Public Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v25i1.1353

Collaboration as a Village Self-Reliance Ecosystem


Kolaborasi sebagai Ekosistem Kemandirian Desa

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Collaborative Governance Village Self-Reliance Ketapang Village Indonesia Economic and Social Resilience

Abstract

This study aims to analyze the process of collaboration between the village government, community, and interest groups in achieving village self-reliance programs in Ketapang Village, Indonesia. Using descriptive analysis qualitative research, the study employed purposive sampling to select the village head and village secretary as informants. Data collection techniques included observation and interviews, and data analysis followed Miles and Hubermen's theory of data collection, reduction, presentation, and conclusion. The study used Collaborative Governance theory from Ansell and Gash to measure the questions in the indicators. The results showed that the collaboration between actors was successful, resulting in the construction of the Kalifor tourism village icon as a UMKM development area. The program had a positive impact on economic and social resilience in Ketapang Village. The study highlights the importance of collaborative governance in achieving village self-reliance programs and provides insights for policymakers and practitioners in Indonesia and beyond

Highlight :

  • Collaborative Governance: The study used Collaborative Governance theory from Ansell and Gash to measure the success of the collaboration between actors in Ketapang Village.
  • Village Self-Reliance: The study aimed to analyze the process of collaboration between the village government, community, and interest groups in achieving village self-reliance programs in Ketapang Village.
  • Economic and Social Resilience: The program had a positive impact on economic and social resilience in Ketapang Village, highlighting the importance of collaborative governance in achieving village self-reliance programs.

Keywords: Collaborative Governance, Village Self-Reliance, Ketapang Village, Indonesia, Economic and Social Resilience

Pendahuluan

Salah satu pengaturan desa dari salah satu asas yang tertera dalam pasal 3 undang undang nomor 6 Tahun 2014 yang meliputi tentang desa adalah asas kemandirian. Kemandirian desa yang meliputi Pertama, Kemandirian masyarakat desa (Local governing community).Kedua,Kemandirian pemerintah desa (Local Self Government). Melihat adanya keterbatasan sumber daya manusia di desa, maka untuk membangun kemandirian desa perlu dilakukan Kolaborasi. Merujuk pada pasal 3 undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 dalam upaya mewujudkan kemandirian desa merupakan langkah utama dalam mendukung perubahan pemerintah desa untuk membangun kemandirian desa. Karena itu pemerintah desa untuk melaksanakan kewenangan dari undang undang dilakukan perencanaan desa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat desa dengan melakukan kolaborasi antar aktor maupun masyarakat[1].

Desa mandiri mempunyai beberapa definisi salah satunya adalah desa mandiri merupakan desa yang mencerminkan kemauan masyarakat yang kuat untuk maju,dengan menghasilkan sesuatu yang membanggakan serta kebutuhan kebutuhan desa yang terpenuhi. Dalam istilah lain kemandirian desa bertopang pada istilah trisakti desa yakni karsa,karya,sembada. Jika trisakti desa dapat tercapai maka desa itu dikatakan sebagai desa mandiri, ketiga aspek tersebut mencakup beberapa bidang diantaranya yaitu bidang ekonomi,bidang sosial,dan budaya. Hal tersebut berpatokan pada tiga daya yaitu kegiatan ekonomi antar desa berkembang, semakin tingginya partisipatif masyarakat desa, serta terwujudnya masyarakat desa yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap pembangunan dan pemberdayaan desa[2]. Dapat dikategorikan suatu desa itu mandiri apabila ada sinergi, kolaborasi dan kerja sama program antar sektor, pemerintah, dan masyarakat [3].

Adapun Desa mandiri merupakan desa yang mampu mengelola potensi yang ada di desa dengan mengelola sumber daya alam maupun sumber daya manusia nya yang menjadi suatu hal yang bernilai guna dan kembali kepada masyarakat. Dengan hal ini masyarakat yang mampu mengelola sumber daya alam yang akan menjadi ciri khas desa tersebut dengan menghasilkan bentuk upah yang layak. Dalam upaya peningkatan ekonomi desa dapat dibangun dari hal yang paling umum yakni membangun banyak umkm yang berasal dari desa tersebut maupun pemerintah desa dapat memfasilitasi melalui pengembangan umkm. Umkm juga merupakan badan usaha produktif dan berkelanjutan yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa sekitar. Desa yang baik adalah desa yang dapat merencanakan kegiatan apa yang seharusnya dilakukan[4].

Pada dasarnya pembangunan desa yang dilakukan oleh pemerintah desa bersama sama masyarakat utamanya dalam memberikan bimbingan, arahan serta pengawasan agar bisa ditingkatkanya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi atau taraf hidup masyarakat desa. Kemandirian desa tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur desa maupun sumber daya manusianya. Adapun tujuan pembangunan desa yaitu Pertama, Guna untuk meningkatkan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua,Meningkatkan kualitas pembangunan di wilayah desa. Ketiga,Meningkatkan ekonomi wilayah desa guna untuk kesejahteraan warga atau masyarakat desa. Keempat, mengembangkan prasarana wilayah khususnya pada daerah perbatasan dan terpencil. Kelima,pengelolaan serta pemanfaatan ruang, guna untuk menciptkan lingkungan kehidupan yang efisien, efektif dan berkelanjutan. Keenam, Meningkatkan kapasitas pemukiman yang terjaga, nyaman, dan sehat. Ketujuh, pembangunan pedesaan [5]

Dalam mewujudkan desa mandiri menjadi salah satu tantangan terbesar dalam skala pembangunan nasional oleh pemerintah desa. Pada dasar nya, desa yang menjadi tombak utama dan bagian terpenting dari pembangunan nasional seringkali di nilai kurang mampu berkembang dan masih bergantung pada negara. Adapun pembangunan desa yang seringkali tidak berjalan optimal dikarenakan beberapa hal terkait permasalahan di desa yang paling umum adalah kemampuan sumber daya manusia yang tergolong masih terbatas, karena minimnya kualitas pendidikan sebagian masyarakat, kemudian beberapa lembaga desa atau organisasi yang terbentuk masih belum kompeten, adapun juga masyarakat desa yang kurang partisipatif terhadap kegiatan desa dari aspek sosial serta tidak adanya sistem regulasi desa dan program yang dapat mendorong kemandirian desa. Pembangunan desa yang belum optimal semestinya segera ditangani oleh pihak yang berwewenang, dengan adanya berbagai kekayaan dan potensi desa yang dapat dikembangkan untuk menunjang kemandirian desa [6].

Aktor kolaborasi yang paling berperan penting untuk mewujudkan kemandirian desa adalah pemerintah desa, dimana mereka bertanggung jawab atas kemajuan pembangunan, infrastruktur, ekonomi, bahkan pendidikan di desa terhadap pemerintah daerah, pusat sampai pada nasional. Karena dengan adanya program pemerintah, pertumbuhan ekonomi, pembangunan, maupun pendidikan pemerintah dapat dinilai baik atau buruknya pada pembangunan disuatu daerah tertentu. Hal ini mencerminkan tanggung jawab pemerintah desa dalam menjalankan program tersebut untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan desa, hal ini menunjukkan peran pemerintah desa dalam melayani masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang maju, damai dan sejahtera. Program desa yang maju dan mandiri adalah desa yang mampu dan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemandirian desa, seperti dengan berkembangnya keterampilan sosial, mampu membangun partisipasi antara masyarakat dan pemerintah[7].

Terwujudnya kemandirian desa tidak terlepas dari kolaborasi dari beberapa pihak yang menjadi kunci dalam mewujudkan kemandirian desa. Kolaborasi merupakan suatu bentuk kerja sama dengan melakukan sebuah interaksi, bekerja sama dengan beberapa aktor baik individu, lembaga, serta pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung (Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2014). Dalam mensukseskan kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat guna menjembatani kegiatan perekonomian desa, UU No. 6 Tahun 2014 memberikan kesempatan bagi pemerintah desa untuk membentuk kelembagaan yang bisa dimanfaatkan guna mengembangkan aspek perekonomian seperti badan usaha milik desa (bumdes), organisasi bumdes diharapkan menjadi tonggak utama kegiatan perekonomian desa yang dapat membawa manfaat yang besar dalam membangun kemandirian desa [8]

Hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya merupakan hubungan timbal balik yang disebut ekologi. Pemerintah desa dianalogikan sebagai makhluk hidup yang dimana seluruh kegiatan kenegaraan dengan menjalankan kekuasaan yang berlangsung dalam suatu organisasi publik. Sedangkan lingkungan desa dianalogikan sebagai alam yang berwujud fisik dan dari segi sosial yaitu masyarakat desa. Tinjauan ekologis terhadap administrasi yakni menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap birokrasi desa dan sebaliknya. Ekologi administrasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem proses yang mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah masalah publik dengan melalui perbaikan, organisasi yang dibangun, sumber daya manusia dan sumber daya alam serta keuangan. Definisi lain dari ekologi administrasi adalah ilmu yang mempelajari proses saling berkaitan dan mempengaruhi sebagai timbal balik antara pemerintah dengan sektor lembaga tertinggi, Negara antar pemerintah dan masyarakatnya. Dari penjabaran tersebut Jadi aktorator yang andil dalam kemajuan pemerintah desa itu sendiri adalah pemerintah desa dan masyarakatnya [9].

Keterlibatan stakeholder dalam pembangunan desa mandiri terjalin melalui kolaborasi. Kolaborasi menurut salman (2012) merupakan sebuah metode untuk mencipatakn sebuah kegiatan dimana beberapa pihak yang saling bekerja sama dan berkontribusi dalam tahap untuk mencapai tujuan bersama, dengan beberapa unsur unsur nya yaitu resources, organization, dan norms. Adapun resources (sumber daya) yang meliputi dari adanya pendataan jumlah, jenis, kondisi sumber daya alam, finansial manusia maupun sumber daya fisik yang dimiliki oleh desa. Kemudian organization (organisasi) merupakan aktorator yang menjalankan peran dengan cara menyatukan dan memadukan dari berbagai sumber daya yang dalam hal ini adalah pemerintah desa yang menjadi aktorator utama dalam mewujudkan kemandirian desa, kemudian norms (norma), adapun dalam hal ini merupakan nilai nilai atau prinsip yang diimplementasikan dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi karakter dari masyarakat desa [10].

Kemajuan desa tidak lepas dari peran pemerintah desa. Mayu (2016) memberikan gagasan bahwa tata kelola pemerintah, kepemimpinan dan manajerial desa diperlukan dalam perkembangan dan berkelanjutan pembangunan desa yaitu dengan melalui penyaluran gagasan, ide dan manfaat pembangunan terhadap masyarakat. Dipertegas oleh sofyani (2018) dimana pemerintah desa memang menjadi pemilik peran dalam melakukan kontribusi dengan pemangku kepentingan lainya serta melakukan pendekatan secara persuasif dengan tujuan untuk merubah pola pikir masyarakat agar lebih mandiri. Dengan mengedepankan kolaborasi merupakan bentuk tata kelola desa yang bersifat horizontal dan bekerja sama dengan beberapa sektor dalam rangka mencapai tujuan pembangunan disebut dengan collaborative governance. Peran pemerintah desa dapat diketahui dengan memahami bagaimana implementasi kekuasaan serta pengaruh para aktor yang berperan dalam pembangunan desa [8].

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem yang dimaksudkan disini adalah terjalinya hubungan dari beberapa aktor desa yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama sehingga membentuk suatu ekosistem dalam mewujudkan kemandirian desa. Dalam hal ini ekosistem yang terbentuk meliputi Local knowladge, yaitu masyarakat desa yang diketahui faham dan memiliki potensi dan pengetahuan lebih akan tujuan pembangunan desa. Local actor yang merupakan masyarakat desa yang tinggal dan menetap di desa teresebut.Local government yang merupakan aktor terpenting dalam kemajuan desa yang terdiri dari pemerintah desa, lembaga desa ataupun aparatur pemerintah desa. Bentang alam yakni sumber daya alam yang dimiliki oleh desa dan dilihat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini ekosistem yang sudah terbentuk dan yang sudah disatukan dengan pemeran utama nya adalah pemerintah desa dalam membangun kolaborasi agar kemandirian desa dapat terwujudkan [11].

Di dalam Indeks Desa Membangun (IDM) merupakan hal yang dibentuk berdasarkan tiga indeks yaitu indeks ketahanan sosial, indeks ketahanan ekonomi, dan indeks ketahanan lingkungan/ekologi. Fakta yang menunjukkan bahwa pada tahun 2015 jumlah desa mandiri hanya 3.608 dari 73.09 desa. Indikator yang dibangun dalam indeks desa membangun dikembangkan berdasarkan konsep bahwa untuk desa mandiri perlu adanya kerangka kerja pembangunan dimana aspek ekonomi, sosial dan ekologi menjadi kekuatan yang saling menjaga dan mengisi potensi desa untuk mensejahterakan masyarakatnya. Dengan melihat hitungan sejarah menunjukkan bahwa kemandirian desa akan terwujud dengan melibatkan aktor lain untuk melakukan kolaborasi, karena agar tujuan pembangunan tercapai maka antara satu dengan yang lain harus saling terkait. Fakta dan data tersebut mengalami regulasi yang signifikan pada tahun 2022, yakni pada tahun 2022 dari 73.954 desa di Indonesia sebanyak 20.245 yg tergolong desa maju dan desa mandiri berjumlah 4.364 yg masuk kategori desa mandiri, serta masih ada desa yang masuk dalam kategori desa tertinggal yakni berjumlah 9.221 desa dan desa yang masuk dalam kategori berkembang berjumlah 4.365 desa. (Sumber:Laporan Indeks Desa Membangun (IDM),(Kemendes PDTT) Tahun 2022)[12].

Berikut paparan jumlah desa mandiri terbanyak menurut indeks desa membangun sesuai SK Mentri PDTT RI No.80 Tahun 2022 tentang status kemajuan dan kemandirian desa tahun 2022;

No Provinsi Jumlah Prosentase
1 Jawa Timur 1490 23,88%
2 Jawa Barat 1130 18,11%
3 Kalimantan Barat 586 9,39%
4 Jawa Tengah 406 6,50%
5 Bali 386 6,18%
Table 1.Jumlah Desa Mandiri terbanyak tingkat provinsi se-Indonesia

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwasanya jumlah desa mandiri yang paling banyak ada di provinsi jawa timur dengan jumlah 1.490 desa yang termasuk kategori desa mandiri yang berdasarkan indeks desa membangun. Berdasarkan SK Mentri PDTT RI Nomor 80 Tahun 2022 yakni tentang labelitas kemajuan dan kemandirian desa tahun 2022. Dalam hal ini tercatat pada provinsi jawa timur yang menduduki jumlah desa mandiri terbanyak ada sebanyak 1.490 desa (23,88%) dengan status mandiri, kemudian 3.960 desa maju serta 2.326 desa yang masih berstatus desa berkembang. Adapun diposisi kedua terlihat pada provinsi Jawa Barat dengan 1.130 desa mandiri (18,11%), kemudian di posisi ketiga yaitu Kalimantan Barat dengan jumlah desa mandiri yakni 586 desa (9,39%). Dengan data tersebut jawa timur menjadi provinsi yang menjadi penyumbang desa mandiri terbanyak dibandingkan dengan provinsi lain, artinya banyak desa mandiri yang berada di provinsi jawa timur.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis di Desa Ketapang menunjukkan bahwa sejauh ini permasalahan dalam proses kolaborasi pemerintah Desa Ketapang dalam membangun kemandirian desa yakni dari beberapa program yang dibangun ada sebagian masyarakat yang tidak mau berpartisipasi karena ada sebagian masyarakat Desa Ketapang yang masih memiliki karakteristik semi perkotaan dan banyak yang melakukan urbanisasi. Ketapang merupakan desa yang dikategorikan desa terdampak karena lokasi desa berdekatan dengan lumpur lapindo sehingga sumber daya alam dan manusia nya masih kurang. Dengan Mengetahui permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengatahui bagaimana proses dalam membangun kolaborasi kemandirian desa dengan kondisi Desa Ketapang yang dikategorikan desa terdampak namun berupaya untuk membangun menjadi desa yg mandiri.

Berikut merupakan data empiris yang dihasilkan penulis dari hasil wawancara terkait program yang dilakukan oleh aktor yang terlibat dalam proses membangun kemandirian desa sehingga membentuk sebuah ekosistem yang terjalin di Desa Ketapang kcematan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo:

No Aktor Program
1 Pemerintah Desa Membangun Icon desa wisata Califor untuk central pengembangan UMKM
2 Kelompok PKK
3 Pemuda Karang Taruna
Table 2.Beberapa aktor yang terlibat dan program yg menunjang kemandirian desa di Desa Ketapang.

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwasanya program kemandirian desa yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang dengan salah satu program yang menunjang kemandirian desa yakni Membangun Icon Desa Wisata Kalifor untuk kawasan pengembangan Umkm. Dari program tersebut merupakan upaya pemerintah Desa Ketapang dalam membangun kemandirian desa dengan melibatkan beberapa aktor. Desa Ketapang merupakan desa terdampak yang dulunya adalah wilayah yang dominan dengan lahan kosong dan kering. Kemudian pada sektor masyarakat mempunyai inisiatif untuk membangun agar desa mempunyai icon dan akhirnya pemerintah desa memberikan program membangun icon desa dengan nama wisata kalifor dan berdampak pada warga untuk mengembangkan umkm. Adapun untuk kajian teori Penulis menggunakan teori Collaborative Governance oleh Ansell dan Gash, Collaborative Governance adalah sebuah strategi dalam tata kelola pemerintahan yang dibentuk dari beragam sektor pemerintahan maupun non pemerintahan untuk berkumpul dalam forum yang sama untuk membuat tujuan bersama. Penulis menggunakan indikator prosess kolaborasi dari ansell dan Gash yang meliputi Pertama, dialog tatap muka (Face to face) yaitu komunikasi secara langsung dengan tujuan untuk mengurangi persepi aktor yang memandang sisi buruk aktor lain dan mencipatakan rasa hormat antar aktor. Kedua, Membangun kepercayaan (Trust building) yaitu salah satu syarat yang diperlukan dalam membangun kolaborasi yang berhasil adalah dengan membangun kepercayaan antar aktor kolaborasi. Ketiga,Pemahaman Bersama (Shared understanding), diartikan sebagai pemahaman mengenai misi, tujuan, dan visi bersama.Keempat, Komitmen Bersama (Commitment to proses), sikap optimis dan percaya akan tujuan kolaborasi akan membentuk komitmen bersama.Kelima, Hasil sementara (Intermedite Outcome), hasil sementara dari dalam proses kolaborasi yg dilakukan oleh para aktor. [13]

Dari aktivitas kolaborasi serta partisipatif yang menjadi salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh para stakeholder Pemerintah Desa Ketapang untuk membangun kemandirian desa. Hal tersebut menjadi tindakan yang paling utama untuk membangun kemandirian desa dengan membangun kepercayaan (trust) dengan masyarakat untuk mencapai kesepakatan dan tujuan bersama. Untuk itu penulis bisa menghadirkan pemahaman tentang bagaimana proses dan upaya dalam membangun kemandirian desa sehingga membentuk suatu ekosistem yang saling bekerja sama. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat memperoleh referensi baru atas inovasi pembangunan dalam membangun kemandirian desa bagi desa desa lain di Indonesia [14].

Dalam menulis penelitian ini, penulis menggunakan metode terdahulu sebagai pedoman dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang telah digunakan oleh peneliti lainnya untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengkaji penelitian saat ini diantaranya : pertama, peneliti tersebut dilakukan oleh Fatmawati pada tahun 2020, dalam penelitianya yang berjudul “Pembangunan Desa Mandiri Melalui Partisipasi Masyarakat di Kecamatan Pattalasang Kabupaten Gowa”, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu observasi,dokumentasi dan wawancara. Hasil pada penlitian ini penulis menyimpulkan bahwa dalam suatu desa dapat dikatakan desa mandiri dapat dilihat dari sisi partisipasi masyarakatnya, semakin mandiri desa tersebut maka semakin sedikit tugas pemerintah desa. Peneliti juga menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat di dalam proses perencanaan masih belum optimal, kemudian partisipasi masyarakat dalam proses program pembangunan juga serta dalam meningkatkan kegoatan usaha ekonomi masih belum optimal. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama sama membahas mengenai proses membangun desa mandiri yang melibatkan partisipasi masyarakat. Sedangkan perbedaan penelitian sebelumnya lebih membahas terhadap partisipasi masyarakat sedangkan penelitian sekaramg lebih membahas mengenai proses kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah desa dari beberapa sektor yakni masyarakat maupun kelompok kepentingan di desa [5].

Kedua, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurbiah Tahir pada tahun 2018, dalam penelitianya yang berjudul “Kolaborasi aktor pembangunan dalam mewujudkan desa mandiri di desa Bongki Lengkese kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai”. Dari hasil penelitian tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwasanya kolaborasi yang dilakukan oleh beberapa aktor pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah desa, masyarakat dan kelompok kepentingan desa tersebut menunjukkan hasil pada ketahanan sosial yang berupa gotong royong yang masih terjaga dengan baik oleh masyarakat meskipun belum menunjukkan hasil pada ketahanan ekonomi. Tetapi ada beberapa upaya dan hasil yang sudah dilakukan oleh pemerintah yakni seperti Kelompok Usaha Bersama (KUB) berupa KUB Kambing dan pengembangan Kelompok Tani Horti meskipun pada pengembangan kelompok tani belum mencapai hasil yang optimal. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah sama sama membahas tentang bagaimana kolaborasi aktor pembangunan dalam mewujudkan desa mandiri. Sedangkan perbedaan penelitian sebelumnya fokus penelitianya menggunakan 2 indikator sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan 3 indikator [2].

Ketiga, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh A. Fanani, S. Ibrahim pada tahun 2018 dalam penelitianya yang berjudul “Collaborative Governance dalam Kemand irian Desa (Studi pada Implementasi Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa di Kabupaten Sidoarjo”. Kajian yang dapat disimpulkan dari penelitian tersebut adalah di Kabupaten Sidoarjo sudah menunjukkan beberapa kegiatan collaborative governance yang dilakukan oleh beberapa desa, dari hasil kolaborasi yang sudah dilakukan seperti terbentuknya Badan koordinasi antar desa (BKAD), kemudian program kawasan Perdesaan (Prokades), selain itu ada Desa melangkah serta Startup desa. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang yaitu sama sama menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sedangkan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang terletak pada objek, dimana penelitian terdahulu fokus pada Kabupaten Sidoarjo sedangkan penelitian sekarang fokus pada satu desa. [1]

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan memaparkan permasalahan tersebut ke dalam tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana proses membangun kolaborasi antar aktor sebagai ekosistem kemandirian desa dalam program pembangunan icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central penmgembangan umkm.

Metode

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan jenis Penelitian Kualitatif Analisis Deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo. Menurut pandangan (Miles and Hubermen) metode kualitatif adalah data yang berupa kata kata dan bukan rangkaian suatu angka. Adapun untuk Sumber data meliputi sumber data primer dan skunder umber data primer yang bersumber dari informan secara langsung maupun perantara informan sedangkan data skunder dikutip dari studi kasus atau jurnal sebagai data pendukung. Pada penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dan observasi yakni tahap dalam analisis data dilakukan bersamaan dengan proses penelitian. Adapun teknik penentuan informan penulis menggunakan purposive sampling, teknik purposive sampling yakni penulis memastikan pengutipan ilustrasi melalui metode identitas spesial yang linier dengan tujuan, dengan memilih kepala desa yang menjadi informan yang diangap penulis paling memahami permasalahan yang diteliti, kemudian sekertaris desa serta melakukan observasi lapangan secara langsung untuk mengetahui fenomena sebenarnya[16].

Adapaun untuk teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu berpedoaman pada Teori (Miles and Hubermen,2014) yaitu (1)Pengumpulan data, penulis melakukan pengumpulan data di lapangan melalui wawancara dengan teknik penggalian data (2)reduksi data, yaitu meringkas hasil dari pengumpulan data ke dalam kategori, konsep dan indikator yang dituju dengan bersifat interaktif belum bersifat data baku (3) Penyajian data,Penulis menggabungkan data yang tersusun dalam bentuk data padu untuk memudahkan apakah data sudah tepat untuk ditarik kesimpulan atau sebaliknya melakukan analisis kembali (4) Penarikan kesimpulan, yaitu penulis dalam melakukan penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus selama berada di lapangan, dari tahap pengumpulan data, penjelasan penjelasan, dan proporsi data sehingga penulis dapat membuat kesimpulan dari data tersebut, [15] Adapun untuk uji validitas data penulis menggunakan teknik Triangulasi data, yaitu metode untuk mendapatkan data yang absah dengan cara pemeriksaan keabsahan data melalui perbandingan karena besarnya melihat besarnya posisi data[17]. Oleh karenanya keabsahan data yang terkumpul menjadi sangat vital, penulis melakukan penarikan kesimpulan dengan data yang sah, data yang sah akan menghasilkan hasil penelitian yang benar, keabsahan data itu disebut sebagai uji validitas data.

Hasil dan Pembahasan

A. Membangun Kolaborasi sebagai Ekos istem Kemandirian Desa di Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo

Dalam proses membangun kolaborasi dalam pelaksanaanya melalui beberapa fase atau tahap agar dalam pelaksanaan program dapat dijalankan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan yang ingin di capai dalam membangun desa mandiri. Dalam proses kolaborasi yang terjadi dalam program membangun kemandirian desa di Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin antara pemerintah desa, local aktor atau masyarakat.

Penulis menggunakan teori Ansell & Gash dalam mengukur proses kolaborasi yang terdiri dari dialog tatap muka,membangun kepercayaan,komitmen terhadap proses,saling memahami dan hasil sementara dari proses kolaborasi. Karena pada proses kolaborasi yang dijalankan oleh pemerintah Desa Ketapang terletak pada indikator tersebut yang akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Dialog tatap muka (face to face)

Dialog tatap muka adalah komunikasi secara langsung dengan tujuan untuk mengurangi persepi aktor yang memandang sisi buruk aktor lain dan mencipatakan rasa hormat antar aktor. Dialog tatap muka dalam proses membangun kolaborasi yang dilakukan dapat bersifat formal dan non formal. Dialog formal merupakan dialog yang dilakukan dengan cara mengundang aktor kolaborasi yang terilbat melalui rapat yang bersifat resmi, sedangkan untuk dialog non formal yaitu dialog yang lebih bersifat tidak resmi [18]. Wawancara yang sudah dilakukan oleh penulis melalui informan pada penelitian ini yakni kepala Desa Ketapang mengatakan Sebelum kami melakukan progres pembangunan icon desa wisata kalifor, kami melakukan agenda rapat atau musyawarah desa ( musdes ), melihat kondisi sungai yang sebelum nya sungai yang kumuh akan kami rencanakan sebagai kawasan desa wisata kalifor dengan tujuan sebagai central pengembangan umkm untuk masyarakat, aktor yang terlibat dalam proses pembangunan icon desa wisata kalifor ini yaitu kami bekerja sama dengan kelompok ibu pkk dan pemuda pemuda karang taruna, dengan agenda rapat membahas terkait anggaran karena rapat yang kami lakukan bersifat resmi di balai desa ketapang, sedangkan untuk pertemuan yang non resmi kami melakukan rapat bersama dengan para aktor kolaborasi di tempat icon desa wisata yang dalam hal ini membahas terkait ide atau gagasan selanjutnya untuk pengembangan icon desa wisata kalifor, pemanfaatan, serta perawatan yang dilakukan di lokasi icon desa wisata kalifor”.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dialog tatap muka dalam proses membangun kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang dengan para aktor kolaborasi dalam membangun icon desa wisata kalifor untuk kemandirian desa dilakukan dengan 2 cara yaitu dialog tatap muka secara formal dan non formal. Dialog tatap muka secara formal yang dilakukan oleh pemerintah desa dengan aktor kolaborasi yaitu dengan mengadakan musyawarah desa atau musdes dengan agenda membahas terkait anggaran yang akan digunakan untuk membangun icon desa wisata kalifor, dengan mengundang aktor kolaborasi yang terdiri dari kelompok pkk dan pemuda karang taruna dengan tujuan agar saling terbuka dan masing masing aktor dapat mengetahui terkait anggaran yang akan dibutuhkan dan dialokasikan, sedangkan untuk dialog non formal yang dilakukan oleh pemerintah desa ketapang dengan para aktor kolaborasi lebih bersifat pada pertemuan secara tidak resmi yang dilaksanakan di tempat pembangunan icon desa wisata kalifor dengan beberapa agenda pertemuan yakni kelompok pkk memberikan gagasan yakni berperan sebagai penyumbang ide untuk pemanfaatan icon desa wisata kalifor yang tujuanya digunakan untuk kawasan central pengembangan umkm serta perawatan yang dilakukan untuk icon desa wisata kalifor, sedangkan untuk pemuda karang taruna berperan sebagai penyumbang ide terkait konsep yang akan dibangun di icon desa wisata kalifor, kemudian pemerintah desa yang berperan sebagai fasilitator terkait anggaran dan kebutuhan lainya.

Senada dengan teori yang dicetuskan oleh Ansell dan gash dari salah satu indikator dari collaborative governance yaitu dialog tatap muka (face to face) sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya dalam membangun kolaborasi adanya perbedaan sifat antagonisme antar aktor maka diperlukan dialog tatap muka secara terbuka, dengan dilaksanakanya dialog tatap muka maka secara tidak langsung akan membangun rasa kepercayaan antar aktor kolaborasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dikatakan sama pada penelitian menurut Arini Permatasari (2023) yang memaparkan bahwa dialog tatap muka secara terbuka merupakan hal dasar yang menjadi acuan dalam proses kolaborasi dengan dilakukan secara terbuka akan memunculkan informasi dan pandangan yang sama sehingga kekeliruan didalam memberikan dan menafsirkan gagasan atau pendapat dapat dihindari. Hal tersebut serupa dengan penelitian di Desa Ketapang yakni pemerintah Desa Ketapang dalam bentuk kegiatan mengadakan musdes atau musyawarah desa baik bersifat resmi maupun non resmi agar didalam proses berjalanya program masing masing aktor tidak ada yang berbeda persepi terkait anggaran yang akan dialokasikan serta bentuk kegiatan selanjutnya yang akan di laksanakan oleh masing masing aktor kolaborasi.

2. Membangun kepe rcayaan ( Trust Building )

Dalam sebuah kolaborasi hal yang sangat penting adalah Membangun sebuah kepercayaan antar aktor kolaborasi, karena dalam sebuah kolaborasi tidak hanya tentang kerja sama satu dengan yang lain, akan tetapi juga bertumpu pada pembangunan kepercayaan antar aktor kolaborasi. Dalam membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang panjang. Apabila dari salah satu pihak dalam proses membangun kolaborasi tidak berpegang teguh pada komitmen maka kepercayaan tidak akan terbangun karena dalam kolaborasi melibatkan berbagai pihak. [19].Hasil wawancara yang dilakukan penulis melalui informan pada penelitian ini yakni kepala pemerintah Desa Ketapang mengatakan "Kami dan para aktor kolaborasi membangun pemahaman yang sama terkait program pembangunan icon desa wisata kalifor ini tidak lain dengan cara kami sering melakukan musyawarah tertinggi (musdes) baik formal maupun nor formal, kami terbuka terkait anggaran yang akan kami alokasikan yang diambil dari rpjmdes dengan rkpd tahunan, kami memberikan arahan serta pemahaman terkait anggaran dan program yang akan dibangun berupa icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm,kami memberikan arahan bahwasanya kami membutuhkan kerja sama dengan para aktor untuk berpartipasi aktif dalam proses pembangunan,pemanfaatan dan perawatan karena manfaat nya akan kembali kepada masyarakat juga, dengan beberapa proses yang sudah kami jalani dampaknya para aktor kolaborasi yang terlibat saling percaya dan memahami ".

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis melalui wawancara seacara langsung oleh kepala desa dalam hal membangun kepercayaan antar aktor kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah desa sebagai aktor yang berperan penting dalam program membangun icon desa wisata kalifor yakni dengan cara mereka sering melakukan musyawarah tertinggi baik formal maupun non formal. Agenda musyawarah tertinggi yang dilakukan oleh pemerintah desa ketapang dengan para aktor kolaborasi memberikan pemahaman terkait anggaran yang akan dialokasikan untuk pembangunan, mereka memberikan pemahaman secara terbuka dengan diberitahukanya anggaran yang akan dialokasikan yang diambil dari rpjmdes dengan rkpd tahunan, kemudian pemerintah desa juga menjelaskan beberapa hal yang harus dijalankan dalam program pembangunan icon desa wisata kalifor terkait pemanfaatan yang bisa digunakan untuk masyarakat sebagai kawasan central pengembangan umkm, kemudian perawatan wilayah terkait fasilitas, kebersihan dan kebutuhan, serta permohonan dari kepala desa untuk berpartipasi aktif bagi para aktor kolaborasi dalam program membangun icon desa wisata kalifor ini, dalam hal ini berdampak pada terbangunya saling percaya antar aktor kolaborasi.

Senada dengan teori dari ansell dan gash dari salah satu indikator dari teori collaborative governance yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang yaitu hasil dari proses pelaksanaan tatap muka yang sering dilakukan dapat membangun rasa kepercayaan di antara pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat persamaan dengan hasil penelitian terdahulu menurut yang dilakukan oleh penulis terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya menurut Nopriono (2019) yang mana pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa upaya dalam membangun kepercayaan antar aktor kolaborasi dalam proses kolaborasi dengan membangun komunikasi yang baik dan terjaga sehingga dapat terbangunya rasa kepercayaan. Hal tersebut serupa dengan yang ada di Desa Ketapang yaitu cara yang dilakukan untuk membangun kepercayaan antar aktor kolaborasi yaitu dengan cara sering membangun komunikasi yang baik, memberikan arahan dan pemahaman yang mendasar dengan melalui tatap muka (face to face) agar terbangunya kepercayaan antar aktor kolaborasi.

3. Komitmen terhadap proses (Commitment to the process)

Komitmen terhadap proses adalah sebuah proses dalam tahapan membangun sebuah kepercayaan dan berkeyakinan bahwa cara terbaik didalam mendapatkan kebijakan yang akan dibuat dalam mengatasi sebuah persoalan yang dihadapi adalah dengan melakukan diskusi bersama. Di dalam sebuah komitmen membutuhkan suatu tahapan yang jelas, transparan dan adil dari setiap aktor kolaborasi yang terlibat[19]. Hasil wawancara yang dilakukan penulis melalui informan pada penlitian ini yakni kepala pemerintah Desa Ketapang mengatakan "kami melihat komitmen para aktor kolaborasi yang dilakukan selama ini sudah sangat berkomitmen dalam kegiatan membangun icon desa wisata kalifor ini, dengan tujuan menjadikan icon desa wisata di desa ketapang, selain menjadi icon desa juga bisa dijadikan sebagai tempat berkumpulnya kegiatan masyarakat, dengan melihat kelompok pkk dan pemuda karang taruna yang berantusias untuk melakukan pembersihan dan perawatan setelah program ini berjalan, sedangkan kami sebagai kepala desa berkomitmen untuk memberikan anggaran terkait perawatan fasilitas dan perbaikan. Meskipun tidak ada suatu perjanjian yang tertulis kami dengan aktor kolaborasi, tetapi kami dan para aktor kolaborasi sudah membangun dan menanamkan prinsip untuk selalu berkomitmen dan saling percaya”.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis di Desa Ketapang, dalam salah satu indikator teori yakni komitmen terhadap proses di dalam proses membangun komitmen terlihat para aktor kolaborasi dalam kerja sama membangun kemandirian desa dalam program membangun icon desa wisata kalifor yaitu melihat adanya partisipasi aktif yang sudah dilakukan oleh kelompok pkk dan pemuda karang taruna dalam proses pembangunan icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm dan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat, para aktor kolaborasi berantusias untuk melakukan pembersihan dan perawatan setelah program ini berjalan, sedangkan untuk pemerintah desa berkomitmen untuk memberikan anggaran terkait perawatan fasilitas dan perbaikan. Wawancara yang dilakukan oleh penulis mendapati suatu hal yang berbeda yakni dalam kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah desa ketapang dan aktor kolaborasi berjalan dengan tanpa dibuatnya suatu perjanjian yang tertulis, melihat didalam kolaborasi harus dengan adanya suatu perjanjian resmi dan tertulis sebagai bentuk sebuah komitmen antar aktor kolaborasi. akan tetapi dengan pemahaman masing masing aktor kolaborasi yang dilakukan di Desa Ketapang mereka menyadari akan adanya kerjasama dapat mempermudah dalam membangun kemandirian desa yang berupa program pembangunan icon desa wisata kalifor sebagai central pengembangan umkm, dengan manfaat yang juga akan kembali kepada masyarakat desa di Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin.

Dalam penelitian ini juga mengacu pada teori ansell dan gash yang menyatakan bahwa dalam sebuah proses kolaborasi tidak harus diadakanya suatu perjanjian tertulis atau MoU cukup dengan diadakanya suatu forum yang berguna tujuanya untuk membuat keputusan berdasarkan pada kesepakatan bersama hal ini sudah dapat dikatakan dengan proses collaborative governance dalam membangun sebuah kolaborasi. Hasil penelitian penulis pada saat melakukan wawancara sama halnya dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Asropin (2021) yang memaparkan bahwa komitmen terhadap proses membangun kolaborasi dapat berjalan tanpa adanya perjanjian yang tertulis serta mengikat karena dengan prinsip saling percaya dan menyadari akan pentingnya sebuah kerja sama antar aktor kolaborasi dalam membangun program kemandirian desa sudah merupakan suatu bentuk komitmen. Senada dengan penelitian di Desa Ketapang dalam membangun sebuah komitmen pemerintah Desa Ketapang dengan para aktor kolaborasi berupa perjanjian yang tidak tertulis dengan melakukan pendekatan dan pemahaman masing masing aktor dalam program membangun icon desa wisata kalifor ini akan memiliki banyak manfaat sehingga berdampak pada komitmen masing masing aktor kolaborasi dalam program pembangunan icon desa wisata kalifor. .

4. Pemahaman Bersama ( shared understanding )

Pemahaman bersama adalah bentuk proses dalam penyamaan pemahaman yang dibutuhkan dalam suatu pengetahuan ketika menghadapi suatu persoalan Dalam membangun proses kolaborasi harus memiliki pemahaman bersama untuk mencapai tujuan [13]. Hasil wawancara yang dilakukan penulis melalui informan pada penlitian ini yakni kepala pemerintah Desa Ketapang mengatakan “Dalam hal agar kami dan para aktor kolaborasi saling memiliki pemahaman yang sama, dalam musyawarah tertinggi atau musdes kami melakukan pengarahan bahwasanya sungai yang ada dikawasan icon desa wisata kalifor merupakan tidak sepenuhnya milik desa karena masih dalam naungan Bbws (Balai besar wilayah sungai brantas), dalam kegiatan pembersihan tetap akan kami lakukan dengan para aktor kolaborasi agar program pembangunan icon desa wisata kalifor ini tetap berjalan, kemudian arahan terkait revitalisasi sungai yang berada di kawasan icon desa wisata kalifor untuk mengembalikan ekosistem sungai yang sebelumnya sungai kumuh menjadi bersih dan juga memberikan motivasi bagi aktor kolaborasi terkait potensi yang bisa dikembangkan agar para aktor kolaborasi memiliki pemahaman yang sama terkait tujuan dibangunya program icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm".

Berdasarkan hasil penelitian dalam proses pemahaman bersama yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang masing masing aktor kolaborasi sudah memiliki pemahaman yang selaras dalam proses pembangunan icon desa wisata kalifor, dengan pemerintah desa memberikan arahan melalui muyawarah desa atau musdes secara non formal di tempat icon desa wisata kalifor dengan agenda arahan terkait hak milik sebagian wilayah yang berada di kawasan icon desa wisata kalifor yakni sungai yang masih dalam nauangan bbws (balai besar wilayah sungai brantas), agar terbangunya pemahaman yang sama oleh para aktor kolaborasi. Bentuk kegiatan seperti pembersihan wilayah sungai yang tidak sepenuhnya menjadi hak milik desa, pemerintah desa tetap berantusias dan melakukan pemberiaan arahan agar pembersihan dan perawatan di wilayah sungai tetap dilakukan oleh para aktor kolaborasi. Upaya tersebut yang dilakukan oleh pemerintah desa dan para aktor kolaborasi dalam sikap pemahaman bersama tidak terlepas dari dialog tatap muka yang berjalan dengan baik agar tidak terjadinya perbedaan persepsi yang menjadikan kesalahpahaman dalam berkolaborasi, maka dari itu muyawarah tertinggi atau musdes merupakan hal yang tepat dilakukan.

Hal ini yang dimaksud shared understanding oleh Ansell dan gash yaitu kesepakatan tentang pemahaman yang relevan dalam hal mengatasi permasalahan dalam proses membangun kolaborasi untuk memiliki pemahaman bersama dalam hal mencapai tujuan bersama. Penelitian ini sama dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aktivani Inas (2023) yang mengemukakan bahwa dalam membangun kolaborasi hal yang semestinya diperhatikan mengenai pemahaman tentang visi, misi dan permasalahan dapat dilakukan dengan mengadakan musyawarah dusun, dengan visi dari sebuah pemahaman yang sama adalah menyelesaikan sebuah permasalahan antar aktor kolaborasi, sedangkan misi dari sebuah pemahaman yang sama adalah membuat suatu pertemuan untuk menyelesaikan beberapa permasalahan dengan mengadakan pertemuan antar aktor kolaborasi. Sama halnya dengan yang dilakukan pemerintah Desa Ketapang dan aktor kolaborasi yakni tentang permasalahan kewenangan wilayah sungai yang tidak sepenuhnya dimiliki desa dengan memberikan arahan dan pemahaman kepada para aktor kolaborasi agar tidak terjadinya suatu perbedaan dan pemahaman yang berbeda.

5. Ha sil Sementara dari Proses Kolaborasi (intermediate outcomes)

Intermediate outcomes atau hasil sementara dari proses kolaborasi adalah lanjutan maupun hasil proses kolaborasi yang sudah dilakuan dalam bentuk output atau hasil dari sebuah proses kolaborasi. [13] Hasil wawancara yang dilakukan penulis melalui informan pada penlitian ini yakni kepala pemerintah Desa Ketapang mengatakan “Dari program yang kami bangun yakni membangun icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm yang sudah berjalan atas kolaborasi yang kami lakukan dengan beberapa aktor sudah memiliki hasil diantara nya yaitu berupa nilai tambah bagi umkm desa ketapang, menjadikan sungai yang kumuh menjadi bersih, sebagai pusat tempat olahraga bagi masyarakat desa ketapang, menjadi icon desa bagi desa ketapang pasca terjadinya lumpur lapindo, serta berupa kegiatan bagi anak anak terkait fasilitas tempat bermain".

Berdasarkan hasil penelitian dalam indikator hasil sementara pada proses membangun kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang dan para aktr kolaborasi sudah menunjukkan beberapa hasil yakni seperti pada program yaitu pada pembangunan icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm yang menjadikan nilai tambah bagi umkm warga desa ketapang sehingga menciptakan peluang untuk menyerap tenaga kerja bagi warga desa ketapang, karena di wilayah icon desa wisata kalifor sebagian banyak pengunjung yang datang untuk melihat dan melakukan pembelian di wilayah umkm, kemudian beberapa masyarakat desa ketapang menjadikan diwilayah icon desa kwisata kalifor sebagai tempat olahraga senam, pasca terjadinya lumpur lapindo desa ketapang merupakan desa terdampak dengan program pembangunan ini, menjadikan icon desa bagi desa ketapang, serta sebagai fasilitas taman bermain bagi anak anak di wilayah icon desa wisata ketapang.

Dalam penelitian ini senada dengan Intermediate teori dari Ansell dan gash, dengan proses ini diartikan sebagai hasil proses dalam membangun keberhasilan kolaborasi atau output yang nyata dari proses kolaborasi. Penelitian ini sama dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Riskasari (2018) yang mengemukakan bahwa kerja sama antar aktor kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, masyarakat dan kelompok kepentingan untuk membangun kemandirian desa akan berdampak pada aspek ketahanan sosial dan ekonomi desa. Sama hal nya dengan penelitian ini yakni hasil dari kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ketapang dan aktor kolaborasi dalam program membangun icon desa wisata kalifor sebagai kawasan central pengembangan umkm bagi masyarakat desa ketapang yang mencermikan pada aspek ketahanan sosial seperti partisipasi aktif masyakat dan aktor kolaborasi yang semakin aktif didalam melakukan tugas nya dan sudah mencapai pada aspek ketahanan ekonomi bagi masyarakata desa ketapang seperti pada pembangun kawasan icon desa wisata kalifor yang digunakan untuk kawasan central pengembangan umkm bagi warga Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin.

Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil pembahasan tentang upaya pemerintah Desa Ketapang dalam membangun kolaborasi sebagai ekosistem kemandirian desa dapat ditarik kesimpulan bahwasanya upaya yang dilakukan pemerintah Desa Ketapang dan aktor yang terlibat dalam proses kolaborasi yang dilakukan dalam membangun icon desa wisata kalifor kawasan central pengembangan umkm,dalam proses kolaborasi yang dilakukan dapat diukur melalui indikator dari teori Ansell dan Gash : 1) Dialog tatap muka yang dilakukan oleh pemerintah desa ketapang dengan aktor kolaborasi dilakukan dengan 2 cara yakni secara formal dan non formal melaui musyawarah tertinggi atau musdes maupun ditempat yang telah disepakati bersama. 2) Dalam hal membangun kepercayaan antar aktor kolaborasi dalam program membangun icon desa wisata kalifor ditemukan dengan perjanjian tak tertulis yang disepakati oleh para aktor kolaborasi sehingga terbangunya saling percaya antar aktor kolaborasi. 3) Komitmen terhadap proses dari setiap aktor kolaborasi dalam membangun kemandirian desa sudah dimiliki masing masing aktor dengan melihat antusias dan partisipasi aktif yang dilakukan dengan bentuk kegiatan pengembangan,perawatan, perbaikan di wilayah icon desa wisata kalifor 4) Dalam hal mencapai pemahaman bersama pemerintah desa memberikan arahan dan pemahaman terkait kewenangan wilayah sungai, memberikan motivasi serta memberikan pemahaman terkait revitalisasi sungai yang berada di wilayah icon desa wisata kalifor 5) Hasil sementara dari proses kolaborasi yang berjalan dari beberapa program yang dibangun oleh pemerintah Desa Ketapang dengan para aktor kolaborasi sudah mendapatkan beberapa hasil seperti digunakan sebagai kawasan central pengembangan umkm berdampak pada nilai tambah bagi masyarakat desa ketapang, disekitar wilayah icon desa wisata kalifor digunakan untuk tempat olahraga senam, menjadi icon bagi desa ketapang serta fasilitas taman bermain. Kolaborasi yang dibangun oleh pemerintah Desa Ketapang dengan beberapa aktor akan membentuk suatu ekosistem yang digunakan untuk mencapai program kemandirian desa berkelanjutan.

References

  1. . A. F. Fanani and S. Ibrahim, “Collaborative Governance dalam Kemandirian Desa (Studi pada Implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di Kabupaten Sidoarjo),” 2018.
  2. . N. Tahir and Riskasari, “Kolaborasi aktor pembangunan dalam mewujudkan desa mandiri di desa Bongki Lengkese kecamatan Sinjai Timur kabupaten Sinjai,” *J. Ilm. Ilmu Adm. Publik J. Pemikir. dan Penelit. Adm. Publik*, vol. 8, pp. 121–126, 2018.
  3. . E. R. Depi Kurniawan, “Sistem Pendukung Keputusan Untuk Menentukan Kelayakan Desa Mandiri Berbasis Posdaya Di Kecamatan Ulu Belu Kabupaten,” *J. Chem. Inf. Model.*, vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699, 2013.
  4. . L. Lisnawati and S. Lestari, “Analisis faktor pembangunan desa dalam pengembangan desa mandiri berkelanjutan pada Desa Bunghu Aceh Besar,” *Publisia J. Ilmu Adm. Publik*, vol. 4, no. 2, 2019.
  5. . L. Hakim, “Pembangunan Desa Mandiri Melalui Partisipasi Masyarakat di Kecamatan Pattalasang Kabupaten Gowa," 2020.
  6. . R. Yanuarsari, I. Asmadi, H. S. Muchtar, and R. Sulastini, “Peran Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka dalam Meningkatkan Kemandirian Desa,” *J. Basicedu*, vol. 5, no. 6, pp. 6307–6317, Dec. 2021.
  7. . N. Syafitri, and A. Sadad, “PUBLIKA : Peran Pemerintah Desa Dalam Mewujudkan Desa Mandiri Di Desa Sungai Pinang Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar,” vol. 8, no. 1, pp. 81–91, 2022.
  8. . F. Enggraini, N. C. Putri, Y. A. Salman, and W. Handayani, “Peran Kelembagaan Pemerintah Desa dalam Memajukan Desa Ponggok-Polanharjo, Klaten,” *Matra Pembaruan*, vol. 4, no. 2, pp. 71–82, 2020.
  9. . E. R. Gumilar, F. Khaerunnisa, F. Lutfiah, H. I. Tammi, and Jaliluddin, “Kolaborasi Peran Masyarakat Dan Pemerintah Desa Dalam Pembangunan Di Desa Sukamanah Kecamatan Cibeberkabupaten Cianjur,” *J. Inov. Penelit.*, vol. 1, no. 12, pp. 2727–2735, 2021.
  10. . M. R. Ciptaningsih, and H. Nurcahyanto, “Kolaborasi Stakeholders Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonoyoso, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang )”.
  11. . D. Wahyuni, “Peran Badan Usaha Milik Desa Panggung Lestari Dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul,” *Kajian*, vol. 24, no. 3, pp. 191–203, 2020.
  12. . K. Reri, “Analisis Dampak Kompetensi Aparat Kampung, Komitmen Organisasi, dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Akuntabilitas Penggunaan Dana Kampung di Kabupaten Waropen," vol. 5, no. 1, pp. 49–67, 2023.
  13. . C. Ansell and A. Gash, “Collaborative governance in theory and practice,” *J. Public Adm. Res. Theory*, vol. 18, no. 4, pp. 543–571, 2008.
  14. . N. M. Hasyim, “Peningkatan Kemandirian Desa Panggungharjo Melalui Komunikasi Pembangunan,” *J. Pemberdaya. Masy. Media Pemikir. dan Dakwah Pembang.*, vol. 3, no. 2, pp. 352–376, 2019.
  15. . A. Rijali, “Analisis Data Kualitatif Ahmad Rijali UIN Antasari Banjarmasin,” vol. 17, no. 33, pp. 81–95, 2018.
  16. . I. Lenaini, “Teknik Pengambilan Sampel Purposive Dan Snowball Sampling,” *J. Kajian, Penelit. Pengemb. Pendidik. Sej.*, vol. 6, no. 1, pp. 33–39, 2021.
  17. . B. S. Bachri, “Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif,” *Teknol. Pendidik.*, vol. 10, pp. 46–62, 2010.
  18. . Nopriono, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Collaborative Governance,” vol. 1, no. 1, pp. 21–36, 2019.
  19. . A. Permatasari, “Collaborative Governance Bumd Desa Margaasih Kabupaten Bandung,” vol. 13, no. 1, pp. 25–33, 2023.