Abstract

This qualitative descriptive research explores the government's performance in handling women's violence with a focus on UPTD PPA, aiming to achieve good governance. Data were gathered through observation, interviews, documentation, and literature study, employing purposive sampling. Findings reveal that UPTD PPA falls short in realizing good governance, with deficiencies in accountability, transparency, and community participation indicators. Supporting factors include government regulations and budgetary support, along with collaboration from various agencies. Inhibiting factors involve divergent views on violence handling between UPTD PPA and the police, coupled with low public trust. This study underscores the need for enhanced collaboration and public engagement to strengthen the government's response to women's violence.

Highlight :

  • Challenges in Accountability: Lack of transparency and accountability in budget utilization by UPTD PPA hinders the realization of good governance in addressing women's violence.

  • Technology Deficiency: Absence of technological tools for information dissemination impairs transparency within UPTD PPA, posing a barrier to effective communication with the public.

  • Interagency Collaboration and Public Trust: Successful collaboration with government entities like the police, prosecutors, hospitals, and social services supports effective handling of women's violence, while addressing differences in understanding between UPTD PPA and the police is crucial for overall success.

Keywords: Government Performance, Women's Violence, Good Governance, UPTD PPA, Collaboration

Pendahuluan

Setiap tahunnya kasus- kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia semakin beraneka ragam, salah satunya adalah kekerasan perempuan, kekerasan terhadap perempuan ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari tindakan kejahatan atau kriminalitas, dikarenakan kekerasan perempuan ini merupakan tindakan yang melanggar hukum dan norma-norma mayarakat dapat merugikan pihak lain. Indonesia sebagai negara hukum memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang hak asasi manusia menegaskan bahwa Negara Republik lndonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan tidak terpisahkan, harus dihormati, dilindungi, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kecerdasan, kebahagian dan keadilan, yang berlaku bagi siapa saja [1]. Namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih sering terjadi, salah satu bentuknya adalah kekerasan perempuan. Berikut merupakan grafik jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Figure 1.Kekerasan Terhadap Perempuan dari Tahun 2007 – 2018

Berdasarkan data di atas melalui Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan tahun 2019, menjelaskan bahwa jumlah kasus kekerasan perempuan yang dilaporkan pada tahun terakhir, yakni tahun 2018 meningkat 14% dari tahun sebelumnya atau mengalami peningkatan sebanyak 57.732 kasus [2]. Melihat catatan peningkatan kasus kekerasan diatas tentu saja membuat prihatin, namun angka tersebut belum menggambarkan jumlah kasus yang sesungguhnya ada di masyarakat, karena sangat banyak kekerasan yang terjadi yang tidak dilaporkan, hal ini diibaratkan fenomena gunung es. berdasar temuan – temuan yang diperoleh pada artikel – artikel ilmiah, laman berita on line serta webside resmi pemerintah, seperti pada webside resmi Kementirian Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelasakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan ibarat fenomena gunung es, yang mana masih banyak kekerasan yang belum di ketahui dan terditeksi keberadaanya. [3].

Melihat tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dan masih rendahnya kontrol masyarakat untuk melakukan pelaporan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, serta guna melindungi warganya dari ancaman tindak kekerasan. Bentuk dari pertangungjawaban pemerintah dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan ini adalah di keluarkannya peraturan maupun kebijakan. Salah satu wujud kebijakan tersebut adalah pada tahun 2002 terbentuk lembaga sosial atau organisasi publik yang bernama Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) yang saat ini berganti nama menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)

UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo adalah instansi daerah, yang merupakan suatu unit kerja di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo. Sebagai bagian dari satuan unit kerja maka semestinya UPTD PPA harus dapat senantiasa meningkatkan kinerjanya untuk dapat mewujudkan harapan maupun tujuan dari dibentuknya UPTD PPA. Kinerja sendiri merupakan gambaran mengenai tingkat pencapain pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dan tertuang dalam strategis planning suatu organisasi [4]. Sejalan dengan hal tersebut, pada era reformasi sekarang ini untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah, serta dapat mewujudkan harapan masyarakat maka kinerja pemerintah identik dengan penerapan konsep maupun prinsip - prinsip good governance.

Good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik, adapula yang mengartikan sebagai sistem pemertahan yang baik. Penerapan good governance dapat di jadikan sebagai bagian dari upaya untuk melaksanakan asas – asas demokrasi dan demokratisasi, yang mengidentifikasikannya dijunjung tingginya aspek pemenuhan hak – hak rakyat oleh pemerintah, ditegakannya nilai – nilai keadian sosial serta adanya penegakan hak asasi manusia dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Untuk mewujudkan good governance baik lembaga ditingkat pemerintah pusat sampai dengan lembaga pemerintah daerah harus dapat menjalankan prinsip – prinsip good governance. Adapun peinsip-prinsip good governance seperti yang tertuang dalam UNDP ( United Nations Development Programs) Tahun 1997 diantaranya : Partisipasi Masyarakat, Kepastian Hukum, Trasparasi, Responsivness, Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas, Akuntabilitas, dan Strategis. Good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik, adapula yang mengartikan sebagai sistem pemertahan yang baik. Penerapan good governance dapat di jadikan sebagai bagian dari upaya untuk melaksanakan asas – asas demokrasi dan demokratisasi, yang mengidentifikasikannya dijunjung tungginya aspek pemenuhan hak – hak rakyat oleh pemerintah, ditegakannya nilai – nilai keadian sosial serta adanya penegakan hak asasi manusia dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Untuk mewujudkan good governance baik lembaga ditingkat pemerintah pusat sampai dengan lembaga pemerintah daerah harus dapat menjalankan prinsip – prinsip good governance.

Sebagai bagian dari organisasi sektor publik yang mengedepankan asas – asas pemerintahan yang baik (good governance), kinerja instansi pemerintah sering menjadi sorotan, masyarakat sering mempertanyakan pelayanan yang diperoleh dari instansi pemerintah, yang mana masyarakat masih merasa belum puas atas dasar kualitas pelayanan yang di berikan. Maka dari itu seyogyanya kinerja pemerintah harus senantiasa ditinggkatkan dan dioptimalkan. Akan tetapi berdasar data yang di peroleh pada penelitian awal yang peneliti lakukan di UPTD PPA masih memperlihatkan kinerja yang belum otimal , hal tersebut dikarenakan pada aspek pencapaian sasaran atau target kegiatan (target sasaran kinerja penanganan kasus) belum terpenuhi. Berikut merupakan tabel jumlah penanganan kasus dan target capaian kinerja UPTD PPA.

Tahun Target Sasaran Kinerja Penanganan Kasus Per Tahun Jumlah Penenganan Kasus (Realisasi) Persentase Capaian Kinerja
2017 140 kasus 185 kasus 100%
2018 150 kasus 137 kasus 91,30%
2019 160 kasus 115 kasus 71,80%
Table 1.Jumlah Penanganan Kasus dan Target Capaian Kinerja

Belum terpenuhinya target capaian kinerja, yakni berdasar hasil observasi awal, Persentase capaian kinerja UPTD PPA mengalami penurunan, yang mana pada tahun 2018 dan 2019 (sampai dengan September) capaian kinerja belum tercapai secara maksimal, hal tersebut terlihat dari jumlah penanganan kasus kekerasan di UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo. Dimana jumlah kasus kekerasan yang ditanagani masih dibawah target sasaran kinerja dan mengalami penurunan persentase capaian kinerja dari 100% (2017) turun menjadi 71,8 % (2019).

Penurunan persentase capaian kinerja tersebut mengidentifikasikan bahwa kinerja UPTD PPA belum bejalan dengan optimal, hal tersebut dikarenakan sasaran maupun tujuan dari organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya belum tecapai. Salah satu penyebab belum optimalnya kinerja UPTD PPA ini adalah kurangnya partisipasi dari masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa pada era reformasi sekarang ini kinerja pemerintah erat kaitanya dengan prinsip good governance. Akan tetapi menurut observasi awal dan di dukung oleh penelitian terdahulu [5] prinsip partisipasi masyarakat belum berjalan dengan baik di UPTD PPA, hal ini dikarenakan masih banyak ditemukannya masyarakat kabupaten Sidoarjo yang belum mengetahui tentang peran dan fungsi adanya UPTD PPA ini, sehinggah banyak dari masyarakat Kabupaten Sidoarjo jika dihadapkan pada penanganan dan peneyelesaian kasus masyarakat lebih memeprcayakan kasusnya pada pihak kepolisian dan jarang ada yang menyelesaikan perkara lewat UPTD PPA, hal ini mengidentifikasikan bahwa aspek partisipasi mayarakat kurang berjalan dengan baik. Beberapa pembahasan penelitian terdahulu terkait kekerasan perempuan, kinerja dan good governance.

Penelitan pertama, yaitu penelitian Zaini Bidaya Dan Rizal Umami “Implementasi Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT) Berkaitan Dengan Pranata Lokal Di Desa Sokong Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara.” (2016). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa implementasi Undang – undang PKDRT di Desa Sokong Kekecamatan Tanjung belum berjalan dengan efektif, hal tersebut dikerenakan masyarakat Desa Sokong jarang menggunakan Undang – undang ini untuk menyelesaikan kasus PDKRT, faktor lain adalah masyarakat Desa Sokong masih belum mengetahui tentang adanya Undang – undang ini dan sebagian besar syarat atau pemenemuhan keefektifan dari Undang – undang (Pasal – pasalnya) ini belum terpenuhi di Desa Sokong. Masyarakat / Warga Desa Sokong dalam menangani kasus – kasus kekerasan, khususnya kasus KDRT lebih senang menyelesaikan secara kekeluargaan atau di selesaikan melalui hukum adat, hal ini dikarenakan kebiasaan turun temurun yang di warisakan, apalagi melihat masih kentalnya adat – istiadat yang ada di Desa Sokong. Adapun penyelesaian permaslahan KDRT ini biasanya diselesaikan melalui perantara lokal, yakni melalui Majelis karma desa atau majelis karma adat [6].

Penelitian kedua, yaitu penelitan Handi Yuniar Lestiawan dan Bambang Jatmiko “ Key Success Factor Government Governance Serta Pengaruhnya Terhdap Kinerja Pemerintah (Survey pada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul)” (2016). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja pemda. Sedangkan variabel keadilandan responsibilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pemda.Dalam penelitian ini juga dapat disumpulkan bahwa penerapan prinsip good government governance di pemerintah Kabupaten Gunungkidul masih terbilang kurang, terutama dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan pertisipasi masyarakat, hal tersebut dapat dilihat dari temuan penulis yang menyatakan Pemda masih tidak setuju atas keterlibatan masyarakat dalam hal perumusan kebijakan serta keengganan Pemda dalam hal mempublikasikan laporan keuangan pada situs pemda maupun mediamasa yang berada di Kabupaten Gunugkidul [7].

Penelitian ketiga, yaitu penelitian Dedy Afrizal “Analisis Kinerja Birokrasi Publik Pada Dinas Sosial Kota Dumai” , (2018). Hasil penelitan ini menunjukan bahwa kinerja dinas sosial kota dumai dalam kategori cukup baik, hal tersebut dapat dilihat dari indikator produktifitas, kualitas layanan, responsivtas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Sedangkan faktor pendukung dalam penelitian ini adalah terdapatnya responsibilitas dalam penyelengaraan pelayanan publik serta tugas – tugas kepemerintahan. Faktor pendukung selanjutnya adalah terdapatnya akuntabilitas yang baik dari pegawai dalam bentuk tanggung jawab pelakasnaan kegiatan, berupa tugas dan fungsi kerja yang baik dan sesuai dengan tempatnya. Adapula faktor penghambat yang ditemuan dalam penelitian ini adalah masih kurang produktivitas dalam upaya pencapaian program kerja yang sudah ditentukan, dan masih kurangnya kualitas pelayanan untuk penyandang sosial [8].

Penelitian keempat, yaitu penelitian Ida Ayu Arina Mahadewi dan Asri Dwija Putri “Pengaruh Penerapan Prinsip – Prinsip Good Governance Terhadap Kinerja Pada Rumah Sakit Di Kota Denpasar, (2019). Hasil yang di peroleh dalam penelitian ini adalah bahwa seluru prinsip – prinsip good corporate governance berpengaruh terhadap kinerja pada kinerja organisasi dalam hal ini Rumah sakit. Adapun prinsip – prinsip yang berpengaruh terhadap kinerja adalah prinsip transparasi, akuntabilitas, kewajaran, independensi serta responsibilitas. Hasil penelitian ini juga membuktikan dengan menerapkaan prinsip – prinsip good governance kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat sekitar terhadap rumah sakit semakin baik [9].

Penelitian kelima, yaitu penelitian Abdul Aziz “Persepsi Masyarakat Kecamatan Samka Terhadap Pelaksanaan Prinsip – Prinsip Goodgovernance Pemerintah Kecamatan Samka Kabupaten Tanggamus.” (2019). Hasil penelitan ini menunjukan bahwa prinsip transparasi berada dalam kategori sedang dikarenakan akses informasi yang di perlukan masyarakat Samka masih terbatas, kemudian masih rendahnya soisaliasi yang dilakukan pemerintah terkait informasi – informasi dan kebijakan yang akan di laksanakan. Sedangkan pada aspek akuntabilitas pemerintah bertanggung jawab atas kinerjanya hal ini di karenakan sudah sesuai dengan visi misi organisasi, akan tetapi masih di temukan nya biaya tambahan untuk mempelancar proses administrasi dan pemerintah kecmatan samka masih belum maskimal dalam melaporkan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Terakhir pada prinsip partisipasi masyarakat masyarakat samka masih kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan akibatnaya kebijakan atau program yang ditempuh oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari ketiga prinsip – prinsip good governance dapat dikatakan pemerintah kecamata samka masih belum menerapkan prinsip – prinsip good governace secara optimal [10].

Berdasar lima kajian penelitian terdahulu diatas, dapat disimpulkan bahwa pada penanganan kekerasan sebagian besar masyarakat menyelesaikan permaslahannya melalui kebiasan – kebiasan terdahulu/ budaya, masyarakat masih kureng mengenal kebijakan mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat masih belum sepenuhnya percaya kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang dialami. Adapula dalam aspek kinerja pemerintah dalam pelayanan publik masih belum optimal, hal tersebut dapat dilihat dari masih banyak aspek standar pelayanan yang belum terpenuhi, sedangangkan dalam menerapan prinsip- prinsip good governance juga belum berjalan dengan optimal, dikarenakan masih banyak perinip – prinsip good governance yang belum berjalan dan dilaksanakan dengan baik.

Dari kelima penelitaan diatas, kajian penelitian yang paling mendukung dalam penelitian ini adalah kajian penelitian dari Abdul Aziz, Tahun 2019 “Persepsi Masyarakat Kecamatan Samka terhadap Pelaksanaan Prinsip – Prinsip Goodgovernance Pemerintah Kecamatan Samka Kabupaten Tanggamus”. Prinsip–prinsip good governance yang digunakan sama – sama memiliki tiga indikator yakni, akuntabilitas, trasparasi dan partisipasi.

Metode

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan Kinerja Pemerintah dalam Penanganan Kekerasan Perempuan untuk Mewujudkan Good Governance , dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif tersebut adalah sebuah tahapan dimana untuk meggambarkan fenomena serta keadaan dalam subjek penelitian dimana seperti presepti, tindakan, perilaku, motivasi, ataupun yang lainnya . Penetapan pada lokasi penelitian adalah tahapan yang penting untuk penelitian kualitatif, dikarenakan ditetapkannya sebuah lokasi yang akan dijadikan penelitian , objek dan tujuan telah ditentukan sehingga nantinya bisa mempermudah penulis guna melaksanakan penelitian. Adapun lokasi pada penelitian ini yaitu di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sidoarjo

Fokus penelitian ini yaitu 1) pengukuran kinerja dalam mewujudkan good governance a) akuntabilitas, b) transparasi, c) partisipasi [11]. 2) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja oleh faktor internal dan faktor eksternal. Teknik penentuan informan yang digunakan pada penelitian ini dengan teknik Pursposive Sampling. Teknik pengumpulan data yang diambil penulis dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi . Teknik analisi data yang dipergunakan yakni model Miles dan Huberman yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. [12]

Hasil dan Pembahasan

Pada era reformasi ini kinerja lembaga pemerintahan selalu dikaitkan dengan penerapan good governance yakni pemerintahan yang baik. Good governance merupakan salah satu konsep yang mengacu pada proses pencapaian kinerja yang mana kinerja tersebut nantinya akan dapat dipertangungjawabkan secara berasama-sama. Maka dari itu antara kinerja pemerintah dan good governance harus saling terkait. Adapun prinsip-prinsip good governance yang akan di gunakan dalam pengukuran kinrja dalam mewujudkan prinsip – prinsip good governance terdiri atas akuntabilitas, transparasi dan partisipasi masyarakat [13]. Sedangkan faktor yang mepengaruhi kinerja pemerintah dalam penanganan kekerasan perempuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal [14]

A. Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan utuk mencapai kinerja yang berkesinambungan [15] dalam hal ini akuntabilitas atau pertanggungjawaban UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo dilakukan melalui tiga arah, yang pertama pertanggung jawaban kepada masyarakat dan yang kedua pertanggungjawaban kepada dinas pemeberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan ketiga kepada kementrian pemeberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Adapun akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada masyarakat dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan mulai dari sosialisai,[16] penyediaan informasi, dan melakukan penanganan kasus kekerasan, karena pada dasarnya visi uptd ppa kabupaten sidoarjo adalah mengupayaka pembangunan yang berkeadilan dalam rangka penegakan hak asasi manusia (HAM) bagai perempuan dan anak di kabupaten sidoarjo dan misi utama uptd adalah melakukan penyadaran akan HAM kepada masyarakat, serta membantu korban kekerasan, maka dari itu pertanggungjawaban yang dialakukan UPTD PPA kepada masyarakat dengan cara sosialisasi ke desa –desa serta kekecamatan di Kabupeten Sidoarjo akan bahaya kekerasan, dampak kekerasan adapun pertanggungjawaban lainnya yang adalah dengan melakukan penanganan kasus dengan sebaik-baiknya[17]. Dalam hal ini pertanggungjawaban yang dilakuakan uptd ppa kepada masyarakat dapat dikatakan baik, fenomena tersebut sesuai dengan peraturan dalam Negeri nomor 114 tahun 2014 yang menjelaskan bahwa penginformasian dokumen adalah suatu bentuk pertanggungjawaban yang dapat di informasikan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisai [18]. Adapun akuntabilitas atau pertanngungjawaban UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo kepada pemerintah dalam hal ini kepada dinas DP3AKB dan kepada Kementrian perlindungan perempuan dan anak terkait visi misi berupa laporan pertanggung jewaban. Bentuk pertanggung jawaban atas visi misi dan tujuan UPTD PPA ini berupa Laporan Pertanggung jawaban, yang mana pertanggungjawababn dilakukan melalui dua cara, yakni pelaporan secara offline dan pelaporan secara online, pelaporan secara offline dilakukan secara tertulis dimana laporanya berupa Laporan pertangung jawaban (LPJ) dilakukan selama empat kali dalam setahun atau yang sering disebut dengan laporan three bulanan . sedangkan pertanggungjawaban kepada kementrian perlindunagn perempuan dan anak pertanggungjawban dilakukan secara online melalui aplikasi sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (SIMFONI PPA) adapun pelaporan yang termuat dalam SIMFONI PPA memuat jumlah kasus dan jenis kasus kekerasan yang ditangani.

Bentuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo, juga dapat ditinjau dari pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh seorang pegawai yang mengarah pada tingkah laku, keteguhan, dan kebenaran sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku [19]. Dalam hal ini karyawan/pegawai UPTD PPA dalam melaksanakan setiap kegiatan berpedoman pada peraturan daerah kabupaten sidoarjo tentang penyelengaraan perlindungan perempuan, tanggung jawab pegawai untuk melaksanakan tugas per bagian juga sudah baik, hal tersebut dibuktikan dengan (1) adanya kegiatan evaluasi kerja yang dilakukan setiap bulan, yang mana evaluasi ini bertujuan untuk mempertanggungjawabkan kerja pegawai seklaigus meningkatkan kinerja pegawai, (2) Adanya kejelasan berupa informasi mengenai biaya pelayanan yang bisa di dapatkan masyarakat melalui brosur dan juga melalui bagian informasi,hal ini juga merupakan bentuk dari baiknya kinerja pegawai UPTD PPA. Berdasar fenomena tersebut sejalan dengan pendapat Afrizal [19] yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban kinerja karyawan setidaknya terdapat pernisip-prinsip administrasi yang benar yang dilakukan pegawai dalam bekerja, terdapatnya tanggungjawab dalam menjalankan tugas serta pegawai melaksanakan kegiatan sesuai dengan atran yang berlaku.

Selain kinerja karyawan semberdaya juga merupakan bagian dari oprsional organisasi. sumberdaya dibedakan menjadi dua yakni akuntabilitas atas sumberdaya manusia dan akuntabilitas atas sumberdaya finansial. Akuntabilitas sumber daya manusia UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo terlihat pada kemampuan pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajban yang di berikan oleh Kepala UPTD PPA, dalam hal ini para pegawai yang ada di UPTD PPA sudah mampu dalam membantu korban kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang diadapi, hal tersebut dikarenakan para pegawai pada setiap tahunnya selalu mengikuti pelatihan pelatihan, yang mana pelatihan-pelatihan tersebut diadakan setiap tahunnya, seperti penguatan manajemen kasus dan pelatihan penanganan kasus, kegiatan palatihan-pelatihan ini di berikan kepada pegawai sebagai bentuk pertanggung masyarakat agar setiap pegawai mampu dan terlatih dalam menangani kasus yang dilaporkan ke UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo. fenomena tersebut sejalan dengan pendapat Afrizal [19] yang menyatakan bahwa kemampuan atau kehandalan pegawai dalam melaksanakan kegiatan merupakan aspek penting dalam mempertanggung-jawabkan kinerja dalam segi kualtas pelayanan. Sejalan dengan hal tersebut sumberdaya finansial juga merupakan bagian dari pertanggungjawaban kinerja, akan tetapi pertangggungjawaban suberdaya finansial ini belum optimal, hal tersebut dikarenakan pertangungjawaban akan sumberdaya finasial pihak UPTD PPA hanya befokus kepada pemerintah dalam hal ini kepala dinas P3AKB saja, yang mana bentuk pertanggungjawabannya berupa LPJ (Laporan pertangung jawaban), sedangkan pertanggungjawaban akan sember daya finasial kepada masyarakat UPTD PPA masih kurang, hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya informasi yang jelas mengenai penggunaan anggaran, sehinggah masyarakat Kabupaten sidaorjo tidak mengetaui penggunaan dari anggaran APBD tesebut. Fenomena tersebut tidak sesuai dengan teori dari yang menyatakan bahwa indikator akuntabilitas adalah adanya pembuatan laporan pertanggungjawaban dari kegiatan penyelenggara negara kepada warga / masyarakat sesuai dengan kebijakan/ peraturan perundang-undangan [20]. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam dimensi oprasional prinsip akuntabilitas kepada masyarakat belum berjalan baik

Adapun akuntabilitas UPTD PPA kepada DP3AKB sudah berjalan dengan baik, hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kinerja pegawai dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang dieselenggarakan oleh dinas, kemudian adanya pelaporan atau pertanggungjawaban tentang penggunaan sumber daya, sumberdaya yang dimaksud berupa pemanfaatan realisassi APBD. Fenomena tersebut sejalan dengan pendapat dari Handisal yang menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan atau pemeberi tugas oleh bawahan yang di beri kuasaatasan yang dimaksud merupakan DP3AKB, sedangkan bawahan yang dimaksud adalah UPTD PPA. Berikut merupakan tabel ringkasan akuntabilitas.

Indikator Sub Indikator Keterangan
Sosialisai Pemberian Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Peran Dan Fungi Uptd Ppa Ada
Pemberian Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Bagaimana Jika Mendapat Perlakuan Kekerasan Ada
Pemberian Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Bagaimana Jika Melihat Maupun Mendengatr Adanya Kekekerasan Ada
Penyediaan Informasi Brosur Ada
Profil Uptd Ppa Ada
Informasi Tentang Kegiatan Program Yang Sedang Maupun Yang Akan Dijalankan Ada
Informasi Tentang Kinerja Dalam Lingkup Badan Publik Berupa Narasi Realisasi Program Dan Kegiatan Yang Telah Maupun Sedang Dijalankan (Kepada DP3AKB) Informasi Tentang Kinerja Dalam Lingkup Badan Publik Berupa Narasi Realisasi Program Dan Kegiatan Yang Telah Maupun Sedang Dijalankan (Kepada masyarakat) Tidak Ada
Penanganan Kasus Penanganan Secara Online Ada
Penanganan Secara Offline Ada
Table 2.Akuntabilitas

B. Transparasi

Transparasi berkaitan dengan keterbukaan dan ketersediaan informasi yang di tujukan kepada publik, dimana informasi tersebut harus disampaikan secara jujur dan terbuka serta informasi yang disediakan harus jelas dan lengkap. Adapun mengenai segala jenis informasi berkaitan dengan kinerja maupun kegiatan bisa di peroleh melalui bagian administrasi, bagian informasi, dan bisa didapatkan ketika ada sosialisai. Sejalan dengan hal tersebut, trasparasi atas kinerja UPTD PPA ini juga berkaitan dengan kemudahan akses, akan tetapi berdasar hasil temuan akses informasi hanya bisa didapatkan jika masyarakat menemuai bagian administasi umum, atau melalui brosur-brosur, hal tersebut dikarenakan UPTD PPA belum mengguankan media teknologi untuk memberikan informasi secara mudah, dikarenakan belum adanya rencana anggaran yang ditujukan untuk membuat webside, di mana hal tersebut mengidentifikasikan bahwa belum mudahnya akses informasi mengenai segala kegiatan yang menyangkut visi, misi dan tujuan UPTD PPA masih tergolong berada level rendah, hal tersebut berdasar pendapat yang dikemukakan oleh Hasan yang menyatakan bahwa level transaparasi tertingi adalah adanya penggunaan media teknologi, sedangakan level trasparasi terendah adalah informasi didapatkan secara langsung.

Trasparasi juga berkaitan erat dengan keterbukaan akan informasi mengenai pemanfaatan maupun pengelolaan sumberdaya. dalam hal ini trnsparasi kinerja UPTD akan sumberdaya ini dibedakan mejadi dua yakni transparasi sumberdaya manusia dan trasnparasi sumberdaya finansial. Berdasar hasil temuan akses informasi atas sumberdaya manusia ini bisa diperloleh jika masyarakat datang ke UPTD PPA, dimana informasi yang bisa dapatkan mengenai, jumlah pegawai, jabatan pegawai serta informasi mengenai pendidikan terakhir yang dimilki oleh pegawai, informasi tersebut berupa struktur organisasi yang tersedia di ruang tunggu UPTD PPA. Adapun transparasi kinerja mengenai pengelolaan sumberdaya finasial (Aggaran), bersasar temuan UPTD PPA belum transparan mengenai pengguanaan maupun penggelolaan anggaran. Hal tersebut dikarenakan, pegawai UPTD PPA menganggap bahwa fokus pertanggungjawaban anggaran hanya kepada kepala dinas, sehinggah tidak kewajiban UPTD PPA untuk menginformasikan penggunaan maupun penggelolaan anggaran kepada mastarakat, tidak adanya informasi mengenai penggunaan maupun pengelolaan sumberdaya finasial ini menyebabkan ketidak tahuan masyarakat akan pemanfaatan dana APBD. Berdasar temuan di lapangan tidak sejalan dengan pendapat Kristianten yang menjelaskan bahwa trasparasi adalah keterbukan pemerintah dalam memberikan informasi yang tekait sengan pengelolaan sumberdaya publik kepada pihak yang membutuhkan, dalam hal ini pihak yang pihak membutuhkan adalah masyarakat. [21].

Sejalan degan hal tersebut trasparasi UPTD PPA kepada DP3AKB dilakukan secara langsung, dimana dalam transparasi menegnai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya, DP3AKB diberikan akses secara langsung dimana segala jenis informasi mengenai pemanfaatan dan peneglolaan sumberdaya kepala UPTD PPA memebrikan langsung kepada DP3AKB, dimana hal tersebut juga merupakan bentuk pertanggung jawaban UPTD PPA kepada DP3AKB, hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Wabadmin yang mana trasparasi merupakan pengungkapan data da informasi yang dilakukan berdasar kesepakatan asosiasi atau konsorisum yang membawahi organisasi, yang mana dalam hal ini DP3AKB membawahi UPTD PPA. Berikut merupakan tabel ringkasan transparasi.

Indikator Sub Indikator Keterangan
Kejelasan Informasi Informasi Tentang Pemanfaatan Sumber Daya Manusia Ada
Informasi Tentang Penggunaan Maupun Pengelolaan Sumber Daya Manusia Ada
Informasi Tentang Pemanfaatan APBD Tidak Ada
Informasi Tentang Penggunaan Maupun Pengelolaan APBD Tidak Ada
Kemudahan Akses Informasi Informasi Secara Online Ada
Informasi Secara Ofline Tidak Ada
Table 3.Transparasi

C. Partisipasi Masyarakat

Selain akuntabilitas dan transparasi, indikator yang tidak kalah penting dalam penerapan good governance adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kinerja pemerintah dapat dilihat dari keikutsertaan masyarakat pada setiap kegiatan pemerintah, dalam hal ini mencakup keterlibatan masyarakat pada perencanaan dan pengambilan keputusan, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan, terakhir partisipasi masyarakat dalam evaluasi.

Kinerja pemerintah selalu identik dengan target atau sasaran yang hendak dicapai, baik itu target jangka pendek maupun jangka panjang, untuk mewujudkannya diperlukan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang akan dilakukan, perencanaan kegiatan yang baik seyognyanya tek lepas dari adanya partisipasi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dapat berpatisipasi dalam perncanaan kegiatan atau agenda tahunan. Akan tetapi berdasar hasil temuan, masyarakat tidak mengetahui atau tidak paham tentang pembuatan agenda tahunan mengenai sosialisasi, hal tersebut dikarenakan masyarakat tidak pernah membuat surat permohonan ke dinas, fenomena tersebut betolak belakang dengan teori yang dikemukakan oleh Mardiasmo [8] dimana salah satu indikator dari partisipasi masyarakat adalah adanya pemahaman penyelenggara mengenai proses atau metode parisipasi serta adanya kemampuan atau pemahaman masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa parisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan/agenda tahunan UPTD PPA, partisipasi masyarakat belum berjalan dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sudah berjalan dengan baik,hal tersebut dikarenakan masyarakat menerima manfaat atas kegiatan sosialisasi dan menerima manfaat atas penggunaan sumberdaya, berupa gedung yang memadai serta fasilitas yang nyaman. Fenomena tersebut sejalan dengan teori Cohen dan Uphoff (1997) dalam Wati (2014) yang menyatakan bahwa bentuk ketrelibatan masyarakat adalah turut serta dalam menikmati dan memanfaatkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang sudah teraksana.

Adapun partisipasi masyarakat dalam evaluasi kinerja UPTD PPA berupa keikut sertaan masyarakat dalam menilai kinerja karyawan, dimana setiap masyarakat (korban kekrasan) setelah kasus yang dialami selesai ditangai, masyarakat (korban) diberikan kuisioner atau survey kepuasan masyarakat, dimana kuisioner tersebut berisi tentang kinerja karyawan/pegawai, masyarakat bisa memberikan penilaian mulai dari kecakapan sampai dengan kemampuan karyawan/pegawai dalam memberikan pelayanan. Fenomena tersebut sesuai dengan pernytaan dari yang menyatakan bahwa partisipasi merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam penilaian kinerja, penilaian yang dimaksud merupakan penilaian dalam hal evaluasi, akan tertapi dalam hal evaluasi mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya tersebutpartisipasi masyarakat belum berjalan dengan baik, hal tersebut dikarenakan tidak ada akses masyarakat dalam evaluasi penggunaan sumber daya.. Berikut merupakan tabel ringkasan akuntabilitas.

Indikator Sub Indikator Keterangan
Perencanaan Maupun Pengambilan Keputusan Perencanaan Maupun Pengambilan Keputusan Tentang Agenda Tahunan Tidak Ada
Perencanaan Maupun Pengambilan Keputusan Tentang Alokasi Dana APBD Tidak Ada
Partisipasi Masyarakat Penerimaan Maanfaat Atas Penggunaan Apbd Ada
Penerimaan Maanfaat Atas Kegiatan Agenda Yang Telah Di Susun Ada
Evaluasi Kuisioner Survey Kepuasan Masyarakat Ada
Table 4.Partisipasi

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja UPTD PPA dalam Penanganan Kekerasan Perempuan dan Anak

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tesebut dapat berupa tujuan organisai, struktur organisai, serta sumberdaya yang dimiliki organisasi. sedangakan faktor eksternal berupa regulasi atau kebijakan, konsisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat [14]. Berdasar hasil temuan faktor pendukung kinerja UPTD PPA dalam penanganan kekerasan perempuan diantaranya adanya regulasi yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan penanganan kekerasan perempuan, regulasi tesebut berupa peraturan darrah sidoarjo, dan peraturan bupati sidoarjo yang mana regulasi tesebut berisi tentang penyelengaraan perlindungan perempuan dan anak, faktor pendukung selanjutnya adalah adanya dukungan anggaran dari pemerintah, yang mana anggaran tersebut berasal dari anggaran pendapatan belanja darrah (APBD) Kabupaten sidoarjo, yang mana anggaran dari APBD tesebut diberikan kepada UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo setiap tahunnya, dengan adanya APBD yang diberikan setiap tahunnya maka dapat menjamin UPTD PPA tidak kekurangan akan anggaran, selain itu adanya dukungan dari berbagi instansi seperti rumah sakit, kepoisian, kejaksaan sehinggah dapat mempermudah kinerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo dalam menangani kasus kekerasan yang ada di kabupaten sidoarjo.

Sejalan dengan hal tesebut faktor penghambat kinerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo dalam penanganan kasus kekerasan adalah, masih adanya selisih pemahaman antara pendamping hukum dan pihak kepolisian (PPA Porles) mengenai cara penanganan kasus yang harus dilakukan, faktor lain adalah budaya masyarakat yang kurang sabar, dalam hal ini masyarakat (koraban) sering kali mendesak pegawai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) untuk menyelesaukan kausnya secara cepat, padahal setiap penangana kasus penanganannya berbeda-beda, baik itu dari segi waktu maupun prosesnya, selain itu masih ada masyarakat yang kurang terbuka, atau masuh ada masyarakat yang berbohong kepada pemerntah dalam hal ini UPTD PPA dalam menceritakan kasusnya, sehinggah mengghambat kinerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan tentang kinerja pemerintah dalam penanganan kekerasan perempuan untuk mewujudkan good governance (Studi Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sidoarjo) serta menyandingkannya dengan kenyataan dilapangan, sehingga bisa didapatkan kesimpulan sebagai berikut 1) Akuntabilitas, kinerja UPTD PPA sudah baik hal ini dapat di lihat dari pertanggungjawaban kepada masyarakat dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan mulai dari sosialisai, penyediaan informasi, dan melakukan penanganan kasus kekerasan, karena pada dasarnya visi UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo adalah mengupayaka pembangunan yang berkeadilan dalam rangka penegakan hak asasi manusia serta adanya laporan pertanggung jawaban, kepada dinas dan kepada kementrian perlindungan perempuan dan anak berupa laporan three bulanan dan laporan yang termuat dalam aplikasi sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (SIMFONI PPA). 2) Transparasi trasnparasi dari kinerja UPTD PPA masih belum berjaan dengan optimal atau berada pada level rendah, hal tersebut dikarenakan dalam transparsi kepada masyarakat, masyarakat masih sulit untuk mendapatkan akses informasi, dikarenakan menginfirmasikan visi mis dan tujuan UPTD PPA belum menggunakan teknologi sebagai media untuk menginformasikan kinerja maupun kegiatan UPTD PPA. 3) partisipasi masyarakat dalam hal ini kinerja uptd ppa dalam partisipasi masyarakat juga blm berjalan dengan optimal, hal tersebut dikarenakan tidak adanya forum masyarakat untuk menampung parisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran, perencanaan kegiatan, serta tidak adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan evalusi atas penggunaan sumberdaya.

Faktor pendukung kinerja unit pelaksana teknis daerah perlindungan peermpuan dan anak (UPTD PPA) dalam menangani kasus adalah, adanya regulasi,adanya dukungan dari pemerintah berupa anggaran,adanya dukungan dari berbagi instansi seperti kepolisian dan rumah sakit, dan dinas sosial adapun Faktor pengambat kinerja UPTD PPA dalam menangani kasus kekerasan adalah masih sering teradi selish paham antar pendamping hukum dan pihak kepolisian (PPA) Porles) dalam menyelesaikan permasalahan, kurang terbukannya masyarakat dalam menyampaikan permasalahan kepada UPTD PPA.

Berdasarkan gambaran permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disusun saran dan rekomendasi sebagai berikut, 1)Perlu adanya pemanfaatan dan penggunaan media tekonogi dalam memberikan informasi kepada masyarakat, seperti pembuatan webside UPTD PPA seharusnya terbuka dalam menginformasikan segala jenis kegiatan termasuk penggunaan maupun pemanfaatan anggran (APBD). 2) Meningkatkan kegiatan sosialisasi, sehinggah dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada UPTD PPA, 3) Perlu adanya penginformasian kepada masyarakat mengenai penggunaan anggaran, agar masyarakat dapat turut serta mengontrol peggunaan anggaran pendapatan belanja darah (APBD) dengan penginformasian bisa dilakukan cara melalui sepanduk yang dipasang di depan UPTD PPA atau melalui media elektonik. 4) Pada saat kegiatan sosialisai, selain memberikan informasi menegnai kekerasan perlu adanya penginformasian mengenai hak dan kewajiaban masyarakat dalam meberikan sumbagsih ide menenai kegiatan tahunan UPTD PPA,sehinggah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.

References

  1. Indonesia. "Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Hak Asasi Manusia." Sekertariat Negara, Jakarta.
  2. Komisi Nasional Perempuan, "Tahun 2019 tentang Korban bersuara, data berbicara sahkan RUU penghapusan kekerasan seksual sebagai wujud komitmen negara," Catatan Tahunan Kekerasan Perempuan. [Online]. Available: [https://www.komnasperempuan.go.id/file/catatan%20tahunan%20kekerasan%20terhadap%20perempuan%202019.pdf]. Accessed: 6 Oktober 2019.
  3. Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan, "Tahun 2019 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Persoalan Privat Yang Jadi Persoalan Publik Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia." [Online]. Available: [http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html]. Accessed: 6 Oktober 2019.
  4. Mashun, "Pengukuran kinerja sektor publik." Bpfe Yogyakarta, 2006.
  5. Wati, "Perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Sidoarjo pasca berlakunya Undang – undang Nomor 23 Tahun 2004." Senaspro. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2017.
  6. Z. Bidaya and R. Umami, "Implementasi Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PDKRT) Berkaitan Dengan Pranata Lokal Di Desa Sokong Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara," Jurnal Civcvus, vol. 4, no. 2, 2016.
  7. H.Y. Lestiawan and Jatmiko, "Key Success Factor Government Governance Serta Pengaruhnya Terhadap Kinerja Pemerintah (Survey pada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul)," 2016.
  8. D. Afrizal, "Analisis Kinerja Birokrasi Publik Pada Dinas Sosial Kota Dumai," vol. 5, no. 1, 2018.
  9. I. A. Arina Mahadewi dan Asri Dwija Putri, "Pengaruh Penerapan Prinsip – Prinsip Good Governance Terhadap Kinerja Pada Rumah Sakit Di Kota Denpasar," 2019.
  10. A. Aziz, "Persepsi Masyarakat Kecamatan Samka Terhadap Pelaksanaan Prinsip – Prinsip Good Governance Pemerintah Kecamatan Samka Kabupaten Tanggamus." Skripsi. Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung, 2019.
  11. P.D. Sugiyono, "Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D." Bandung: Alfabeta, 2007.
  12. P.D. Sugiyono, "Metode penelitian Kulitatif Kualitatif dan R&D." Bandung: Cv Alfabeta, 2010.
  13. Sedarmayanti, "Sumber daya manusia dan produktivitas kerja." Bandung: Mandar Maju, 2007.
  14. S. Tangkilisan, "Manajemen publik." Jakarta: Pt.Grafindo Persada, 2007.
  15. Lupiyoadi and Rambat, "Manajemen Pemasaran Jasa." Jakarta: Salemba Empat, 2013.
  16. L. J. Moleong, "Metode Penelitian Kualitatif." Bandung: Remaja Rosdakary, 2015.
  17. Bagian Humas dan Protokol, "Pengertian, Prinsip dan Peneraan Good Governance di Indonesia." Kabupaten Bulelang. [Online]. Available: [https://buleleangkab.go.id]. Accessed: 24 Oktober 2019.
  18. Indonesia. "Peraturan dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa." Sekertariat Negara, Jakarta.
  19. D. Afrizal, "Analisis Kinerja Birokrasi Publik pada Dinas Sosial Kota Dumai." Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, vol. 13, no. 1, 2018, pp. 53-62.
  20. Musanif, "Penerapan Pronsip – Prinsip Good Governance dalam Praktik Otonomi Desa Studi Kasus Di Desa Wanareha Kecamatan Rimbo Ulu Kabupaten Tebo." Skripsi. Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018.
  21. Kristianten, "Transparansi Anggaran Pemerintah." Jakarta: Rineka Cipta, 2006