaan namun beberapa dari mereka masih kembali ke jalanan. Adapun masalah gelandangan lain yakni di kota Madiun, keberadaan gelandangan di kota tersebut meresahkan para warga setempat. Sempat terjadi aksi kejar mengejar saat melakukan razia, dan dari 3 gelandangan tersebut mengaku berasal dari luar daerah yakni Sampang dan Ponorogo.

Kabupaten Sidoarjo juga menghadapi permasalahan gelandangan, keberadaan gelandangan di Kabupaten Sidoarjo saat ini masih ditemui di beberapa tempat, berdasarkan rekapitulasi data gelandangan di Sidoarjo pada bulan januari sampai bulan april 2018 berjumlah 121 diantaranya yakni 83 berjenis kelamin laki-laki dan 33 berjenis kelamin perempuan. Jumlah gelandangan di Sidoarjo dalam angka 2018 yaitu 187 jiwa, menurun dari angka 2017 yakni 236 jiwa, sedangkan pada angka 2016 berjumlah 215 jiwa.

TAHUN JUMLAH TOTAL
L P
2015 127 88 215
2016 135 101 236
2017 97 90 187
Table 2.Jumlah Gelandangan di Kabupaten Sidoarjo

Setiap tahun data jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Sidoarjo berubah-ubah, sehingga tidak bisa memastikan berapa sebenarnya jumlah gelandangan yang ada. Sidoarjo masih belum bebas dari gelandangan dikarenakan banyak diantara gelandangan tersebut yang berasal dari luar kota yang sengaja datang dan meminta-minta di daerah Sidoarjo dan ada pula yang tidak diketahui identitasnya. Alun-alun Sidoarjo merupakan sentral atau ibukota Kabupaten Sidoarjo banyak dijadikan tujuan oleh para gelandangan untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak, salah satu contohnya terdapat gelandangan yang berkeliaran dan menyamar sebagai peminta sumbangan. Sebgian besar gelandangan yang berkeliaran di Sidoarjo berasal dari kota Pasuruan. Mereka bekerja atas suruhan orang yang berkepentingan dengan menaiki truk dan menyebar di beberapa daerah Sidoarjo.

Pada observasi awal penulis mengetahui adanya aktor-aktor yang terkait dalam menangani gelandangan yakni Dinas Sosial, Satpol PP, dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Dinas Sosial memiliki peran untuk melakukan rehabilitasi terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), salah satunya yaitu gelandangan yang dibantu oleh Satpol PP dalam penangkapan atau razia. Selain itu, TKSK juga memberikan suatu informasi jika terdapat orang yang memiliki masalah kesejahteraan sosial di daerahnya ke Dinas Sosial. Informasi-informasi lain juga didapatkan melalui Pusat Pengaduan Pelayanan Masyarakat (P3M) yang dilakukan secara online. Selain itu minimnya waktu kerjasama antara Dinas Sosial dengan Satpol PP, yaitu 4 kali dalam satu bulan Satpol PP hanya melakukan razia sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sebelum razia dilakukan Dinas Sosial berkerja sama dengan Satgas sosial untuk menghalau para gelandangan tersebut, jika masih menetap Satpol PP baru menindak lanjuti. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dari sinergitas aktor dalam menangani gelandangan di daerah Sidoarjo, untuk menganalisis sejauh mana kerjasama yang dilakukan oleh aktor-aktor terkait. Menurut Sofyandi Garniwa komunikasi dibedakan menjadi dua yaitu mengarah pada sumber dan mengarah kepada penerima. Koordinasi menurut Moekijat terdapat 9 syarat untuk mencapai koordinasi yang efektif yaitu adanya hubungan langsung, kesempatah awal,kontinuitas, dinamisme, tujuamn yang jelas, organisasi yang sederhana, perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang aktif, dan kepemimpinan supervise yang efektif.

Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi gelandangan di Kabupaten Sidoarjo serta mendiskripsikan dan menganalisis sinergitas aktor dalam menangani gelandangan di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif . Penelitian deskriptif kualitatif adalah berupa gambar dan uraian kata dari hasil wawancara yang didapatkan. Sugiyono menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berdasarkan filsafat post positivisme, pada kondisi alamiah peneliti sebagai teknik pengumpulan data dengan cara menggabungkan, menganalisis data yang bersifat kualitatif, dan menekankan pada makna dari pada generalisasi . Langkah-langkah dalam penelitian deskriptif kualitatif yakni fenomena yang diamati dan dijelaskan secara rinci dan ilmiah dimulai dari hal terkecil hingga yang lebih luas. Penentuan informan pada penelitian kualitatif adalah purposive sampling . Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik penganalisisan data pada penelitian ini menggunakan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan verifikasi data .

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini membahas tentang sinergitas aktor dalam menangani gelandangan di alun-alun Sidoarjo berdasarkan indikator komunikasi dan koordinasi:

Koordinasi Antar Aktor dalam Menangani Gelandangan di Alun-Alun Sidoarjo.

Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya sekitar alun-alun Sidoarjo dilihat dari indikator koordinasi mencakup sembilan syarat demi tercapainya koordinasi yang efektif, kesembilan syarat tersebut ialah hubungan langsung, kesempatan awal, kontinuitas, dinamisme, tujuan yang jelas, organisasi yang sederhana, perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang efektif, kepemimpinan supervisi yang efektif. Berikut penjelasan secara rinci koordinasi dalam sinergitas menangani gelandangan di daerah Sidoarjo berdasarkan kesembilan syarat:

Pertama, hubungan langsung menjadi salah satu syarat demi tercapainya koordinasi yang efektif. Hubungan langsung dapat memudahkan pencapaian koordinasi karena tidak memerlukan pihak ketiga. Dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, pihak Dinas Sosial bergubungan secara langsung dengan pihak SATPOL PP untuk mengamankan, merazia, dan sidak (sidang mendadak) para gelandangan yang berkeliyaran. Pihak Dinas Sosial juga berhubungan secara langsung dengan pihak Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam menangani dan membimbing para gelandangan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan dalam wawancara dengan penulis terkait hubungan yang terjalin antara Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK):

“Dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, Dinaa Sosial secara lansgung berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Dalam hal ini, kami saling berhubungan secara langsung tanpa melalui pihak ketiga. Hal ini dikarenakan agar proses penanganan gelandangan dapat dilakukan secara cepat.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Senada dengan yang disampaikan pihak Dinas Sosial, hal yang sama juga diungkapkan oleh pihak Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, Ibu Endang Tri Ratnawati yang menjelaskan bahwa:

“TKSK berhubungan secara langsung dengan Dinas sosial. Begitu pula dengan SATPOL PP. Hubungan secara langsung ini diterapkan agar proses koordinasi dapat berjalan dengan cepat dan akurat.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Hal ini juga diperkuat oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“Koordinasi dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, karena tidak menutup kemungkinan apabila melibatkan pihak ketiga dalam koordinasi penangan gelandangan dikhawatirkan dapat terjadi miss komunikasi atau perbedaan penyampaian dari apa yang disampaikan oleh pihak pertama melalui pihak ketiga.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas menunjukkan bahwa koordinasi dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya sekitar alun-alun Sidoarjo antara Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) saling berhubungan secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga, hal ini dilakukan agar proses koordinasi dapat berjalan dengan cepat dan meminimalkan risiko miss komunikasi.

Kedua, kesempatan awal dapat memudahkan pencapaian koordinasi dalam tingkatan awal proses suatu rencana dan pembentukan kebijaksanaan. Dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, Dinas Sosial sebagai lembaga yang memebentuk kebijakan termasuk kebijakan dalam menangani gelandangan kemudian berkoordinasi dengan pihak lainnya untuk menerapkan kebijakan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Dinas Sosial membentuk kebijakan termasuk dalam menangani gelandangan, kemudian kami melihat siapa saja pihak yang dibutuhkan dalam kebijakan tersebut. Kemudian kami meminta secara langsung dan melibatkan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam kebijakan ini. Dalam menangani gelandangan, Dinas Sosial melibatkan SATPOL PP untuk mengawasi masyarakat agar patuh dan taat terhadap peraturan daerah yang berlaku. Dinas Sosial juga melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) sebagai badan bertugas membantu menyelenggarakan kesejahteraan sosial di tingkat kecamatan.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal ini juga disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“SATPOL PP ikut terlibat dalam menegakkan Perda (Peraturan Daerah) dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman asyarakat serta perlindungan masyarakat.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Senada dengan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kabupaten Sidoarjo, Ibu Endang Tri Ratnawati yang menjelaskan bahwa:

“Dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, TKSK menjadi salah satu pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perencanaan kebijakan dalam menangani gelandangan. Hal ini dikarenakan TKSK adalah salah satu pihak yang menerima tugas, fungsi, dan kewenangan oleh Kementerian Sosial, dinas sosial daerah provinsi, dan atau dinas sosial daerah kabupaten untuk membantu penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai lingkup wilayah penugasan di kecamatan.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas menunjukkan bahwa kesempatan awal dalam upaya mencapai koordinasi dalam proses perencanaan dan pembentukan kebijakan menangani gelandangan di daerah Sidoarjo melibatkan Satpol PP dan Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) sebagai pihak yang diberikan wewenang ataupun kuasa dalam menangani hal ini.

Ketiga, Kontinuitas merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan patut dilakukan kapan saja yang diawali dari proses pembuatan suatu rencana. Dalam menangani gelandangan, setelah perencanaan dibuat dan terlaksana, maka diperlukan kontinuitas yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat agar rencana tersebut dapat berjalan dengan lancar dan terus menerus. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Setelah perencanaan selesai, dan kebijakan telah dijalankan pihak Dinas Sosial tidak begitu saja melepas tanggung jawab. Kami melakukan pengecekan berkala di lokasi-lokasi di mana menjadi tempat berkumpulnya para gelandangan. Pada kunjungan pertama kami hanya memantau lokasi, kemudian menegur gelandangan untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu kami masih melakukan pengawasan, dan akan melalukan pengecekan ulang pada bulan berikutnya. Apabila masih ditemukan gelandangan yang berkeliaran di sekitar lokasi maka terpaksa harus kami bawa ke Dinas Sosial untuk dilakukan pembinaan.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“Setelah kebijakan terealisasikan, kami juga tetap melakukan pengawasan dan pengamatan untuk meminimalkan kemungkinan para gelandangan balik ke lokasi mereka.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas maka dapat diketahui bahwa kebijakan yang telah direncanakan dan berjalan tetap berkesinambungan dan dicek berkala oleh pihak-pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya sekitar alun-alun Sidoarjo.

Keempat, dinamisme dalam koordinasi harus dapat berubah dan diubah dengan mempertimbangkan perubahan lingkungan baik secara internal ataupun eksternal. Banyak aturan yang membahas mengenai penanganan gembel khususnya di Sidoarjo, salah satunya ialah pasal 34 UUD 1945 yang mengatur pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh negara, sebelum amandemen kebijakannya belum terlalu jelas. Dengan isinya yang hanya ada satu, penjelasan mengenai tata cara negara atau prosedurnya masih terlalu umum. Maka, pada 2002 atau dalam Amandemen UUD 1945 keempat, Pasal 34 mengalami perubahan dan penambahan terkait tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009, selain tanggung jawab pemerintah, diperlukan pula peran masyarakat, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kesejahteraan sosial, badan usaha, dan lainnya, demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa aturan mengenai penanganan gembel bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan kondisi dilapangan dengan mempertimbangkan banyak hal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Tentu bersifat dinamis dan fleksibel, kami hanya mengikuti aturan dari pusat dan daerah, apabila ada perubahan kami pasti mengikuti.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kabupaten Sidoarjo, Ibu Endang Tri Ratnawati yang menjelaskan bahwa:

“Koordinasi dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo bersifat Dinamis sesuai dengan mempertimbangakn banyak hal, mengikuti kebutuhan dan kondisi di lapangan. Contohnya adalah dulu jika Dinas Sosial bersama SATPOL PP mengadakan razia atau sidak (sidang mendadak) untuk menangani gelandangan, gelandangan yang tertangkap razia dan di bawa ke Dinas Sosial dapat langsung bebas jika ada yang menjamin atau membayar sejumlah uang jaminan, namun sekarang pihak Dinas Sosial mengarahkan para gelandangan tersebut untuk mengikuti pembinaan dan bimbingan terlebih dahulu.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa aturan dalam menangani gelendangan bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada dilapangan.

Kelima, tujuan yang jelas harus diketahui secara detail oleh semua pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya sekitar alun-alun Sidoarjo. Hal ini bertujuan agar terciptanya koordinasi yang efektif antara pihak yang terlibat sehingga tujuan dari penangan gelandangan di Sidoarjo dapat tercapai. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Saat berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam menangani gelandangan di daerah Sidoarjo, kami menjelaskan maksud dan tujuan dengan adanya operasi penanganan gelandangan ini. Sebenarnya tujuan dari hal ini telah tertulis dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 tahun 2016 Tentang Penanggulangan Kemiskinan, sehingga dapat dikatakan tujuan dari penanganan gelandangan ini sudah cukup jelas dan diketahui oleh pihak yang terlibat.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“Tujuannya sudah jelas karena ada di Perda (peraturan daerah) Sidoarjo, dan juga sudah menjadi tugas kami sebagai SATPOL PP untuk mengawasi, menegakkan Perda dan menyelenggarakan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas maka dapat diketahui bahwa semua pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo telah mengetahui dengan jelas tujuan dan maksud dari pelaksanaan tersebut karena telah tertulis dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 tahun 2016 Tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Keenam, organisasi yang sederhana dapat memberikan kemudahan dalam mencapai suatu koordinasi yang lebih efektif. Dalam menangani gelandangan di Sidoarjo, dengan menerapkan pengorganisasian yang sederhana dapat mempercepat proses penanganan gelandangan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Dalam menerapkan aturan Perda kita sebagai pelaksana harus bergerak dan bekerja cepat sehingga diperlukan pengorganisasian yang sederhana. Sama halnya dengan pihak ketiga, kami berhubungan secara langsung tanpa pihak ketiga juga merupakan sebagai bentuk dari pengorganisasian yang sederhana. Sikap dan sistem yang rumit dan bertele-tele akan menjadi masalah yang menghambat penanganan gelandangan di Sidoarjo.” (Wawancara Rabu, 12 Desember 2019)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kabupaten Sidoarjo, Ibu Endang Tri Ratnawati yang mengatakan bahwa:

“Kami melakukan pengorganisasian sendiri, tidak ada bantuan dari pihak luar. Hal ini agar pengorganisasian tidak ribet dan lama. Sehingga tiap aturan dan rencana yang akan kami lakukan dapat terealisasikan dengan cepat.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat diketahui bawah pengorganisasian dalam koordinasi antara pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo, pengorganisasian dilakukan secara sederhana sehigga memberikan kemudahan dalam mencapai suatu koordinasi yang lebih efektif.

Ketujuh, Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Otoritas yang jelas dapat memperbaiki hubungan serta memberikan bantuan kepada para pekerja dalam bekerja. Dalam menangani gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo, pihak yang terlibat yakni Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) masing-masing mengetahui dengan jelas tugas dan wewenang mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Masing-masing pihak mengetahui wewenang dan tugasnya, juga mengetahui dengan jelas apa saja yang menjadi tanggung jawa mereka. Hal ini dikarenakan tugas dan wewenang kami sudah kami ketahui dengan jelas dan tertulis dalam aturan-aturan seperti Perda.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“Iya, tentu kami tau apa saja yang menjadi tanggung jawab serta wewenang kami. Bahkan hal ini tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2018. Dengan jelasnya tanggung jawab dan otoritas antar pihak sehingga memudahkan kami dalam berkoordinasi karena tiap pihak sudah memiliki dan mengetahui porsinya masing-masing.” (Wawancara Rabu, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas maka dapat diketahui bahwa dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya sekitar alun-alun Sidoarjo tiap pihak yang terlibat bekerja dan bertanggung jawab berdasarkan wewenang dan otoritasnya masing-masing, sehingga hal ini memudahkan tiap pihak dalam berkoordinasi menangani permasalahan gelandangan di Sidoarjo.

Kedelapan, komunkasi yang efektif menjadi salah satu syarat penting dalam terciptanya koordinasi yang baik. Dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya di sekitar alun-alun Sidoarjo, Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) menjalin komunikasi yang baik sehingga terciptanya koordinasi yang efektif dalam menangani permasalahan gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo. Komunikasi yang baik juga dapat meminimalkan ridsiko perbedaan persepsi anatara apa yang disampaikan oleh pihak pertama dan apa yang diterima oleh pihak kedua. Sebagimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Kami saling berkomunikasi dengan baik mengenai banyak hal termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penanganan gelandangan di daerah Sidoarjo. Komunikasi yang baik sangat berpengaruh dalam koordinasi mengenai rencana, kebijakan, ataupun aturan yang akan kami terapkan yang melibatkan pihak lain.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Senada dengan hal itu, Kepala Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kabupaten Sidoarjo, Ibu Endang Tri Ratnawati juga mengatakan bahwa:

“Dengan adanya komunikasi yang baik antara Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) sehingga informasi yang disampaikan dapat lebih akurat dan diterima denggan baik tanpa adanya perbedaan persepsi.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas maka dapat diketahui bahwa komunikasi merupakan salah satu hal penting dalam terciptanya koordinasi yang baik dan efektif. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik, maka proses koordinasi dapat lebih mudah dimengerti, akurat dan tidak ada perbedaan persepsi antara pihak yang terlibat dalam penangan gelandangan di sekitar alun-alun Sidoarjo.

Kesembilan, kepemimpinan supervisi yang efektif menjamin koordinasi kegiatan orang-orang. Di sinilah peran ketua sebagai pemimpin sangat mempengaruhi terciptanya koordinasi yang efektif, karena hendaknya seorang pemimpin dapat mengkordinir dan bertanggung jawab atas pekerjaan anak buahnya dilapangan. Sebagimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Bapak Nur Chasan yang menjelaskan bahwa:

“Sebagai pimpinan, saya harus mengkordinir kegiatan anak buah, karena kemepimpinan yang supervisi sangat mempengaruhi hasil dari kinerja anak buah di lapangan.” (Wawancara Rabu, 11 Desember 2019)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Sidoarjo, Bapak Widiyantoro Basuki yang mengatakan bahwa:

“Apabila pimpinan dapat memimpin dan mengkoordinasi kegiatan anak buahnya maka akan terciptanya koordinasi yang efektif. Saya secara langsung memantau kegiatan anak buah di lapangan, saya juga meminta laporan pekerjaan mereka sehingga saya dapat mengetahui kegiatan anak buah saya.” (Wawancara Kamis, 12 Desember 2019)

Dari hasil wawancara dengan narasumber menunjukkan bahwa, kedua narasumber yang menjabat sebagai kepala bidang telah menerapkan kepemimpinan yang baik dengan mengetahui kegiatan anak buahnya dan berkoordinasi dengan anak buahnya mengenai kondisi yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan hasil analis dari aspek koordinasi yang terdiri dari hubungan langsung, kesempatan awal, kontinuitas, dinamisme, tujuan yang jelas, organisasi yang sederhana, perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang efektif, kepemimpinan supervisi yang efektif telah berjalan dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan secara langsung antara pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo tanpa melibatkan pihak ketiga, terlealisasikannya kesempatan awal dengan melakukan perencanaan dan pembentuka kebijakan yang melibatkan pihak-pihak, adanya kontinuitas atas kebijakan yang diterapkan, aturan yang bersifat dinamis yang mengikuti perubahan sesuai dengan kondisi di lapangan, semua pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo mengetahui dengan jelas tujuan dari hal tersebut, diterapkannya pengorganisasian yang sederhana sehingga penanganan dapat dilakukan dengan cepat tanpa bertele-tele, semua pihak yang terlibat mengetahui dengan jelas apa saja wewenang dan otoritas yang mereka miliki, terjalinnya komunikasi yang baik antara pihak yang terlibat sehingga penymapaian informasi lebih akurat, terealisasikannya kepemimpinan supervisi yang diterapkan oleh ketua bidang yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya di sekitar alun-alun Sidoarjo.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian koordinasi antar aktor dalam menangani gelandangan di alun-alun Sidoarjo yang terdiri dari hubungan langsung, kesempatan awal, kontinuitas, dinamisme, tujuan yang jelas, organisasi yang sederhana, perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang efektif, kepemimpinan supervisi yang efektif telah berjalan dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan secara langsung antara pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo tanpa melibatkan pihak ketiga, terealisasikannya kesempatan awal dengan melakukan perencanaan dan pembentuka kebijakan yang melibatkan pihak-pihak, adanya kontinuitas atas kebijakan yang diterapkan, aturan yang bersifat dinamis yang mengikuti perubahan sesuai dengan kondisi di lapangan, semua pihak yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo mengetahui dengan jelas tujuan dari hal tersebut, diterapkannya pengorganisasian yang sederhana sehingga penanganan dapat dilakukan dengan cepat tanpa bertele-tele, semua pihak yang terlibat mengetahui dengan jelas apa saja wewenang dan otoritas yang mereka miliki, terjalinnya komunikasi yang baik antara pihak yang terlibat sehingga penymapaian informasi lebih akurat, terealisasikannya kepemimpinan supervisi yang diterapkan oleh ketua bidang yang terlibat dalam menangani gelandangan di Sidoarjo khususnya di alun-alun Sidoarjo. Sehingga dapat disimpulkan bahwa koordinasi antar aktor dalam menangani gelandangan di Sidoarjo telah terlaksana dengan baik, para aktor yang terlibat dalam hal ini yakni Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Peraja (SATPOL PP), dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) menjalankan perannya masing-masing dan saling berkoordinasi.

References

  1. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur , 2017.
  2. Khofifah, “Angka Kemiskinan Pedesaan di Jawa Timur Paling Tinggi,” Tempo.co. (2017, Agustus 16). Khofifah : Angka kemiskinan pedesaan di Jawa Timur Paling Tinggi. Retrieved Oktober 23, 2018, from nasional., 16 Agustus 2017. [Online]. Available: tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/900280/khofifah-angka-kemiskinan-pedesaan-di-jawa-timur-paling-tinggi/full&v. [Diakses 20 July 2021].
  3. A. &. J. D. Black, Metode dan masalah, penelitian sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
  4. Kamaludin, 21 Desember 2017. [Online]. Available: Tribunnews: http://jabar.tribunnews.com/2017/12/21/gelandangan-pengemis-dan-anak-jalanan-jadi-masalah-kota-cimahi-yang-tak-kunjung-selesai. [Diakses 20 July 2021].
  5. Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo , 2018.
  6. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2007.
  7. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2011.
  8. Alfabeta, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2012.