Abstract

This research employs a descriptive qualitative method to analyze the government's role in promoting gender perspective in development within Sidoarjo Regency, Indonesia. Utilizing purposive sampling, the study draws upon role theory by Soerjono Soekanto, focusing on active, participatory, and passive roles. Findings reveal that the Sidoarjo Regency Government effectively advocates and socializes gender mainstreaming, demonstrating an active role. The government engages in education and motivation, encouraging broad societal participation, exemplifying a participatory role. However, a passive role is observed in limited active involvement in socialization activities. This research underscores the importance of government initiatives in fostering gender equality, offering insights applicable to global development discourse

Highlight :

  • Government Advocacy and Socialization: The study reveals the Sidoarjo Regency Government's effective advocacy and socialization efforts in promoting gender mainstreaming, reflecting an active role.

  • Participatory Engagement: Through education and motivation, the government actively involves diverse societal levels, fostering a participatory role in advancing gender equality within development initiatives.

  • Passive Role Observation: The research identifies areas where the government maintains a passive role, primarily limited to socialization activities, shedding light on potential areas for increased active involvement in gender-responsive development efforts

Keywords: Gender-Responsive Development, Government Role, Sidoarjo Regency, Role Theory, Gender Mainstreaming

Pendahuluan

Dewasa ini bangsa Indonesia tengah gencar melakukan pembangunan. Pembangunan ekonomi, sumber daya Isu mengenai kesetaraan gender hingga saat ini masih menjadi bahasan yang menarik untuk diulas, meski bagi sebagian masyarakat kesetaraan gender bukan sesuatu yang penting. Sejatinya, istilah “kesetaraan gender” merujuk pada karakteristik perempuan dan laki-laki yang dibangun atau dikonstruksi secara sosial [1]. Secara sosial telah terbentuk pola piker bahwa menjadi perempuan harus seperti ini, menjadi laki-laki harus seperti itu. Terbentuknya pola pikir ini dipengaruhi oleh norma, budaya, ataupun agama yang membuat adanya peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang dianggap tepat atau merepresentasikan perempuan atau laki-laki.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2000) juga mengeluarkan definisi dari kesetaraan gender, yaitu: “…kesamaaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hakhaknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut”. Di era sebelum tahun 2000an, representasi perempuan di pemerintahan masih sangat minim. Namun seiring berkembangnya waktu, saat ini perempuan sudah banyak berperan sebagai pemimpin atau pengambil keputusan. Hal ini memperlihatkan bahwa pembentukan pola pikir sosial mengenai gender bersifat dinamis.

Komitmen dunia terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pun dinyatakan dalam tujuan kelima dari tujuh belas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Deklarasi SDGs ini telah disepakati dalam pertemuan puncak di PBB pada tanggal 25-27 November 2015. Hal tersebut menjadi bukti keprihatinan negara-negara di dunia terhadap permasalahan ketidakadilan gender yang terutama kerap menimpa perempuan. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender terjadi akibat adanya perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial sehingga timbul perbedaan maupun pembatasan pada salah satu jenis kelamin.

Pembicaraan yang membahas mengenai perempuan serta gender dapat dikatakan sebagai dua hal yang saling berkaitan atau hal yang tidak dapat dengan mudah untuk dipisahkan. Kedua hal tersebut telah menjadi point of center atau sebagai pusat dari perbincangan yang seringkali ditayangkan didalam media dan juga forum diskusi tertentu. Sebenarnya, perempuan memang selalu memiliki kaitan dengan hal-hal atau isu menyangkut gender. Seperti yang terjadi di era modern sekarang ini, telah dikenal sebagai emansipasi Wanita. Perempuan sebagai manusia yang telah ada di lingkungan masyarakat atau sosial, menjadikan perempuan dianggap ideal oleh lingkungan budaya dengan memiliki kategori serta karakteristik. Pada dasarnya, karakter dari perempuan tergantung dari lingkungan dan juga hasil belajar masyarakat yang sudah mereka lihat dari lingkungan tersebut. Bukan hal mudah untuk menjadi perempuan yang hidup ditengah-tengah masa modern ini, karena sudah dari dulu perempuan selalu dikaitkan dengan petuah kodrat, yang seorang perempuan telah memiliki tugas atau sifat maupun sikap yang pantas atau tidaknya mereka lihat sebab dirinya adalah sebagai perempuan. Hal tersebut menjadi pembatasan potensi maupun pengembangan diri dari seorang perempuan secara tidak disadari.

Permasalahan yang membahas mengenai perempuan hingga kini seringkali dijadikan dibincangkan di Indonesia saat ini, yaitu membahas mengenai peran (kodrat) perempuan atau kesetaraan gender. Banyak orang telah mengetahui bahwasanya ada berbagai persepsi ataupun penghakiman yang dilakukan terhadap peran dari seorang perempuan. Hal tersebut seringkali dibahas oleh pihak-pihak tertentu dari berbagai aspek, terutama menyangkut aspek yang jika memiliki keterkaitan perempuan didalam sektor pembangunan. Oleh karena itu presiden mengeluarkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional [2]. Tujuan dari dikeluarkannya INPRES tersebut adalah utnuk menutrunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki Indonesia dalam mengakses dan memperoleh manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dalam dan penguasaan terhadap sebuah proses pembangunan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penjelasan diatas, terdapat beberapa hubungan yang diantaranya masalah gender dan juga pembangunan, Pendidikan dan perempuan, bahkan mengenai lapangan pekerjaan serta peran perempuan. Masalah gender telah kita lihat bahwa di kehidupan nyatanya, peran maupun kesempatan yang dimiliki oleh perempuan untuk memperoleh pendidikan bahkan pekerjaan masih dengan tingkatan yang sangat minim, apabila hal tersebut dibandingkan kaum pria. Berdasarakan penjelasan yang dipaparkan, dapat diketahui partisipasi perempuan didalam pembangunan dinilai masih kurang.

Pancasila maupun UUD 1945 yang menjadi sebuah falsafah maupun dasar dari negara yang telah menjadi sebuah pondasi awal mula yang telah menempatkan perempuan di ranah keluhuran harkat dan juga martabat yang diembannya sebagai Makhluk Tuhan Yang Masa Esa guna memberikan hak serta peluang yang sama maupun adil untuk laki-laki dan juga perempuan dalam memiliki peran bagi pembangunan. Demikian halnya, pembangunan seringkali memiliki pembahasan persamaan gender bahkan lebih memperhatikan atau fokus terhadap bagaimana keterlibatan dari sosok perempuan dalam ranah pembangunan. Hal itu telah menjadi permasalahan sehingga, menurut pandangan dari kaum feminis adalah adanya kerendahan yang ada pada SDM (sumber daya manusia) perempuan itu sendiri. Bukan karena hal lain, hal itu dinilai karena terjadinya kurang keterbukaan akses bagi perempuan mengenai hal perbaikan sumber daya. Oleh sebab itulah, perempuan tidak mudah bahkan tidak bisa menyaingi kaum pria didalam bidang pembangunan.

Prinsip yang telah menyamakan kedudukan maupun perlakuan adil terhadap pria maupun pada perempuan, sudah tercantum didalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin mengenai persmaarataan/kesetaraan antara para perempuan dan kaum laki-laki, serta juga menjadi arus utama gender yang sudah diadopsi untuk menjadi kebijakan guna mampu memberikan integrasi pada perspektif gender untuk kebijakan, penganggaran, dan juga perencanaan. UUD 1945 pasal 28 I (2) telah mengemukakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dan di dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan permepuan). Hal tersebut memiliki artian bahwa nilai secara filosofis, Indonesia telah memebrikan jaminan serta melindungi warga-warganya dimulai dari sikap bahkan tindak laku diskriminatif yang tanpa memiliki perbedaan status sosial, keagamaan, suku budaya, bahkan dari jenis kelaminnya [3].

Beberapa pembahasan mengenai penelitian terkait dengan kesetaraan gender dan perempuan dalam pembangunan telah dilakukan. Pertama, penelitian dengan judul “Perempuan dan perannya dalam pembangunan kesejahteraan sosial” bertujuan untuk menganalisis peran perempuan dalam pembangunan dan peningkatan perannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha dari beberapa kelompok telah memiliki penilaian yang cocok yang diperuntukkan bagi perempuan, meskipun hal tersebut dpaat berpotensi dalam mengurangi daya diri. Maka demikian itu, harus diperlukan dan ditetapkan kebijakan yang berfokus kepada gender serta keterlibatan sossok perempuan didalam pembangunan [4].

Kebijakan yang ada tersebut dapat memberikan kepastian bahwasanya perempuan bisa mampu bertahan hidup dan juga memiliki arus fungsi sosialnya secara baik. Kedua, penelitian dengan judul “From “Gender Equality and Women’s Empowerment” to Global Justice: Reclaiming a Transformative Agenda for Gender and Development” menunjukkan bahwa dari LSM internasional hingga pemerintah donor hingga lembaga multilateral, bahasa “kesetaraan gender” dan “pemberdayaan perempuan” tersebar luas dan menempati tempat yang membanggakan di antara prioritas pembangunan utama mereka. Namun, artikel ini berpendapat, fakta bahwa istilah-istilah ini telah dikeluarkan dari gigitan konseptual dan politik mengkompromikan penggunaannya sebagai kerangka utama untuk menuntut hak dan keadilan. Meneliti secara kritis lintasan istilah-istilah ini dalam pembangunan, artikel tersebut menyarankan bahwa jika janji agenda pasca/2015 adalah mewujudkan keadilan gender, diperlukan bingkai baru yang dapat terhubung dan berkontribusi pada gerakan keadilan global yang lebih luas [5].

Penelitian ketiga terkait gender dan perempuan berjudul “Feminisms, Women’s Rights, and the UN: Would Achieving Gender Equality Empower Women?”. Artikel ini menawarkan pemeriksaan kritis terhadap interaksi teori feminis dan wacana hak asasi manusia internasional sebagaimana diartikulasikan di forum dan dokumen PBB. Meskipun berbagai feminisme yang menjelaskan keragaman pengalaman perempuan dan kompleksitas penindasan telah dimasukkan ke dalam beberapa dokumen PBB, pendekatan hak-hak perempuan PBB secara keseluruhan masih diinformasikan oleh tuntutan dan harapan feminisme liberal. Hal ini terlihat jelas dalam indikator agregat yang digunakan untuk menilai “pemberdayaan perempuan”. Selain menjelaskan mengapa feminisme liberal mengalahkan feminisme lain, artikel ini membahas masalah dengan mengikuti kebijakan yang diinformasikan oleh feminisme liberal. Memperhatikan bahwa pendekatan integratif feminisme liberal dapat membangun kesetaraan gender tanpa memberdayakan mayoritas perempuan, ia mengkritik penggunaan indikator agregat pemberdayaan untuk menggabungkan sumber kekuasaan dengan pemberdayaan dan membuat asumsi yang salah [6].

Berdasarkan pencarian data jumlah penduduk Indonesia yang sesuai dengan gender atau jenis kelamin dapat dilihat dari table berikut :

Figure 1.

Sesuai denga isi gambar 1 menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia yang menempati urutan keempat. Jumlah penduduk di tanah air pun terus mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun 2018-2022 pada tahun 2018 sampai dengan tahun 2022 jumlah laki-laki di Indonesia selalu meningkat dari jumlah perempuan. Dari lima tahun terakhir angka kelahiran laki-laki masih mendominasi dan terus meningkat.

Beberapa asumsi mengenai perbedaan gender ada disebabkan oleh banyak sekali factor yang dapat dibentuk, diperkuat, disosialisasikan, dan juga dikonstruksi dengan secara sosial ataupun bahkan kultural melalui ajaran dari keagamaan dan juga negara [7] .Perbedaan yang terjadi tersebut bagi masyarakat merupakan hal yang tidak perlu atau terlalu untuk mendapatkan perhatian sepanjang dari ranah perbedaan tersebut tetap memikirkan perdamaian serta tidak menimbulkan diskriminasi. Namun, yang terlihat dikenyataan dan hasil nyatanya adalah perbedaan gender yang sudah mempunyai perkembangan telah melahirkan berbagai masalah. Hal yang menjadi masalah utama yaitu dapat berakibat pada ketidakadilan gender (gender inequalities). Mengenai ketidakadilan tersebut, telah termanifestasikan kedalam bentuk dari sebuah ketidakadilan, yang bisa dimulai dari marjinalisasi ataupun yang dapat terjadi dari kemiskinan perekonomian, pembentukan dalam stereotipe, subordinasi atau yang dapat dikatakan sebagai anggapan yang tidak penting bagi keputusan politik, pelabelan negative, terjadinya kekerasan, beban kerja yang justru lebih bertambah, serta juga sosialisasi ideologi mengenai peran gender.

Oleh sebab itu peran dan komitmen pemerintah dalam hal kesetaraan gender yang melibatkan perempuan dan laki-laki dalam sektor pembangunan berperan penting dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender guna untuk meningkatkan status dan kondisi perempuan sebagai aset pembangunan. Dalam hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan agar dapat menjadikan permpuan mampu berpartisipasi setara dengan laki-laki dalam menentukan pembangunan masa depan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan juga mendeskripsikan peran pemerintah dalam proses mewujudkan pembangunan berperspekif gender di Sidoarjo guna untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam sektor pembangunan. Oleh karena itu peran dari pemerintah khususnya pemerintah Sidoarjo diperlukan dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender di Sidoarjo.

Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk mengetahui peran daripada pemerintah Sidoarjo agar pembangunan di Sidoarjo berjalan dengan baik tanpa memandang jenis kelamin atau gender pada seseorang, agar perempuan juga dapat sejajar dengan laki-laki tanpa harus melihat status gender. Ketimpangan gender dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam pembangunan menimmbulkan dampak tertentu di kalangan masyarakat. Sosiolog membuktikan bahwa ketimpangan gender dapat menyebabkan perbedaan peluang dalam mendapatkan kekuatan, hak milik, dan kewibawaan (power, property, and prestige) [8]. dengan kata lain, jika suatu pembangunan mengabaikan aspek gender maka aktivitas pembangunan sangat berbahaya karena pembangunan akan salah mengalokasikan sumber daya yang terbatas pada golongan orang tertentu saja.

Untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan diperlukan peran dari pemerintah setempat khususnya pemerintah Sidoarjo. Dalam adanya permasalahan tersebut penelitian tentang “Peran pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender”. Berdasarkan Batasan-batasan permasalahan yang diambil maka peneliti merumuskan permasalahan yaitu bagaimana peran pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender dan bagaimana proses mewujudkan pembangunan berperspektif gender di Sidoarjo.

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender di Sidoarjo.

Metode

Penelitian yang digunakan adalah pendekatan Deskriptif Kualitatif yaitu memberikan suatu gambaran tentang bagaimana pemerintah dapat mewujudkan pembangunan berperspektif gender. Metode deskriptif sendiri merupakan sebuah metode dengan tujuan guna memberikan gambaran terhadap sifat dalam sesuatu yang sedang berlangsung atau sedang terjadi saat penelitian telah dilakukan serta melakukan observasi ataupun memeriksa terhadap berbagai penyebab yang mempengaruhi masalah atau menimbulkan gejala permasalahan [9]. Sedangkan penerapan metode kualitatif sendiri merupakan penelitian yang dapat digunakan dalam memahami atau mengetahui sebuah fenomena mengenai hal apa yang sedang dialami oleh subyek dari penelitian secara holistic dan juga menggunakan penyusunan cara deskriptif berbentuk kata-kata dan juga bahasa [10]. Penelitian deskriptif kualitatif adalah menguraikan pendapat informasi apa adanya sesuai dengan pertanyaan penelitian, kemudian analisis dengan kata-kata yang melatar belakangi informan berperilaku seperti itu, direduksi, distrigulasi, disimpulkan dan diverifikasi [11]. Fokus daripada penelitian ini adalah peran dan hambatan yang di alami oleh pemerintah Sidoarjo dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender. Teknik penelitian dan juga penentuan informan yang digunakan oleh peneliti adalah menggunakan teknik dengan purposive sampling. Jenis data yang diambil dari berbagai adanya sumber yang ada dantaranya yaitu data premier dan data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini merupakan subyek dari sebuah penelitian, yang terbagi menjadi dua macam yaitu pertama, data premier yang di dapat dari informan atau kegiatan observasi yang dilakukan di tempat lokasi penelitian berada di Kabupaten Sidoarjo. Kedua, data sekunder yang merupakan data penelitian yang dapat melalui media perantara dalam bentuk tertulis yang digunakan sebagai penunjang penelitian [12]. Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan data premier berupa peran pemerintah dalam mewudukan pembangunan berperspektif gender. Sedangkan data sekunder yang diperoleh menunjang peneliti yang terdapat pada buku-buku referensi dan juga jurnal penelitianyang sesuai dengan kondisi permasalahan pada . Teknik pada analisis data dilakukan melalui reduksi dari data, dilakukannya penyajian data dan juga dilakukan dengan penarikan kesimpulan [13].

Hasil dan Pembahasan

Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki untuk memberdayakan perempuan dan laki-laki mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dari seluruh kebijakan, program, kegiatan di berbagai bidang kehidupan pembangunan nasional dan daerah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender bermakna bahwa laki-laki dan perempuan dapat berkembang optimal tanpa terkendala oleh jenis kelaminnya [14].

A. Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan Pembangunan Ber perspektif Gender

Peran adalah sebuah aspek dinamis kedudukan (status), maka apabila seseorang melakukan suatu hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia sedang menjalankan peranan [15]. Pemerintah secara umum dapat didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan undang-undang di sutau wilayah tertentu. Pemerintah dalam tugasnya memiliki peranan dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender, perencanaan program-program dalam bidang pemberdayaan perempuan, dan penyususnan kebijakan teknis pemberdayaan perempuan. Pemerintah berperan penting dalam keberhasilan mewujudkan pembangunan berperspektif gender guna untuk menyetarakan kedudukan wanita dan laki-laki dalam keseluruh aspek pembangunan sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Soerjono Soekanto adapun syarat-syarat peran mencakup tiga hal, yaitu :

a. peran aktif

b. peran pasif

c. peran partisipatif

Peran pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender antara lain :

1. Peran Aktif

Peran aktif pemerintah Sidoarjo dapat dilihat dalam advokasi dan sosialisasi pengarusutamaan gender kepada masyarakat dan pegawai pemerintahan dengan cara melakukan kegiatan atau acara dengan membawakan tema kesetaraan gender, memenuhi hak-hak ketenagakerjaan perempuan seperti hak istirahat bagi perempuan yang sedang melahirkan, keguguran, dan juga menstruasi, melindungi perempuan diinstansi masyarakat maupun pegawai daerah dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan di tempat kerja, memaksimalkan potensi perempuan untuk dapat berkembang dengan jenjang karir yang sama seperti halnya laki-laki, memberikan upah yang sama antara perempuan dan laki-laki, dan melibatkan perempuan dalam hal pengambilan keputusan organisasi di dalam perusahaan seperti serikat pekerja.

Salah satu upaya Kabupaten Sidoarjo untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs tentang kesetaraan gender adalah melakukan upaya untuk mendorong percepatan pembangunan responsif gender malalui perencaan pengaggaran responsif gender semua perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Dalam upaya untuk mewujudkan perencanaan pengaggaran responsif gender dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo maka diperlukan suatu inovasi untuk tujuan tersebut mellaui aplikasi PPRG dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluaga Berencana. Berikut merupaka kegiatan yang menunjang hal tersebut yaitu penandatanganan MOU dengan Dinas Pemberdayaan perempuan, Perlindungan Anak dan kependudukan Provinsi Jawa Timur juna REPLIKASI Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).

Figure 2.

Pengarusutamaan Gender (PUG) bukanlah suatu program atau kegiatan melainkan suatu strategi pembangunan untuk mencapai suatu keadilan dan kesetaraan. Oleh sebab itu dukungan SDM harus memadai agar PUG dapat lebih konkrit baik pada perencanaan maupun penganggarannya. Kondisi daerah baik di provinsi maupun di kabupaten kota saat ini mengalami perubahan yang luar biasa dengan perubahan tugas pokok dan fungsi yang ada di masing-masing OPD. Tentu saja hal ini bisa menjadi kendala dalam pelaksanaan PUG dan memerlukan pencerahan terus menerus di berbagai tingkatan.

Arahan dari Komisi D DPRD Sidoarjo (Bp. Bangun Winarso) Pengarusutamaan gender bukanlah program/ kegiatan baru melainkan suatu strategi pembangunan yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki, DIFABEL, ANAK DAN ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan, program dan kegiatan di berbagai bidang pembangunan sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor : 9 tahun 2000. Pelaksanaan kegiatan PUG ini sangat ditentukan oleh Kinerja Tim Kelompok kerja PUG serta Tim Driver sebagai motor terselenggaranya kegatan yang responsif gender.

Arahan dari Dinas P3AK Provinsi Jawa Timur (One Widyawati, SKM. M.Kes) Tujuan PUG dalam pembangunan adalah tidak adanya diskriminasi, Akses yang sama dapat berpartisipasi dan Kontrol atas pembangunan (menjadi pemimpin) serta menerima manfaat yang sama dalam pembangunan. Hasil capaian program : Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2021: Laki-laki : 73,92 ; Perempuan : 62,90 ini masih ada perbedaan sebesar 11,02 Indeks Pembangunan Gender (IPG) tahun 2021: 94,26 capaian ini diatas angka Provinsi Jawa Timur sebesar 91,67. Berikut merupakan dokumentasi kegiatan rapat Koordinasi pengarustamaan Gender

Figure 3.

2. Peran Pasif

Peran pasif pemerintah hanya mengikuti sosialisasi dan kegiatan-kegiatan acara penyuluhan saja tanpa terlibat aktif untuk melakukan sosialisasi seperti kunjungan-kunjungan di tempat-tempat lain seperti : kampus, desa, dan rumah-rumah warga. Padahal kunjungan-kunjungan tersebut sangatlah penting untuk menyampaikan pentingnya kesetaraan gender di dalam kehidupan sosial dan kurangnya penyuluhan di masyarakat mengenai kesetaraan gender mengakibatkan kurangnya pengetahuan dan juga informasi masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender di seluruh aspek dan sektor pembangunan.

3. Peran Partisipatif

Peran partisipatif pemerintah Sidoarjo memberikan edukasi, motivasi dan mampu mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk mengikuti dan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah guna untuk mendapatkan pengetahuan mengenai pola pikir bermasyarakat yang adil. Pemerintah juga memberikan pelayanan maupun penyuluhan, dan juga konsultasi apabila adanya diskriminasi terhadap perempuan. Masyarakat sayangnya masih kurang mengerti dan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah untuk kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Bank Dunia (2012), partisipasi sekolah mengandung nilai investasi dan nilai instrumental yang akan menentukan perbedaan kesempatan di masa depan. Yang dimaksud nilai investasi adalah seseorang yang bersekolah cenderung akan mempunyai kesehatan yang baik dan pekerjaan yang layak. Selanjutnya, yang dimaksud mengandung nilai instrumental adalah seseorang yang bersekolah relatif mempunyai tingkat pendapatan yang lebih baik. Oleh karena itu, disparitas pada pendidikan dapat menyebabkan kesenjangan gender menjadi sulit dikurangi.

Tak lupa, perempuan yang berpendidikan relatif mampu memutus kesenjangan gender bagi generasi berikutnya. Perempuan berpendidikan akan mampu membuat keputusan yang baik tentang alokasi belanja bagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak-anaknya. Selanjutnya, anak-anak ini akan tumbuh menjadi pekerja yang produktifitasnya tinggi di kemudian hari dan memperoleh pendapatan yang lebih baik, bahkan menjadi calon ibu yang sehat dan hebat.

No Partisipasi Sekolah Laki-laki Perempuan Total
1 Angka Partisipasi Sekolah (APS)7-1213-1516-18 99,7898,3590,02 99,4210084,47 99,5999,1387,45
2 Angka Partisipasi Murni(APM)SDSMPSMA 99,0488,773,35 99,4291,0668,42 99,2489,8170,98
3 Angka Partisipasi Kasar (APK)SDSMPSMA 102,2598,18126,47 104,31100,42125,25 103,3199,23125,9
Table 1.menunjukkan partisipasi sekolah menurut jenis kelamin di Kabupaten

Tabel 1 menunjukkan partisipasi sekolah menurut jenis kelamin di Kabupaten Sidoarjo. Pada tahun 2021 hampir seluruh penduduk usia 7-12 dan 13-15 tahun saat itu tengah bersekolah yang ditunjukkan oleh angka partisipasi sekolah (APS). APS yang hampir mencapai 100 menunjukkan keterbukaan peluang untuk bersekolah di Kabupaten Sidoarjo tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini jelas menunjukkan ketiadaan kesenjangan gender dalam dunia pendidikan, padahal pada masa dulu perempuan mempunyai keterbatasan akses pendidikan. Beberapa sebab meningkatnya partisipasi sekolah perempuan adalah program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah, imbal balik pendidikan yang semakin besar, dan meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.

Indikator angka partisipasi murni (APM) menunjukkan proporsi penduduk usia sekolah yang bersekolah tepat waktu. Secara umum, semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah nilai APM. Hal ini menunjukkan adanya fenomena murid bersekolah tidak sesuai umur pada tahun-tahun sebelumnya. Selisih nilai yang positif antara APK dan APM mengindikasikan kejadian telat masuk jenjang pendidikan tertentu atau mengulang atau drop out.

Angka partisipasi kasar (APK) merupakan indikator yang berguna untuk melihat adanya murid yang bersekolah di jenjang tertentu, namun berusia di luar usia normal jenjang pendidikan tersebut. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. Penyebabnya adalah adanya pendaftaran siswa usia dini, pendaftaran siswa yang telat bersekolah, atau pengulangan kelas. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu menampung penduduk usia sekolah lebih dari target yang sesungguhnya. APK yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat partisipasi sekolah, tanpa memperhatikan ketepatan usia sekolah pada jenjang pendidikannya. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai APK jenjang SD dan SMA baik untuk laki-laki maupun perempuan lebih dari 100, kecuali untuk jenjang SMP. Hal ini menunjukkan keberadaan penduduk usia sekolah yang lebih lambat atau terlalu cepat masuk ke jenjang pendidikan SD dan SMA.

Peran partisipasif juga dapat dilihat dari produktivitas dalam kegiatan perekonomian, baik produksi maupun konsumsi. Indikator ketenagakerjaan yang berkaitan erat dengan IPG meliputi partisipasi angkatan kerja dan pengangguran. Kedua indikator ini berfungsi untuk melihat seberapa besar penyerapan pasar kerja akibat bertambahnya penduduk usia kerja. Penduduk usia kerja adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas, sedangkan usia produktif adalah yang berusia 15 tahun hingga 64 tahun.

Melihat gambar 2 di bawah ini, komposisi penduduk berdasar kegiatan utamanya seminggu yang lalu di Kabupaten Sidoarjo menunjukkan dinamika seiring perubahan kondisi pasar kerja. Jumlah penduduk 15+ yang bekerja terus meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan kemampuan perekonomian dalam menyerap pasokan tenaga kerja. Namun, pada tahun 2021 jumlah pekerja menurun cukup siginifikan, dari 1.066.792 penduduk bekerja pada tahun 2021 menjadi 1.021.884 penduduk bekerja di tahun 2021 ini. Tidak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 sangat berpengaruh besar terhadap kondisi sosial ekonomi, termasuk di Kabupaten Sidoarjo.

Figure 4.

Selama periode 2015-2021, jumlah pekerja telah bertambah sebesar 208 ribu. Peningkatan jumlah pekerja terbesar terjadi pada tahun 2021-2021, sebesar 157 ribu pekerja, seiring dengan mulai pulihnya perekonomian di Kabupaten Sidoarjo akibat pandemi covid-19. Sebelum adanya pandemi covid- 19 kondisi ketenagakerjaan Sidoarjo relatif lebih baik yang ditandai oleh rendahnya tingkat pengangguran pada angka 1 digit. Efek pandemi covid-19 menjadikan jumlah penganggur meningkat secara signifikan, hingga mencapai 2 digit dan angka ini menjadi angka tertinggi di Provinsi Jawa Timur akibat kehilangan pekerjaan dan terbatasnya lapangan pekerjaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, proporsi pengangguran menurut jenis kelamin di Kabupaten Sidoarjo mengalami sedikit pergeseran. Pengangguran yang awalnya didominasi oleh perempuan, namun dalam tiga tahun terakhir TPT laki-laki menjadi lebih menonjol (grafik 4.5). Terlebih lagi, pandemi Covid19 yang yang berdampak terhadap perekonomian dunia, tak terlepas juga berefek di Kabupaten Sidoarjo. Sektor industri yang menyerap cukup banyak pekerja tidak sedikit yang tutup akibat pandemi Covid-19. Hal ini turut meningkatkan tingginya angka pengangguran di Kabupaten Sidoarjo.

Kondisi tahun 2021, pengangguran di Kabupaten Sidoarjo masih cukup tinggi. Dibandingkan tahun sebelumnya hanya turun beberapa poin saja. Dari 10,97 persen di tahun 2020 menjadi 10,87 persen di tahun 2021 ini. Penganggur laki-laki masih tetap lebih tinggi dibandingkan penganggur perempuan, meskipun demikian penganggur perempuan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2020 dan pengganggur laki-laki mengalami penurunan. Menganalisis tingkat pengangguran menurut jenis kelamin tentu tidak terlepas dari peran gender di masyarakat. Laki-laki dalam rumahtangga identik dengan pencari nafkah utama dalam keluarga. Dengan demikian, lakilaki akan terus mencari kerja sebagai perwujudan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah keluarga. Oleh karena itu, menjadi wajar kalau tingkat pengangguran laki-laki menjadi lebih tinggi daripada perempuan.

B. Faktor Penghambat Pemerintah dalam Mewujudkan Pembangunan Ber perspektif Gender di Kabupaten Sidoarjo

Terdapat berbagai faktor penghambat yang ditemukan dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender ini, yakni yang pertama Komitmen Pimpinan, di Kabupaten Sidoarjo sendiri, dari hasil FGD diketahui bahwa masalah yang selama ini dihadapi mengapa PUG belum berjalan maksimal adalah karena masih belum berkembangnya dukungan dari para senior manajemen atau pejabat di masing-masing OPD, kurangnya akuntabilitas pembangunan yang berbasis gender, kurangnya kapasitas internal untuk menjalankan PUG maupun untuk merekan keberhasilannya, dan terbatasanya sumber daya untuk mendukung unit gender atau staf gender yang mampu melakukan perencanaan program yang sensitif gender. Dalam batas-batas tertentu, memang pimpinan daerah dan para pejabat OPD sudah tidak lagi asing dengan terminologi PUG. Namun demikian, sepanjang belum dikonkritkan dalam bentuk instruksi atau surat keputusan yang mewajibkan seluruh jajaran melakukan PUG, maka yang terjadi adalah pelaksanaan PUG yang setengah hati, temporer, dan belum menyeluruh karena masing-masing OPD seringkali masih terjebak pada isu-isu lain yang dinilai lebih mendesak dan penting. Di Kabupaten Sidoarjo, dalam banyak kasus, isu seperti kemiskinan, pengangguran, kematian ibu dan anak, kelangsungan pendidikan anak, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, perbaikan jalan, upah buruh dan lain-lain dinilai lebih mendesak daripada isu tentang gender. OPD yang ada umumnya masih menganggap isu-isu di atas lebih mendesak dan merupakan bagian dari Tupoksi mereka, sementara untuk isu gender ada kesan kuat sudah menjadi tanggungjawab lembaga yang memang Tupoksinya menangani masalah ini, yakni BPMPKB.

Selanjutnya yaitu kesediaan data terpilah, Salah satu problema utama yang selama ini dihadapi OPD dan menjadi penyebab analisis gender sulit dilakukan di Kabupaten Sidoarjo adalah karena tidak atau belum adanya data yang terpilah antara perempuan dan laki-laki. Guna memahami sejauh mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tentang angka putus sekolah, balita kurang gizi, pengangguran, dan lain-lain, hingga saat ini masih belum bisa diperoleh. Dari hasil FGD diketahui bahwa untuk memperoleh data yang terpilah, OPD selama ini kesulitan karena BPS tidak mengeluarkan data statistik yang terpilah karena untuk mengeluarkannya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Informasi dari Bappeda menyatakan bahwa kebutuhan data yang terpilah dari BPS harus dilakukan melalui program swakelola, dan hal itu diakui seringkali sulit dilakukan karena di Bappeda ada program lain yang juga tak kalah penting dan mendesak untuk dilakukan.Padahal, tanpa didukung adanya data yang terpilah ini, maka berbagai OPD akan kesulitan untuk memetakan besaran masalah dan tidak bisa mengetahui sejauhmana telah terjadi kesenjangan maupun ketidakadilan gender. Dalam proses perencanaan program, data yang terpilah dibutuhkan untuk menetapkan prioritas masalah gender untuk kemudian dapat dirumuskan program intervensi yang dibutuhkan. Dari hasil FGD diketahui, selama ini masing-masing OPD sulit merumuskan maskot program yang signifikan dan kontekstual dengan permasalahan gender di lapangan, sebab tidak atau belum ada data pendukung yang dibutuhkan untuk memetakan permasalahan gender yang dihadapi.

Yang ketiga yaitu Focal Point dan Problema Mutasi Pegawai, Di Kabupaten Sidoarjo, selama ini sebetulnya telah dilakukan berbagai pelatihan untuk memastikan agar SDM aparatur birokrasi di masing-masing OPD memiliki kepekaan dan kemampuan dalam proses perencanaan program yang sensitif gender, dan memiliki kemampuan untuk menyusun anggaran yang responsif gender. Dari hasil FGD diketahui bahwa beberapa tahun lalu, di Kabupaten Sidoarjo telah ditetapkan adanya sejumlah aparatur birokrasi sebagai focal point di sejumlah OPD. Tetapi, masalahnya kemudian, ketika terjadi mutasi dan promosi jabatan, sejumlah aparatur yang telah ditunjuk sebagai focal point itu, kemudian dipindah begitu saja --tanpa memastikan adanya keberlanjutan untuk menempatkan pengganti yang juga memiliki kemampuan dan kepekaan gender. Menurut salah seorang informan, di Kabupaten Sidoarjo pernah para Kasubag Perencanaan di masing-masing OPD rata-rata sudah dilatih dan dilibatkan dalam kegiatan pelatihan gender, tetapi sekali lagi karena tidak ada kontinuitas pelatihan gender untuk mengembangkannya pada aparatur yang lain, dan terjadi mutasi, maka focal point-focal point yang telah ada itu akhirnya tidak bisa mengembangkan kemampuannya di tempat yang baru, dan pengganti yang dibutuhkan pun juga tak kunjung terpenuhi. akibatnya tentu bisa diduga. Di berbagai OPD, saat ini boleh dikata tidak lagi banyak aparatur yang memiliki kemampuan khusus melakukan analisis gender dan memiliki kepekaan gender untuk melaksanakan PUG.

Keempat yaitu Partisipasi Perempuan Dalam Perencanaan Pembangunan, Salah satu indikator penting dalam PUG adalah adanya dukungan dan keterlibatan aktif perempuan sebagai subjek pembangunan. Artinya, posisi dan peran perempuan tidak sekadar menjadi target pelaksanaan program, tetapi mereka diharapkan juga terlibat sejak awal dalam mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan, menetapkan program, melaksanaan program, dan sekaligus mengawasi pelaksanaan program pembangunan di wilayahnya masing-masing. Di Kabupaten Sidoarjo, selama ini perempuan sebetulnya telah banyak dilibatkan dalam proses perencanaan program dari bawah (bottom up). dalam Musrenbang di tingkat kecamatan dan kabupaten, cukup banyak perempuan telah dilibatkan menjadi bagian dari peserta Musrenbang. Tetapi, untuk Musrenbang di tingkat desa, menurut hasil FGD yang dilakukan selama ini masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Persoalannya, karena untuk Musrenbang Desa belum ada ketentuan yang memastikan bahwa minimal 30% peserta Musrenbang harus perempuan, misalnya --sama seperti kebijakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan di jajaran partai politik atau lembaga legislatif. Sejumlah peserta FGD menyatakan, ke depan akan lebih baik jika ada ketentuan yang mengharuskan bahwa pelaksanaan Musrenbang di berbagai level mengundang minimal 30% perempuan sebagai peserta. Bahkan lebih dari sekadar peserta, perempuan yang diundang diharapkan juga diberi kesempatan untuk menyatakan aspirasi sosialnya --tanpa harus dibayang-bayangi dengan diskriminasi dan ideologi patriarkhi yang memarginalisasi posisi perempuan.

Yang terakhir yaitu Administrasi dan Ketentuan Hukum, Walaupun sejumlah OPD mengaku telah memiliki komitmen untuk memberdayakan perempuan. Tetapi, dalam pelaksanaannya seringkali persoalan administrasi dan ketentuan hukum yang berlaku menjadi kendala tersendiri. Di DPA program, misalnya, memang selama ini tidak secara khusus mencantumkan tujuan program yang khusus untuk memberdayakan perempuan dan tidak pula ditegasnya seberapa banyak perempuan yang ditetapkan sebagai target sasaran program. Tetapi, dalam pelaksanaan sejumlah peserta FGD mengungkapkan bahwa selama ini mereka telah memberi kesempatan kepada banyak perempuan menjadi peserta program. Hanya saja yang menjadi masalah, tekad OPD untuk melaksanakan program yang bertujuan memberdayakan perempuan, terkadang menemui kendala karena adanya ketentuan yang mensyaratkan berbagai hal. Pelaksanaan program untuk memberdayakan perempuan, seringkali terkendala ketentuan administratif yang menyulitkan aparatur di tingkat bawah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan program. Salah seorang informan menuturkan: Ditelisik lebih jauh maka kentalnya budaya patriarkhi dan pendekatan WID dalam pembangunan berperspektif gender di Indonesia, termasuk juga Kabupaten Sidoarjo menjadi kendala tersendiri dari implementasi PUG.Terlebih pada tataran pembuat kebijakan, pendekatan WID cenderung dipahami hanya pada tataran keterlibatan perempuan dalam pembangunan.

Simpulan

Kesimpulan dari peran pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berperspektif gender masih kurang maksimal dalam menjalankan peranannya. Hal tersebut dibuktikan dalam menjalankan tiga peran yakni yang pertama, peran aktif pemerintah dalam melakukan penyuluhan dan juga kegiatan-kegiatan yang bertemakan kesetaraan gender dengan melakukan sosialisasi dan perlindungan kepada perempuan dalam urusan hak-hak mereka. Yang kedua. Peram pasif pemerintah adalah hanya melakukan penyuluhan dan sosisalisasi dalam sektor pemerintah dan belum menyeluruh ke desa dan juga kampus sehingga mengakibatkan kurangnya faham masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender. Dan yang ketiga, peran partisipasif pemerintah dalam memberikan edukasi, motivasi dan mampu mengajak seluruh kalangan masyarakat dalam mengikuti kegiatan pemerintah guna untuk mendapatkan pengetahuan dan untuk merubah pola pikir masyarakat yang adil. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan pada perempuan menjadi faktor dan juga pemicu hambatan pemerintah dalam menyukseskan peranannya dalam pencapaian dan mewujudkan pembangunan berperspektif gender.

Ada beberapa faktor penghambat dalam emwujudkan pembangynan berperspektif gender di Kabupaten Sidoarjo yaitu komitmen pimpinan, kesediaan data terpilah, focal point dan probleman mutasi pegawai, partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan, serta administrasi dan ketentuan hukum.

References

  1. A. F. Wood and M. J. Smith, "Online Communication: Linking Technology, Identity and Culture," Lawrence ErlbaumAssociates, Inc, 2005.
  2. "INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional."
  3. "UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)."
  4. R. Probosiwi, "Perempuan dan Perannya dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Women and Its Role on Social Welfare Development)," Jurnal Natapraja: Kajian Ilmu Administrasi Negara, vol. 3, no. 1, 2015.
  5. A. Cornwall and A. M. Rivas, "From 'gender equality and 'women's empowerment' to global justice: reclaiming a transformative agenda for gender and development," Third World Quarterly, vol. 36, no. 2, pp. 396-415, 2015.
  6. Z. F. K. Arat, "Feminisms, Women's Rights, and the UN: Would Achieving Gender Equality Empower Women?," American Political Science Review, vol. 109, no. 4.
  7. M. Fakih, "Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar," pengantar buku Gender dan Pembangunan.
  8. Risman, Froyum, Scarborough, "Handbook of the Sociology of Gender," Springer International Publishing, 2018.
  9. P. Robinson, "Manajemen Strategik Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian," Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997.
  10. U. Husein, "Metodologi Penelitian Aplikasi Dalam Pemasaran," Gramedia, Jakarta, 1999.
  11. Sanusi, "Metodologi Penelitian Bisnis," Salemba Empat, Jakarta, 2014.
  12. Margono, "Metodologi Penelitian Pendidikan," Rineka Cipta, Jakarta, 2014.
  13. M. B. Miles and Huberman, "Analisis data kualitatif: buku sumber tentang metode metode baru buku sumber tentang metode metode baru," Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
  14. Kementerian Keuangan, "Buku Saku PUG 'Pengarusutamaan Gender.'"
  15. S. Soekanto, J. Budi Sulistyowati, "Sosiologi Suatu Pengantar," PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017.