Environmental Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v23i0.1322

The Government's Accountability in Granting Permits for Keeping Protected Wildlife as Pets


Pertanggungjawaban Pemerintah dalam Memberikan Izin Kepada Pemelihara Satwa Liar yang Dilindungi Menjadi Binatang Peliharaan

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Wildlife ownership Legal accountability Conservation law Permit compliance Endangered species

Abstract

This study investigates governmental accountability regarding permits granted for the domestication of protected wildlife. Employing a juridical-normative method with a conceptual approach, it scrutinizes scenarios where wild animals, under domestic care, cause harm. Findings indicate that accountability remains with the owner in the event of wildlife attacks. However, negligence in adhering to granted permits resulting in animal death invokes penalties per Conservation Law No. 5/1990: imprisonment up to 5 years and fines up to Rp. 100,000,000. Notably, dispensations granted due to permit discrepancies underscore the complexity of the issue. This research underscores the legal intricacies and implications of wildlife ownership, stressing the imperative of stringent compliance with conservation laws to preserve endangered species.

Highlights: 

  • Wildlife Ownership Responsibility: Owners bear accountability for wild animal actions under domestic care.
  • Permit Compliance and Implications: Negligence in permit adherence may lead to legal penalties and wildlife protection law violations.
  • Conservation Law Enforcement: Strict compliance is crucial to safeguard endangered species and maintain biodiversity.

Keywords: Wildlife ownership, Legal accountability, Conservation law, Permit compliance, Endangered species

PENDAHULUAN

Kekayaan alam di Indonesia sangat lah beraneka ragam terutama keanekaragaman hayati nya. Di dalam keanekaragaman hayati terdapat keadaan iklim dan letak geografis yang menjadikan rumah bagi para satwa liar. berdasarkan Peraturan Menteri LHK NO. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan Satwa yang Dilindungi terdapat 37 Jenis Reptil, 137 Jenis Mamalia, 20 Jenis Ikan, 26 Jenis Insekta, 127 Jenis Tumbuhan, 1 jenis Amphibi, 9 jenis Krustasea, Muluska dan Xiphosura. Sebagai contoh keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi yakni jenis satwa dimana populasi maupun kelompok satwa tersebut semakin berkurang dan tergerus jumlahnya di dalam habitat aslinya. Di dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan Satwa liar adalah berbagai jenis hewan yang hidup dan berkembang biak tanpa campur tangan manusia dalam penangkapan, pemeliharaan, atau perawatan mereka.

Namun saat ini terjadi banyak kemerosotan terhadap populasi satwa liar yang dilindungi dikarenakan banyak terjadinya perdangangan dan perburuan ilegal terhadap satwa liar tersebut, salah satunya ada Harimau yang di alam liar diperkirakan berjumlah sekitar 600 Individu. Harimau banyak dilakukan perburuan dikarenakan memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama bagian tubuhnya. Kategori Satwa liar dibedakan menjadi 2 (dua) macam, satwa liar yang dilindungi hukum dan Satwa liar yang tidak dilindungi hukum. Satwa liar yang dilindungi oleh hukum dilakukan pengawasan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) sedangkan satwa liar yang tidak dilindungi hukum dibiarkan hidup bebas di alam liar atau habitat aslinya.

Seseorang yang memiliki kecintaan terhadap satwa memilih untuk memelihara satwa liar yang dilindungi salah satunya adalah Harimau Benggala Oranye dan Harima Benggala Warna Putih yang mana satwa liar tersebut dipilih oleh si A untuk dipelihara agar tidak punah populasinya dan terhindar dari perburuan dan perdagangan ilegal. Harimau Benggala tersebut dilindungi oleh hukum. Namun dalam melakukan pemeliharaan terhadap satwa liar menjadi hewan peliharaan tersebut harus melalui persyaratan yang diberikan oleh pemerintah melalui BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) diantaranya :

1. Proposal izin menangkaran atau memelihara hewan yang diajukan ke BKSDA.

2. Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk individu atau perseorangan serta akta notaris untuk badan usaha.

3. Surat Bebas Gangguan Usaha dari kecamatan setempat. Surat ini berisi keterangan bahwa aktifitas penangkaran dan pemeliharaan hewan tidak mengganggu lingkungan sekitar.

4. Bukti tertulis asal usul indukan [1].

Setelah persyaratan tersebut diajukan ke BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan mendapatkan persetujuan, pemelihara satwa liar menjadi hewan peliharaan tersebut harus mempersiapkan kehidupan yang layak untuk satwa liar tersebut seperti di habitat aslinya, mencakup kesiapan kendang atau penangkaran, makanan serta hal – hal lain yang membantu satwa liar tersebut agar tetap merasa seperti di alam liar tempat hidupnya.

Namun dalam memelihara satwa liar yang dilindungi menjadi hewan peliharaan menuai banyak pro dan kontra. Diantaranya apabila memelihara satwa liar yang dilindungi akan menghilangkan perilaku alami satwa liar tersebut karena satwa liar terlahir untuk menjadi liar serta menghilangkan fungsi ekologi sebagai predator utama yang mengontrol rantai makanan dalam ekosistemnya. Meskipun satwa liar tersebut sebelumnya di dapatkan dari penangkaran dan sifat alamiah nya mulai berkurang karena dipelihara secara individu oleh manusia, tidak memungkinkan sifat alamiah nya akan muncul Kembali dan menyerang pemiliknya dikarenakan terjadi ketidaknyamanan terhadap lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Untuk itu bagaimanakah pemerintah dalam menyikapi hal tersebut terkait dengan hewan liar yang dilindungi menyerang pemiliknya. Apakah pemerintah dapat bertanggung jawab atas perizinan yang telah diberikan [2].

Kontribusi dari penelitian sebelumnya memegang peranan yang sangat penting dalam penyusunan karya ini. Penulis menggunakan penelitian sebelumnya untuk refrensi dan perbandingan. Salah satu kajian terdahulu yang menjadi refrensi adalah jurnal ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Arvin Wicaksono, Andre Febrian Dwiyudanta, Nasyrah Ramdhani Na Mora, Sayidha Nafisa, Nur Aini Putri, Permata Cinta, Silvya Febiana, Muhammad Soleh Bagja, Deva Syafiyo Analin, Pradya Muharam Andika, Syarah Alifah, Muhammad Abbiyyu Kahfi yang berjudul “Analisis Kasus Selebriti A Terhadap Konservasi Satwa Liar”. Kajian ini membahas tentang seseorang yang memelihara satwa buas yang dilindungi. Studi ini menekankan tentang seseorang yang membuat tempat konservasi di dalam lingkungan rumah pribadi nya, selain ditakutkan membahayakan lingkungan sekitar juga membahayakan dirinya sendiri, tidak hanya itu limbah kotoran yang dihasilkan oleh satwa buas tersebut ditakutkan juga dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Salah satu kajian lain yang dijadikan referensi dalam penyusunan karya ini adalah jurnal ilmiah Yosua Aristides, Agus Purnomo, Fx. Adji Sameko yang berjudul “perlindungan satwa langka di Indonesia dari perspektif convention on international trade in endangered species of flora and fauna (cites)”. Studi ini membahas tentang kerja sama internasional antara berbagai negara untuk saling melindungi satwa langka agar tetap terjaga di dalam habitat alaminya [3]. salah satu kajian lain yang menjadi acuan penyusunan karya ini adalah buku yang ditulis oleh Muhammad Ali Imron, Satyawan Pudyatmoko, Sena Adi Subrata, Sandy Nurvianto yang berjudul “asas – asas pengeloaan satwa liar di Indonesia: buah pemikiran Prof Djuwantoko”. Membahas tentang konservasi satwa liar harus mementingkan asas – asas yang tercantum di dalamnya sehingga dapat menjaga keseimbangan dan keselarasan kehidupan satwa tersebut [4].

Penelitian ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini berfokus pada pertanggungjawaban perseorangan apakah bisa dituntut apabila satwa liar yang dilindungi tersebut secara tiba-tiba menerkam orang lain ataupun mati karena keteledoran si pemilik (si pemilik/perseorangan mengesampingkan izin yang diberikan). penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang pertanggungjawaban perseorangan apakah bisa dituntut apabila satwa liar yang dilindungi tersebut secara tiba-tiba menerkam orang lain ataupun mati karena keteledoran si pemilik (si pemilik/perseorangan mengesampingkan izin yang diberikan. Penelitian ini penting dilakukan dikarenakan memberikan informasi terkait bagaimana pertanggungajawaban perseorangan apakah bisa dituntut apabila satwa liar yang dilindungi tersebut secara tiba-tiba menerkam orang lain ataupun mati karena keteledoran si pemilik (si pemilik/perseorangan mengesampingkan izin yang diberikan.

METODE

Penggunaan metode pada penelitian ini dengan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach). Penggunaan dalam penelitian ini dengan mempergunakan sumber data primer berupa UU tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya No. 5/1990, serta sumber data sekunder berupa karya tulis ilmiah, jurnal, artikel, dan buku hukum yang relevan dengan topik penelitian. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik penalaran deduktif, di mana kesimpulan yang umum ditarik untuk kemudian diaplikasikan pada kasus-kasus yang lebih khusus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perseorangan dalam memelihara satwa liar menjadi binatang peliharaan

Lutfi Efendi berpendapat, izin yakni persetujuan yang diberikan oleh penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang memungkinkan seseorang atau pihak untuk melanggar larangan-larangan perundangan dalam situasi tertentu. Sehingga pertanggungjawaban pemerintah terkait pemberian izin pemeliharaan satwa liar yang dilindungi menjadi binatang peliharaan mengacu pada tanggung jawab pemerintah dalam mengatur, mengawasi, dan memberikan izin atas pemeliharaan satwa liar yang dilindungi oleh hukum dan peraturan. Satwa liar yang dilindungi yakni satwa yang diatur oleh undang-undang dan memiliki status khusus dalam upaya pelestarian biodiversitas dan lingkungan [5]. Ketika pemerintah memberikan izin untuk memelihara satwa liar tersebut menjadi binatang peliharaan, maka pemerintah juga harus bertanggung jawab dalam memastikan pemeliharaan tersebut dilakukan dengan benar dan tidak merugikan satwa itu sendiri serta lingkungan sekitarnya.

Namun, pemeliharaan satwa liar yang dilindungi bisa menjadi bumerang jika tidak diatur dan diawasi dengan baik. Di satu sisi, pemeliharaan dapat berperan dalam menyumbang positif terhadap konservasi satwa liar, seperti mendukung upaya pembiakan dan penangkaran untuk meningkatkan populasi satwa yang terancam punah. Namun, di sisi lain, kesalahan dalam memberikan izin dan kurangnya pengawasan dapat menyebabkan masalah serius seperti perdagangan ilegal, perdagangan satwa liar, atau penyebaran penyakit [6].

Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki mekanisme yang kuat dalam memberikan izin pemeliharaan satwa liar yang dilindungi sebagai binatang peliharaan. Pertama, perlu adanya kebijakan yang jelas dan tegas mengenai jenis satwa liar yang boleh dipelihara dan jenis pemeliharaan yang diperbolehkan. Pengaturan ini harus didasarkan pada pertimbangan ilmiah mengenai kelestarian dan kesejahteraan satwa tersebut.

Pertanggungjawaban pemerintah terkait pemberian izin pemeliharaan satwa liar yang dilindungi menjadi binatang peliharaan adalah tanggung jawab yang kompleks dan memerlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait. Dengan kebijakan yang tepat, pengawasan yang ketat, dan partisipasi masyarakat yang aktif, diharapkan pemeliharaan satwa liar ini dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak positif bagi konservasi dan pelestarian alam serta keanekaragaman hayati.

2. Persyaratan, prosedur dan Upaya hukum untuk memelihara satwa liar menjadi Binatang peliharaan

Memelihara satwa liar adalah suatu kegiatan yang memiliki implikasi hukum dan konservasi yang penting. Untuk melindungi biodiversitas dan satwa liar yang terancam punah, pemerintah biasanya menetapkan persyaratan dan prosedur khusus bagi individu atau lembaga yang ingin memelihara satwa liar yang dilindungi. Selain itu, upaya hukum juga dapat dilakukan jika ada pelanggaran terhadap peraturan dan persyaratan yang telah ditetapkan. Berikut adalah pembahasan mengenai persyaratan, prosedur, dan upaya hukum untuk memelihara satwa liar yang dilindungi:

1. Persyaratan Memelihara Satwa Liar yang Dilindungi:

Setiap negara memiliki peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang konservasi satwa liar yang dilindungi. Sebelum seseorang atau lembaga dapat memelihara satwa liar yang dilindungi, biasanya harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti:

a. Izin dan Lisensi: Individu atau lembaga yang ingin memelihara satwa liar harus mengajukan permohonan izin dan lisensi ke otoritas terkait. Izin ini mencakup izin memelihara, mengangkut, dan memperdagangkan satwa liar yang dilindungi.

b. Keahlian dan Pengalaman: Pemohon biasanya harus membuktikan keahlian dan pengalaman dalam merawat satwa liar yang dilindungi. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa satwa liar tersebut akan diperlakukan dengan baik dan sesuai standar konservasi.

c. Fasilitas dan Perawatan: Pemohon juga harus menunjukkan bahwa mereka memiliki fasilitas yang memadai dan mampu memberikan perawatan yang baik untuk satwa liar yang dilindungi.

e. Kepatuhan terhadap Peraturan: Pemohon harus menyatakan komitmen untuk mematuhi semua peraturan dan ketentuan yang berlaku terkait pemeliharaan satwa liar dilindungi [7].

Untuk memelihara satwa liar saat ini perlu dipenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut [8].

1. Satwa liar yang boleh dipelihara merupakan hewan yang didapatkan secara langsung didalam penangkaran bukan hasil buruan di alam terbuka.

2. Satwa liar yang diperbolehkan dipelihara yang didapatkan dari penakaran merupakan kategori F2. Hewan yang termasuk kedalam kategori F2 merupakan hewan generasi ke 3, yang mana merupakan cucu dari generasi pertama yang di pelihara dipenangkaran.

3. Satwa liar yang legal untuk dipelihara juga harus memenuhi kategori Appendix 2. Untuk hewan dengan kategori Appendix 1 belum dapat dipelihara meskipun sudah melalui proses penangkaran karena hewan tersebut hawus dikonservasi.

4. Kategori Hewan Appendix 2 yakni hewan yang dilindung dari alam dan boleh dipelihara maupun dijual belikan Ketika memeliki keturunan dan termasuk kegalam kategori F2. Contoh dari kategori ini yakni burung elang, burung jalak bali, dan bauta muara.

5. Kategori Hewan Appendix 1 yakni hewan yang sudah ditangkaran tetepai jumlahnya kurang dari 800 ekor sehingga harus tetap berada di kawasan konservasi. Contohnya Harimau Sumatera, Macan Dahlan dan anoa.

Perlu diketahui, untuk memelihara satwa liar selain harus mengajukan beberapa permohonan dan memenuhi persyaratan terdapat pengecualian dalam pemeliharaan satwa liar tersebut berdasarkan pasal 22 ayat 1 UU 5/1990 yang hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan.

3. Upaya Hukum dan Sanksi

Jika ada pelanggaran terhadap peraturan dan izin pemeliharaan satwa liar, ada beberapa upaya hukum dan sanksi yang dapat diterapkan:

a. Pembatalan Izin: Jika pemelihara satwa liar tidak mematuhi peraturan atau terbukti melakukan pelanggaran lainnya, otoritas dapat membatalkan izin pemeliharaan yang telah diberikan.

b. Denda dan Sanksi Pidana: Pelanggaran terhadap peraturan pemeliharaan satwa liar bisa dikenai denda atau sanksi pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

c. Konfiskasi Satwa Liar: Jika satwa liar yang dilindungi dipelihara secara ilegal atau tidak sesuai peraturan, satwa tersebut bisa disita atau dikonfiskasi oleh otoritas.

d. Gugatan Hukum: Masyarakat atau lembaga lingkungan juga bisa mengajukan gugatan hukum terhadap pemilik satwa liar atau pemerintah jika terjadi pelanggaran serius terhadap konservasi satwa liar yang dilindungi [9].

Penting untuk diingat bahwa memelihara satwa liar yang dilindungi adalah tanggung jawab yang besar. Semua pemilik atau pengelola satwa liar harus secara aktif mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku untuk menjaga keberlanjutan dan konservasi satwa liar yang dilindungi. Dalam kesimpulannya, memelihara satwa liar yang dilindungi melibatkan proses permohonan izin, memenuhi persyaratan, dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya hukum dan sanksi dapat diterapkan jika ada pelanggaran terhadap peraturan dan izin yang telah diberikan. Memelihara satwa liar yang dilindungi adalah upaya bersama untuk menjaga keberagaman hayati dan melestarikan satwa liar yang terancam punah demi keberlanjutan ekosistem dan lingkungan hidup.

Peraturan pemeliharaan satwa liar tertuang jelas pada Pasal UU No. 5 Tahun 1990 dan 21 ayat (2) UU5/1990. Apabila seseorang warga negara Indonesia tanpa kecuali memelihara satwa liar dan mengalami kematian maka akan mendapatkan sanksi setelah dilakukan observasi kepada satwa liar yang mati tersebut. Apabila terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan pasal 21 ayat (2) UU5/1990 maka akan mendaptkan sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak 100 juta sebagaimana dijelaskan dalam pasal 40 ayat (2) UU5/1990 [10].

4. Analisis perseorangan dalam memelihara satwa liar menjadi Binatang peliharaan

Berdasarkan UU tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya No. 5/1990. Namun, keberadaan undang-undang tersebut belum secara eksplisit menyebutkan pertanggungjawaban pemerintah atas kasus penyerangan satwa liar kepada pemiliknya [11]. Apabila terjadi penyerangan satwa liar kepada pemiliknya, maka tanggung jawab pertama tetap berada pada pemilik satwa tersebut. Pemilik satwa liar harus memastikan bahwa mereka memenuhi semua persyaratan dan ketentuan yang ditetapkan dalam izin pemeliharaan. Jika pemilik satwa liar melanggar peraturan atau tidak melakukan tindakan pencegahan yang memadai, maka pertanggungjawaban atas kejadian tersebut berada pada pemilik tersebut [12] .

Apabila dikaitkan dengan seseorang yang memiliki kecintaan terhadap satwa liar. Maka dapat dianalisis berdasar pasal 21 ayat 2 UU 5/1990, setiap orang dilarang memelihara satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup. Namun, ada pengecualian untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan penyelamatan. Dapat diketahui bahwa Tindakan seseorang menjadikan satwa liar yang dilindungi menjadi hewan peliharaan telah memiliki izin yang sah dan telah memiliki kebun Binatang hal tersebut dengan bertujuan untuk penyelamatan dan pelestarian satwa liar yang dilindungi. Bahwa seseorang yang memiliki kecintaan terhadap satwa liar makai ia mendirikan kebun binatang di Bandung yang diberi nama Wildlife Park yang memiliki izin sah dari pemerintah untuk menyelamatkan dan memelihara satwa liar yang dilindungi [13].

Mekanisme perizinan untuk mendirikan Kawasan yang dilindungi bagi satwa liar mengikuti tahapan yang diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berikut adalah parafase yang lebih jelas mengenai tahapan-tahapan tersebut:

1. Pemohon mengajukan surat permohonan ke Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) atau Balai Besar KSDA provinsi dengan tembusan kepada kepala bidang dan kepala seksi konservasi wilayah setempat. Selanjutnya, surat permohonan diterima dan diperiksa oleh petugas pelayanan di Balai KSDA atau Balai Besar KSDA.

2. Petugas memeriksa kelengkapan permohonan dengan menggunakan daftar periksa (checklist) yang mencakup berbagai aspek seperti akte pendirian perusahaan, izin usaha perdagangan, izin tempat usaha, dan lainnya.

3. Permohonan yang lengkap diajukan untuk diagendakan dan didisposisikan oleh kepala bidang yang menangani perizinan Permohonan ditelaah oleh kepala seksi pemanfaatan dan pelayanan melalui staf pengelola. Setelah permohonan lengkap, petugas pengelola membuat konsep atau draf izin penangkaran.

4. Setelah izin disetujui, kepala balai menandatangani izin tersebut. Pemohon diminta untuk membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai dengan izin yang diberikan. Bukti PNBP dan izin disampaikan kepada pemohon sebagai bukti penerimaan [14].

Maka pemberian izin itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, jika satwa liar tersebut menyerang/melukai pemiliknya, tanggung jawab tetap pada pemilik dan mungkin juga perlu dievaluasi untuk melihat kepatuhan pada persyaratan dan tindakan pencegahan. Namun, jika terbukti bahwa pemerintah lalai dalam memberikan izin, tidak melakukan pengawasan, atau tidak menegakkan hukum terhadap pelanggaran pemeliharaan satwa liar, maka pemerintah dapat dipertanyakan mengenai pertanggungjawabannya atas kejadian tersebut. Dalam beberapa kasus, individu yang menjadi korban penyerangan satwa liar dapat mengajukan gugatan atau tuntutan hukum terhadap pemerintah, dengan dalil bahwa pemerintah tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan izin pemeliharaan yang aman dan terlindungi [15].

Pemerintah sebagai badan regulasi harus senantiasa berusaha untuk meminimalisir risiko penyerangan oleh satwa liar terhadap pemiliknya. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah adalah:

1. Evaluasi dan Perbaikan Kebijakan: Pemerintah harus secara rutin mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan terkait pemeliharaan satwa liar. Hal ini meliputi peningkatan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemilik satwa liar, serta peningkatan mekanisme pengawasan dan pemantauan.

2. Peningkatan Pengawasan: Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap individu yang telah diberikan izin pemeliharaan satwa liar. Pengawasan harus dilakukan secara rutin dan terprogram untuk memastikan bahwa pemeliharaan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Edukasi dan Sosialisasi: Pemerintah harus gencar melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya memahami dan mematuhi peraturan terkait pemeliharaan satwa liar. Masyarakat harus diinformasikan mengenai potensi risiko dan tindakan pencegahan yang harus diambil untuk mengurangi kemungkinan penyerangan satwa liar.

4. Penegakan Hukum yang Tegas: Pemerintah harus menegakkan hukum secara tegas terhadap pelanggaran pemeliharaan satwa liar yang dilindungi. Tindakan tegas ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah terjadinya pelanggaran di masa depan [16].

Maka pertanggungjawaban pemerintah dari izin yang diberikan kepada individu untuk memelihara satwa liar yang dilindungi terkait dengan adanya kebijakan yang jelas, pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Jika terjadi penyerangan satwa liar kepada pemiliknya, pertanggungjawaban tetap pada pemilik satwa, tetapi pemerintah juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator dan pengawas aktivitas pemeliharaan satwa liar [17]. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk terus memperbaiki kebijakan dan tindakan pengawasan guna meminimalisir risiko penyerangan satwa liar dan menjaga keseimbangan antara konservasi satwa liar dan keamanan masyarakat. Dispensasi yang diberikan apabila seseorang tersebut dalam mengajukan izin terdapat masalah/ kekurangan dalam izinnya tetapi masih diterima dengan alasan tertentu. Kualifikasi pemerintah dalam memberikan izin kepada perseorangan tersebut dalam memelihara satwa liar yang dilindungi menjadi hewan peliharaan dapat mempertimbangkan seseorang itu mampu/tidak, tempat yang memadai.

SIMPULAN

Apabila terjadi penyerangan oleh satwa liar kepada pemilik satwa pertanggungjawaban tetap pada pemilik satwa. Apabila pemilik satwa mengesampingkan/lalai dengan izin yang diberikan terhadap satwa yang dipelihara hingga menyebabkan kematian ataupun satwa mati sesuai UU konservasi dan hayati No.5/19990 bahwa dihukum penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,-. Dispensasi yang diberikan apabila seseorang tersebut dalam mengajukan izin terdapat masalah/ kekurangan dalam izinnya tetapi masih diterima dengan alasan tertentu. Kualifikasi pemerintah dalam memberikan izin kepada perseorangan tersebut dalam memelihara satwa liar yang dilindungi menjadi hewan peliharaan dapat mempertimbangkan seseorang itu mampu/tidak, tempat yang memadai. Pemerintah perlu terus memperkuat kebijakan dan pengawasan terkait izin pemeliharaan satwa liar. Evaluasi berkala diperlukan untuk memastikan kebijakan tetap relevan dengan keadaan terkini dan pengawasan yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan izin.

References

  1. Here is the revised list of references in IEEE style:
  2. Indonesia.go.id, "Izin Memelihara Hewan Langka," 2019. [Online]. Available: https://www.indonesia.go.id/layanan/kependudukan/sosial/izin-memelihara-hewan-langka. Accessed: Jul. 12, 2023.
  3. M. A. Wicaksono, N. A. Putri, A. F. Dwiyudanta, and P. M. Andika, "Riset: Analisis Kasus Selebriti A Terhadap Konservasi Satwa Liar," 2022. [Online]. Available: doi:10.31219/osf.io/vbkh7.
  4. Y. Aristides, A. Purnomo, and F. A. Samekto, "Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of Flora And Fauna (Cites)," Diponegoro Law Journal, vol. 5, no. 4, 2016. doi: 10.14710/dlj.2016.13741.
  5. M. A. Imron, S. Pudyatmoko, S. A. Subrata, and S. Navianto, "Asas-Asas Pengelolaan Satwa Liar di Indonesia: Buah Pemikiran Prof Djuwantoko," UGM PRESS, 2021.
  6. I. Permatahati, "Pertanggungjawaban Pelanggar Atas Eksploitasi Lumba-Lumba Sebagai Satwa Yang Dilindungi," PhD diss., UAJY, 2019.
  7. M. A. Wicaksono et al., "Analisis Kasus Selebriti A Terhadap Konservasi Satwa Liar: Booklet 'Konservasi Satwa Liar Atau Hewan Peliharaan Eksotik?,'" 2022. doi: 10.31219/osf.io/fu3tm.
  8. Yoga, N. Parama, H. W. A. Santso, and U. Tommy, "Implementasi Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Memperniagakan Bagian-Bagian Tubuh Satwa Yang Dilindungi (Studi Putusan Nomor: 1027/Pid. Sus/LH/2018/PN. Tjk.)," OSF Preprints, 2021.
  9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia, "Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi."
  10. E. B. Prasetyo, "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Tanpa Hak Dengan Sengaja Membeli Dan Memiliki Satwa Yang Dilindungi Dalam Keadaan Hidup Jenis Bayi Owa Siamang (Symphalangus Syndactylus) (Studi Putusan Nomor: 1101/Pid. B/Lh/2021/Pn. Tjk)," Jurnal Hukum Das Sollen, vol. 8, no. 2, pp. 326–346, 2022. doi: https://doi.org/10.32520/das-sollen.v8i2.2137.
  11. "Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya."
  12. Hanim, Lathifah, M. A. Chalim, and J. Hafidz, "Pelaksanaan Perlindungan Satwa Liar Yang Dilindungi Menurut Hukum Indonesia Dan Hukum Internasional," in Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2020, pp. 161-168. [Online]. Available: https://jurnal.saburai.id/index.php/PSN/article/view/819.
  13. Sugiarto and Diana, "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dan Konsumen Dalam Perjanjian Penitipan Hewan Peliharaan (Studi Kasus Di Rumah Sakit Hewan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur)," PhD diss., UPN Veteran Jawa Timur, 2023.
  14. Almanda, B. Fanani, and H. Widodo, "Penegakan Hukum Oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (Bksda) Pada Kepemilikan Burung Cucak Hijau Tanpa Sertifikat Izin Di Kabupaten Gresik," Novum: Jurnal Hukum, vol. 9, no. 2, 2021. [Online]. Available: https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/43221.
  15. Anggur and B. A. Siti, "Implementasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora 1973 terhadap Perlindungan Hewan Tarsius Fuscus di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros," PhD diss., Universitas Bosowa, 2021.
  16. Kurniawati, Ismi, and S. H. Hartanto, "Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Perlindungan Satwadi Kota Surakarta (Studi Kasus di Pengadilan Negeri surakarta)," PhD diss., Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016.
  17. R. R. Simbolon, "Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Yang Mengangkut Dan Mengeluarkan Satwa Yang Dilindungi Di Indonesia Dalam Keadaan Hidup Dari Suatu Tempat Di Indonesia Ke Tempat Lain Di Wilayah Indonesia," Repository Universitas HKBP NOMMENSEN, 2020. [Online]. Available: http://repository.uhn.ac.id/handle/123456789/4967.
  18. Y. Aristides, Yoshua, A. Purnomo, and F. A. Samekto, "Perlindungan satwa langka di Indonesia dari perspektif convention on international trade in endangered species of flora and fauna (cites)," Diponegoro Law Journal, vol. 5