Abstract

This study analyzes the role of posyandu cadres in preventing stunting in Cangkring Village, Malang, Beji District, Pasuruan Regency, using a descriptive qualitative approach. Data were gathered through interviews, observation, and documentation from village heads, posyandu cadres, midwives, and mothers of toddlers. Utilizing Lawrence Green's framework, the findings reveal that stunting prevention is hindered by limited parental knowledge (Predisposing Factors), inadequate health facilities (Enabling Factors), and low community awareness (Reinforcing Factors). The research highlights the need for better education, improved facilities, and stronger community and governmental support to enhance posyandu effectiveness in stunting prevention.

Highlights:

1. Knowledge Gap: Parental knowledge about stunting is insufficient.
2. Infrastructure: Health facilities are inadequate and poorly maintained.
3. Community Support: Low public awareness reduces posyandu effectiveness.

Keywords: Posyandu cadres, stunting prevention, rural health, qualitative research, community health

Pendahuluan

Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi banyak tantangan yang perlu dijawab melalui upaya pembangunan nasional, termasuk di bidang kesehatan. Dalam bidang medis, faktor penting yang perlu diperhatikan adalah nutrisi. Gizi merupakan ukuran keberhasilan negara dalam suatu membangun kesehatan yang berkualitas misalnya sumber daya manusia. Selain itu, Dahlia juga meyakini bahwa salah satu gizi merupakan faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, sehat dan bekerja secara efisien. Jika gizi kurang akan berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang disebut juga malnutrisi. Akhir-akhir ini yang menjadi salah satu perhatian utama adalah masalah gizi buruk yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk anak pendek atau stunting[1].

Menghilangkan malnutrisi apapun wujudnya merupakan tantangan bagi seluruh negara di Dunia. Berbagai permasalahan gizi dapat membawa dampak negatif dalam jangka pendek ataupun panjang. Dampak kesehatan, ekonomi, sosial dan perkembangan dari permasalahan global ini dapat berlangsung dalam waktu lama dan serius, baik bagi individu dan keluarga, komunitas, maupun negara. Permasalahan gizi merupakan penyebab utama penyakit-penyakit yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam jangka panjang kualitas sumber daya manusia yang tercipta akan menurun, tidak mampu bersaing dan bekerja secara efektif sesuai usia, pendapatan kerja akan rendah dan pada tingkat nasional hal ini akan menghambat pertumbuhan dan pembangunan suatu negara. negara dalam berbagai bidang[2].

Pembangunan pada suatu negara dianggap berhasil jika keberadaan sumber daya manusia (SDM) sudah dapat tercukupi dengan baik dan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari status gizi yang baik pada anak-anak, terutama balita, dengan melihat seberapa banyak makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Jika ada masalah gizi yang kurang dan buruk, hal tersebut bisa langsung terlihat dari pola makan mereka dan juga kemungkinan adanya infeksi pada bayi dan balita. Faktor-faktor lain seperti pola asuh, ketersediaan makanan, serta faktor sosial ekonomi, budaya, dan politik juga turut mempengaruhi secara tidak langsung. Jika masalah gizi rendah dan gizi buruk terus berlanjut, maka pembangunan nasional akan mengalami perlambatan.

Masalah nutrisi adalah permasalahan dalam kehidupan yang melewati siklus yang sangat rumit dan penting untuk diatasi[3]. Awal mula hal ini bisa dimulai bayi dari dalam kandungan, menjadi balita, sehingga remaja, bahkan sampai dengan lanjut usia [4]. Tindakan malnutrisi sangat terhubung dengan strategi pemerintah untuk menciptakan individu-individu yang sehat, pintar, dan produktif. Tindakan peningkatan mutu sumber daya manusia dimulai dengan dukungan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui asupan gizi dan perawatan, termasuk lingkungan rumah tangga. Dengan lingkungan rumah tangga yang sehat, maka dapat menghindari infeksi atau penyakit lainnya[5]. Upaya global untuk mengatasi stunting telah menjadi kebijakan dan program prioritas yang termasuk dalam salah satu tujuan gizi global pada tahun 2025 dan indikator kunci yang tercantum dalam tujuan dua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk mencapai Zero Hunger. Pemerintah juga telah berupaya menyusun strategi nasional untuk mempercepat laju penurunan stunting di daerah dengan angka stunting tinggi dengan target stunting kurang dari 20% pada tahun 2024[6]. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, angka kejadian stunting terhambat tetap tinggi dan kemungkinan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang lebih besar di Indonesia.

Terjadinya stunting bisa terjadi pada saat masa kehamilan dikarenakan asupan nutrisi yang tidak mencukupi saat sedang hamil, tidak sesuainya pola makan, dan makanan yang berkualitas rendah sehingga menghambat pertumbuhan. Hubungan antara tingkat pengetahuan, pendidikan, dan sikap dalam memenuhi kebutuhan nutrisi selama kehamilan dengan perbaikan gizi dan kesehatan Ibu hamil. Karena praktik yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan, ini menjadi hambatan dalam meningkatkan gizi karena umumnya banyak orang yang tidak mengetahui tentang nutrisi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan yang sangat penting untuk pertumbuhan masa depan. Pertumbuhan terhambat adalah sebuah masalah malnutrisi jangka panjang yang disebabkan oleh kekurangan pemberian gizi dalam jangka waktu yang cukup lama, ini mengakibatkan gangguan di masa depan yaitu kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Anak dengan pertumbuhan terhambat memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata IQ anak-anak normal (Kemenkes RI, 2018). Pada tahap selanjutnya, anak dengan masalah stunting akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya yang kurang optimal dan berisiko menurunkan produktivitas kerjanya di masa depan[7]. Waktu yang diperhitungkan untuk mencegah stunting adalah waktu hidup anak dalam 1000 hari sejak anak dalam kandungan. Selain memperhatikan masa kritis ini, faktor yang perlu diperhatikan adalah pendidikan dalam keluarga, lingkungan antara lain kebersihan, akses fasilitas kesehatan, dan makanan[8]. Pola makan ibu mungkin merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatnya angka stunting anak. Tanggung jawab utama ibu untuk anak-anak yaitu menyiapkan, memilih dan menyajikan makanan bergizi agar terhindar dari penyakit stunting. Faktor penyebab terjadinya stunting bisa juga dari penyakit infeksi, selain pola makan dari Ibu[9].

Pola asuh sangat penting untuk memastikan optimalnya pertumbuhan anak. Penyebab tidak langsung dari stunting bisa juga dari pola asuh, dan jika tidak dilaksanakan dengan baik, dapat menjadi penyebab langsung (UNICEF Indonesia, 2012). Stunting juga disebabkan oleh pola pengasuhan, seperti pemberian ASI eksklusif dan pola makan. Dewi juga menyatakan bahwa ada korelasi antara tingkat stunting dan pola makan dan pemanfaatan layanan kesehatan. Anak-anak yang menderita stunting juga mengalami gangguan perkembangan mental dan motorik, yang membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit[10]. Balita dengan status gizi kurang maka pertumbuhannya akan mengalami keterlambatan. Masalah gizi yang diderita balita dapat menyebabkan hal serius bagi kesehatan dan masa depannya[11]. Selama ini stunting masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat luas, sehingga ada yang beranggapan bahwa stunting adalah genetik, dan masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa stunting adalah hal biasa[12].

Di Indonesia stunting masih menjadi masalah serius, prevalensi stunting hampir dimiliki sebagian besar provinsi kisaran 30-39% dan termasuk kategori serius dan berat (WHO 2010). Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu yang mempunyai angka prevalensi stunting diatas 20% terdata sebanyak 18.678 anak yang mengalami stunting, apabila di prosentasekan terdapat pada diagram berikut.

Figure 1.Prosentase Angka Prevalensi Kabupaten Pasuruan

Saat ini, pemerintah melalui arahan Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Angka Stunting agar kedepannya dapat mengatasi permasalahan stunting di Indonesia (Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Pendorongan Penurunan Stunting). Tujuannya adalah menurunkan stunting dengan target 14% pada tahun 2024. Hal ini memang tidak mudah dicapai, namun dengan target yang ditetapkan, pemerintah akan tetap mengupayakannya, jika ke depan tidak mencapai 100 persen. target yang ditetapkan oleh Presiden. Masalah stunting jika tidak segera diatasi akan berakibat serius karena dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional dan menjadi beban negara yang sangat besar akibat kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sangat rendah. tidak kompetitif. Tujuan Indonesia untuk memanfaatkan proyeksi pertumbuhan demografi pada tahun 2030 dan mencapai Indonesia unggul pada tahun 2045 tidak akan tercapai jika kita tidak dapat menyelesaikan masalah keterbelakangan.

Salah satu unit pelayanan kesehatan di tingkat desa yang ditugaskan untuk mengawal prevalensi pertumbuhan stunting adalah Posyandu. Melalui Peraturan Bupati Pasuruan Nomor 144 Tahun 2021 Tentang Kedudukan, Susunan organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Unit Organisasi Bersifat Fungsional Pusat Kesehatan Masyarakat. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan gizi merupakan salah satu peran posyandu. Posyandu merupakan program kesehatan dasar yang bertujuan untuk memantau dan meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya pada kelompok usia balita 0-5 tahun dan juga bagi ibu hamil, program ini dapat dilaksanakan di balai desa, balai pertemuan atau tempat lain yang nyaman. Pusat. tempat yang dikunjungi masyarakat. Tugas posyandu adalah mengelola berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kegiatan posyandu di desa; memberikan nasihat, bimbingan, fasilitas, pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan dan kinerja posyandu secara berkelanjutan; Melakukan analisis permasalahan pelaksanaan program berdasarkan alternatif penyelesaian permasalahan berdasarkan potensi dan kebutuhan desa. Posyandu dapat berfungsi secara menyeluruh sebagai pendeteksi awal, penanganan dan konsultasi mengenai stunting, dan menyediakan media penyuluhan[13]. Pendapat dari Aditya dan Purnaweni dengan adanya pemantauan posyandu dapat membantu perkembangan status gizi balita berdasarkan dari pelaporan dan pencatatan yang diambil dari data hasil penimbangan balita setiap bulan di posyandu[14].

Pelayanan Posyandu ini tidak terlepas dari peran serta kader yang menjadi penggerak utama pada kegiatan posyandu. Misi kader posyandu sendiri sangat strategis dan penting. Dampak positif yang dapat diberikan oleh pelayanan posyandu terhadap kesadaran dan partisipasi masyarakat. Kader posyandu juga sebagai penggerak, motivator dan masyarakat. Masalah yang terlihat dalam kader posyandu adalah Kurang maksimalnya pengetahuan kader dalam meningkatkan pelayanan yang optimal. Pengetahuan dan keterampilan kader harus disesuaikan untuk melakukan operasional Posyandu sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kebijakan Posyandu. Perkembangan. Dalam pelaksanaan kader Posyandu, kader harus berperan aktif dalam kegiatan pembinaan dan pencegahan anggota masyarakat. Peran posyandu sangat penting karena posyandu bertanggung jawab atas pelaksanaan program Posyandu. Pelaksanaan posyandu yang tidak aktif maka tidak akan berhasil sehingga status gizi bayi atau balita tidak dapat diperiksa. jelas lebih awal. Pemantauan tumbuh kembang balita secara langsung dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan program Posyandu. Tugas kader di bidang gizi dan kesehatan meliputi pencatatan, penimbangan dan pemasukan data anak di Kartu Menuju Sehat (KMS), gizi tambahan, vitamin A dan penyuluhan gizi. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan didasari sebagai penentuan status gizi. Kesalahan dalam proses ini mempengaruhi interpretasi status gizi dan menyebabkan kesalahan manajemen dan perencanaan program selanjutnya. Oleh karena itu, sangat penting agar para kader Posyandu mampu melakukan pengukuran dengan tepat dan akurat[15].

Bagi kader Posyandu, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas mereka dalam menjalankan tugasnya, baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal tersebut meliputi pengalaman, keadaan keuangan, tingkat pendidikan, usia, status sosial, dan dukungan keluarga, yang mempengaruhi motivasi dan retensi kader, serta faktor eksternal seperti kondisi masyarakat dan kesehatan. Keberhasilan framework dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kebutuhan non finansial seperti motivasi, motivasi dan apresiasi terhadap framework. Kader sendiri bekerja secara gratis dalam artian tidak digaji setiap bulan, namun kader pada umumnya dapat melakukannya dengan jujur. Jika masyarakat aktif datang ke posyandu secara rutin kader sangat terbantu dalam pekerjaannya karena masyarakat dapat menjaga kesehatan dan gizi anaknya.

Keberhasilan penyelenggaraan posyandu memerlukan berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan yang lebih kuat, baik moril, material maupun finansial. Dari selain dukungan, juga diperlukan kerjasama, tekanan dan komitmen dari pimpinan, termasuk kader posyandu. Kegiatan posyandu ini jika terorganisasi dengan baik, maka secara signifikan akan memberikan kontribusi untuk mengurangi kecacatan anak usia dini. Pemerintah juga harus mendorong kader posyandu untuk terus aktif menjalankan tugasnya. Jika memungkinkan, kader posyandu digaji dalam bentuk gaji atau upah. Insentif dapat membuat orang menarik dalam suatu organisasi dan akan lebih merasa dihargai bila mendapatkan dukungan finansial tetapi kader posyandu pada umumnya menerima dengan ikhlas.

No Nama Posyandu RW Jumlah anak yang beresiko stunting
1. Melati 01 3
2. Sakura 02,03 3
3. Tulip 04 3
4. Bougenville 05 2
5. Anggrek 06 4
6. Kamboja 07 2
7. Kenanga 08,09 3
8. Teratai 10 4
9. Mawar 11,12 2
10. Seruni 13 2
Jumlah 28
Table 1.Data balita berisiko stunting di Desa Cangkring Malang

Berdasarkan pemaparan tabel 1 terdapat 28 balita yang berisiko stunting. Memaksimalkan peran Posyandu adalah salah satu untuk menangani stunting. Peran Posyandu secara keseluruhan dapat berperan sebagai deteksi dini, pengobatan dan penyuluhan terkait stunting. Mengoptimalkan peran kader posyandu dalam mencegah stunting dengan cara meningkatan kemandirian kader. Pemerintah desa juga harus menyelenggarakan sosialisasi kader Posyandu agar dapat berkontribusi dalam pencegahan stunting, sehingga masalah ini dapat teratasi dan menjadi solusi. Peneliti mewawancarai Kader Posyandu Desa Cangkring Malang, yang mempunyai data survei yang valid. Menunjukkan bahwa angka stunting dan kurang gizi terus menjadi prioritas utama pemerintah desa dalam hal kesehatan anak dan balita.. Adapun masih ditemukan permasalahan, seperti Pertama, Kurangnya pengetahuan kader posyandu ketika memberikan edukasi tentang pencegahan stunting kepada ibu hamil dan ibu balita. Kedua, Sarana dan Prasarana yang tersedia belum memadai seperti timbangan masih dalam perbaikan, kursi dan meja masih pinjam warga. Ketiga, Kurangnya peran kader posyandu dalam menggerakan masyarakat desa akan hal kebutuhan gizi balita yang merupakan salah satu faktor utama. Peran kader posyandu salah satunya adalah memberikan Anjuran gizi dan kesehatan, namun masih berbagai kendala, dan dari pihak ibu yang belum mengetahui atau memahami bahwa peran tersebut ada dan penting. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peran kader posyandu sangat dibutuhkan untuk kelancaran kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat posyandu, seperti yang diharapkan oleh pemerintah desa cangkring malang untuk mengurangi penyebaran stunting. Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori peran. Peran adalah pemahaman tentang perilaku individu yang dapat dilakukan dalam masyarakat sebagai sebuah organisasi. Peran juga dapat dicirikan sebagai perilaku individu yang penting menurut struktur sosial masyarakat, seperti yang dinyatakan Lawrence Green dalam Notoatmodjo: Predisposing Factor, Faktor yang muncul atau faktor yang dipunyai oleh masing-masing individu yang menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan. Enabling Factor, peluang berupa sarana dan prasarana kesehatan seperti meja, kursi, kursi tunggu masih meminjam dari rumah warga, penyediaan kapasitas melalui bantuan teknis (pelatihan dan pendampingan) seperti tempat pelatihan maupun sosialisasi juga masih meminjam rumah warga, penyediaan kepemimpinan dan sumber daya untuk mencari pendanaan untuk menyediakan sarana dan prasarana. Reinforcing Factor, faktor penguat yang berkaitan dengan perilaku dan sikap tokoh masyarakat dan aparat, sehingga perilaku dan sikap aparat bisa menjadi contoh atau acuan pola hidup sehat masyarakat[16].

Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang peran petugas posyandu dalam pencegahan stunting, diantaranya adalah penelitian lain yang berjudul “Peran petugas posyandu dalam mencegah stunting gizi buruk di Desa Ngijo Kota Semarang”, dimana seharusnya petugas posyandu menjadi pelopor dalam pencegahan stunting. Yang dianggap dekat dengan masyarakat adalah petugas posyandu sehingga diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang stunting. Selain itu, masih terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pencegahan stunting: kurangnya motivasi petugas, kurangnya fasilitas, dan kurangnya dana. Permasalahan tersebut sesuai dengan indikator yang ada, salah satunya adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang belum dapat memenuhi kebutuhan operasional Posyandu. Masyarakat Posyandu wilayah Ngijo menggunakan alat Posyandu seperti timbangan gantung, alat ukur tinggi badan dan timbangan berdiri. Perlengkapan lain seperti meja, kursi, kursi tunggu...masih dipinjam dari apartemen. Untuk sosialisasi dan konsultasi informasi gizi, rumah-rumah masyarakat masih digunakan. Sosialisasi dan penyuluhan untuk meningkatkan kepatuhan gizi memerlukan ruang yang luas dan nyaman agar penyampaian informasi dapat diterima dengan baik. Penelitian lain juga terdapat pada penelitian yang berjudul “Peran Pemerintah Desa Ko'olan Dalam Menghilangkan Stunting Melalui Program Gopo (Gojek Posyandu) Untuk Mewujudkan Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan”. Diketahui, pemerintah Desa Ko'olan menindak kasus stunting dengan mendirikan program GOPO (Gojek Posyandu), yaitu layanan angkutan tangan dan kaki Posyandu bagi ibu hamil, ibu dengan anak menyusui, dan lansia yang tinggal jauh dari lokasi. desa. . Puskesmas berpartisipasi dalam kegiatan Posyandu. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan karena adanya beberapa kendala, seperti kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kegiatan edukasi stunting. Permasalahan yang sesuai dengan indikator penelitian ini adalah ketersediaan sarana dan prasarana, kurangnya sepeda motor sebagai alat transportasi, dan jarak yang agak jauh antara tempat penjemputan anggota posyandu dengan tempat tibanya kegiatan. Hal ini juga ditemukan pada penelitian bertajuk “Peran Posyandu dalam Penanganan Stunting di Desa Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus”. Dalam penelitian ini, peran posyandu dalam pendidikan kesehatan gizi ditemukan lebih bersifat preventif. Karena kualitas sumber daya yang kurang, peran tersebut dinilai belum optimal, tingkat pelatihan staf pengelola yang kurang memadai, kurangnya dokumen konsultasi, serta kurangnya sarana dan prasarana perluasan dan pendistribusian. Informasi ini tidak lengkap atau tidak dapat dipahami sepenuhnya.

Metode

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kader posyandu dalam mencegah stunting di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Sugiyono adalah penelitian yang mempelajari keadaan objek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kuncinya, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan relevansi daripada generalisasi[17]. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini mendeskripsikan secara intensif, peneliti berpartisipasi di lapangan dalam waktu yang lama, mencatat peristiwa yang sedang terjadi, membuat analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan. Sehingga terungkap fenomena yang berkaitan dengan realitas sosial, implementasi dan tujuan penelitian, serta diperoleh informasi rinci tentang peran kader posyandu dalam pencegahan stunting di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan.

Kajian ini fokus untuk menjelaskan bagaimana Kader Posyandu dapat memenuhi perannya dengan mengadaptasi antara realitas dan teori. Penelitian ini didukung dengan teori peran yang mempengaruhi perilaku manusia, seperti dikutip Lawrence Green (1993) dalam buku Notoatmodjo (2014), yang memiliki indikator yaitu 1)Predisposing Faktor (Faktor Pemudah), 2) Enabling Faktor (Faktor Pemungkin) dan 3) Reinforcing Faktor (Faktor Penguat). Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan memilih informan yang dianggap mengerti menegnai topik permasalahan yang sedang diangkat. Dalam penelitian ini sebagai informan dalam penelitian terdiri dari Kepala Desa, Bidan Puskesmas, Kader Posyandu, dan Masyarakat (Ibu Balita dan Ibu Hamil).

Sumber data penelitian merupakan faktor yang sangat penting dipertimbangkan dalam menentukan teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini terdapat dua macam sumber data: 1) Data Primer, yaitu fakta-fakta yang ditemukan melalui kontak langsung dengan sumber aslinya baik secara individu maupun secara kelompok. 2) Data Sekunder yaitu, informasi penelitian yang diperoleh melalui perantara atau secara tidak langsung dengan cara melalui jurnal dan berita di media massa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu melalui observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Model analisis kolaboratif Miles dan Huberman digunakan sebagai teknik analisis data yaitu melakukan analisis secara bersamaan dengan pengumpulan data. Melalui empat langkah proses analisis ini, yaitu: (1) Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan data kualitatif yang didaptkan dan disusun secara sistematis dengan mendeskripsikan sebagaimana tujuan guna memperoleh gambaran secara nyata terhadap Peran Kader Posyandu dalam Pencegahan Stunting. (2) Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemfokusan, pengabstraksian serta transformasi data yang didaptkan dari hasil penelitian di lapangan. (3) Penyajian data adalah kegiatan yang melibatkan persiapan laporan penelitian dengan cara yang memungkinkan mereka untuk dipahami dan dianalisis untuk tujuan yang diinginkan. Informasi yang disajikan harus sederhana dan jelas, sehingga mudah dibaca. Data dapat disajikan dalam dua bentuk penyajian, yaitu tabel dan diagram. (4) Penarikan kesimpulan, kegiatan penyimpulan akan dilakukan dengan hasil data sesuai dengan permasalahan yang ditentukan.

Hasil dan Pembahasan

Peran Kader Posyandu dalam Pencegahan Stunting di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan

Peraturan Presiden Republik Indonesia mengesahkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting di Desa Cangkring Malang menjadi rujukan penanggulangan stunting. Desa Cangkring Malang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Peran kader posyandu sangat penting dalam meningkatkan partisipasi dalam perbaikan gizi ibu dan anak. Pengurus posyandu diminta berkontribusi aktif dalam upaya pencegahan kasus stunting. Petugas posyandu mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan kegiatan posyandu, oleh karena itu petugas Posyandu harus proaktif mendeteksi status gizi balita sejak dini. Hal ini secara langsung dapat mempengaruhi keberhasilan upaya pencegahan stunting[18]. Menurut Desmawati, peran ibu dalam tumbuh kembang anak balita sangat berpengaruh, ibu merupakan orang pertama dan terpenting dalam tumbuh kembang anak. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Cangkring Malang Kabupaten Pasuruan dalam mengoptimalkan peran kader posyandu dalam pencegahan stunting dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

1.Predisposing Factor (Faktor Pemudah)

Faktor yang ada dalam diri dan menampakkan diri dalam bentuk pengetahuan, sikap, pencapaian pendidikan, pekerjaan, dan keadaan ekonomi. Pengetahuan tentang gizi balita merupakan landasan yang membantu orang tua untuk dapat menyiapkan makanan yang dibutuhkan anaknya. Selain pengetahuan, pendidikan ibu merupakan hal mendasar untuk mencapai gizi yang baik pada balita. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan kemampuannya dalam menerima informasi dari sumber luar mengenai gizi dan kesehatan dengan mudah. Ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah menerima informasi dari luar dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor predisposing terjadinya stunting. Dalam wawancara yang dikatakan Kader posyandu menyatakan bahwa:

“Bagi anak yang kedua orang tuanya bekerja jauh dari rumah, salah satu penyebab lambatnya perkembangan anak adalah karena sering kali orang tuanya meninggalkannya untuk bekerja dan ditinggal di rumah atau diasuh orang lain. tidak khawatir. dan perawatan yang tidak tepat menyebabkan status gizi buruk. Selain itu, kantor tidak bisa menyediakan ruang yang cukup bagi karyawannya untuk menyusui atau mengasuh anak, sehingga anak cenderung tertinggal. Keadaan ekonomi rumah tangga diyakini mempunyai dampak signifikan terhadap risiko anak mengalami stunting. Gambaran keadaan perekonomian keluarga dapat dilihat dari pendapat-pendapat yang diperoleh: rendahnya pendapatan berarti rendahnya daya beli sehingga tidak memungkinkan untuk membeli bahan pangan yang diperlukan”.

Dari kutipan hasil wawancara diatas, diketahui pola asuh yang tidak baik dan faktor orang tua yang bekerja sehingga anak dititipkan ke pengasuh menyebabkan terjadinya stunting. Angka stunting yang tinggi di Desa Cangkring Malang dikhawatirkan akan mengancam kualitas sumber daya manusia yang akan datang. Adapun penanganan yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk mengatasi masalah stunting menurut Kepala Desa Cangkring Malang, dalam kegiatan pemantauan pelaksanaan posyandu di Desa Cangkring Malang akan diatasi dengan pengoptimalan peran kader posyandu yang akan mendorong seluruh posko posyandu terutama posko yang memiliki jumlah angka stunting yang tinggi.

No Nama Pendidikan Umur Status Pekerjaan
1 Deni Hariyati SMA 46 Ibu Rumah Tangga
2 Suparmi SMP 44 Ibu Rumah Tangga
3 Anik Suprapti SMA 48 Ibu Rumah Tangga
4 Sumariati SMA 47 Ibu Rumah Tangga
5 Naning SMP 51 Ibu Rumah Tangga
Table 2.Kader Posyandu di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji

Pada tabel 2 menjelaskan terkait peranan kader posyandu karena dalam tugasnya diperlukan sumber daya manusia yang memadai agar kegiatan posyandu berjalan dengan lancar. Kemudian wawancara selanjutnya mengenai kader posyandu dalam memberikan pengetahuan tentang pentingnya posyandu terutama pada pencegahan stunting. Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan fakta bahwa:

“Kader posyandu dalam mendidik ibu yang memiliki anak kecil dan ibu hamil belum optimal, karena dalam kegiatannya tidak ada waktu khusus untuk melaksanakan pendidikan. Setiap ada kegiatan posyandu, ibu balita dibawah 5 tahun atau ibu hamil hanya datang untuk mendaftar, diukur dan ditimbang, menerima PMT kemudian pulang ke rumah, tidak ada kegiatan edukasi pada waktu tertentu. Namun kami menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah ibu-ibu yang memiliki anak kecil dan ibu hamil yang tidak mengikuti kegiatan posyandu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak kecil. Namun, memang tidak semua warga tahu akan pentingnya gizi dan perkembangan anak. Kadang warga tersebut malu datang ke posyandu karena anaknya berat badannya kurang. Padahal kalau ke posyandu akan mendapat vitamin khusus bagi balita yang berat badan dan tinggi badannya kurang. Lalu ada juga yang malas memberi makanan bergizi pada anaknya karena faktor ekonomi.

Menurut hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa selain melakukan kegiatan posyandu, penimbangan, pendataan, pemberian PMT. Selain itu upaya yang sudah dilakukan adalah mengedukasi masyarakat dengan datang kerumahnya agar lebih paham pentingnya pemenuhuan gizi untuk pencegahan stunting. hal ini sesuai dengan teori Lawrance Green pada indikator Predisposing Faktor terkait dengan peran kader posyandu dalam pencegahan stunting di Desa Cangkring Malang telah mempercepat penurunan stunting yang sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Namun Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dikatakan tidak sesuai dengan penelitian terdahulu yang ditulis oleh Rany Yulianie, dkk yakni menjelaskan bahwasanya dalam penelitian ini peningkatan pengetahuan ibu hamil dan pengelola dinilai sangat bermanfaat karena dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mitra mengenai stunting dan pencegahannya khususnya pada ibu hamil. Kegiatan ini berjalan lancar berdasarkan hasil pre test dan post test menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan antar mitra dan memberikan penyuluhan yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan mitra.

2.Enabling Factor (Faktor Pemungkin)

Faktor pemungkin meliputi sarana dan prasarana kesehatan, penyediaan kapasitas melalui bantuan teknis (pelatihan dan pendampingan), pemberian bimbingan dan sarana penggalangan dana untuk pengadaan fasilitas. Ketersediaan sarana dan prasarana juga menjadi faktor penghambat kegiatan posyandu. Ketersediaan sarana dan prasarana diartikan sebagai jenis peralatan, alat kerja, dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu dalam melaksanakan pekerjaan petugas posyandu.

No Sarana dan Prasarana Jumlah
1 Timbangan 2
2 Kursi Tunggu 3
3 Meja 2
Table 3.Fasilitas Penunjang Kegiatan Posyandu di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji

Pada tabel 3 menjelaskan terkait sarana dan prasarana penunjang kegiatan posyandu, karena jika fasilitas terpenuhi posyandu dapat berjalan dengan lancar. Alat yang disediakan untuk menunjang terhadap kegiatan posyandu terutama pada pencegahan stunting. Berdasarkan hasil wawancara, dapat dikatakan bahwa:

“ Alat yang digunakan untuk kegiatan posyandu belum bisa dimanfaatkan dengan baik karena ada sebagian yang rusak, jadi untuk sementara Alat yang digunakan untuk setiap kegiatan posyandu sedikit, dan jika tidak ada, pengelola meminjam dari bidan dan puskesmas terdekat.Untuk tempat posyandu sudah ada di setiap pos namun belum ada ruangan khusus untuk kegiatan sosialisasi maupun pelatihan masih dilakukan di kantor desa dan rumah warga”.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh teori Lawrance Green, pada faktor pemungkin ini ketersediaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan untuk kegiatan posyandu. Pemerintah desa selalu mengupayakan memberikan sarana dan prasarana dalam menjalankan program penurunan stunting guna untuk dalam kegiatan kesehatan desa. Dimana sarana dan prasarana tersebut terdiri dari alat imunisasi, timbangan, dan alat ukur tinggi badan, dengan penggunaan alat tersebut berkoordinasi dengan petugas kesehatan seperti bidan desa. Tujuan diberikan sarana dan prasarana ini agar warga Desa Cangkring Malang dapat mengakses sarana dan prasarana kesehatan dengan baik dan mempermudah dalam melaksanakan program penurunan angka stunting di Desa Cangkring Malang. Namun, sangat disayangkan ada beberapa alat yang masih dalam tahap perbaikan/pergantian karena tidak berfungsi sebagaiman mestinya, sehingga pada saat pelaksanaan kegiatan posyandu masih meminjam alat dari bidan puskesmas desa. Sedangkan di setiap pos ini belum ada ruangan khusus untuk pelatihan maupun penyuluhan yang bisa diikuti masyarakat (ibu balita dan ibu hamil).

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan terdapat persamaan dengan hasil kajian penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nisa Nugraheni, Abdul Malik terkait yang mana pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana yang digunakan posyandu berupa timbangan berdiri, timbangan gantung, dan alat ukur tinggi badan. Peralatan lain yang digunakan seperti meja, kursi, kursi tunggu, dan lain-lain selalu meminjam dari rumah penduduk. Tempat untuk kegiatan sosialisasi dan penyuluhan mengenai informasi gizi juga dilakukan di rumah penduduk, dipenelitian terdahulu menyatakan bahwa sarana dan prasarana ynag tersedia sama seperti di posyandu Desa Cangkring Malang masih kurang terfasilitasi.

3.Reinforcing Factor (Faktor Penguat)

Faktor Penguat menyangkut sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan pemerintahan, serta petugas kesehatan. Tujuannya agar sikap dan perilaku tersebut dapat menjadi acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat. Salah satu penyebab terjadinya stunting adalah karena kesadaran masyarakat dan perilaku orang tua yang buruk. Faktor utama yang melatarbelakangi rendahnya kesadaran dan perilaku masyarakat adalah kurangnya pemahaman dan sikap masyarakat tentang pentingnya kesehatan masyarakat (Notoadmojo). Komunikasi interpersonal masih menjadi metode yang sangat efektif untuk mengubah perilaku, serta membujuk masyarakat untuk mengunjungi fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, peran tenaga kesehatan sangat penting dalam membantu ibu dan anak mencegah stunting. Dengan adanya partisipasi masyarakat ini membantu para kader dan pemerintah desa bekerja samauntuk menanggulangi pencegahan stunting agar dapat mencapai tujuan yang sama. Oleh karena itu, Pemerintahan Desa Cangkring Malang memberikan dukungan terhadap kegiatan posyandu terutama pada pencegahan stunting. Berdasarkan wawancara yang telah ditujukan, mangatakan bahwa:

“Dukungan yang saya berikan posyandu Desa Cangkring Malang berupa dana operasional posyandu yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan posyandu stiap bulan, dan gaji kader posyandu. Ada juga dukungan yang diberikan oleh UPT Puskesmas Beji berupa pengutusan tenaga kesehatan seperti ahli gizi, dokter, dan bidan untuk membantu pelaksanaan posyandu di lapangan. Saya juga memberikan insentif berupa upah Rp. 50.000/bulan yang berasal dari APBDes kepada kader untuk meningkatkan kinerja kader, melaksanakan lokakarya, sosialisasi dan pelatihan kader posyandu baik dari UPT Puskesmas Beji maupun Pemerintah Desa sendiri, serta mengadakan refreshing kader untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan kader dalam memberikan pelayanan kesehatan di posyandu”.

Kemudian berikut adalah sebuah dukungan dari masyarakat terutama pada ibu balita terhadap kegiatan posyandu. Berdasarkan wawancara kepada salah satu Ibu balita, dapat dikatakan bahwa:

“Jadi, masih ada masyarakat yang belum mengetahui tentang posyandu sebagian ibu mengira bahwa Posyandu hanya sekedar tes biasa, namun nyatanya posyandu mempunyai pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang bayi, anak dan ibu hamil, karena dalam setiap pertemuannya sering diberikan suplemen vitamin khusus untuk orang dengan berat badan kurang. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu. Tujuan yang tepat adalah jika masyarakat semakin mendukung maka pelaksanaan posyandu akan berlangsung maksimal dan dapat berdampak pada percepatan proses penurunan stunting”.

Yang terakhir diperkuat sebuah dukungan dari petugas kesehatan terhadap kegiatan posyandu terutama pada pencegahan stunting. Berdasarkan wawancara kepada Ibu bidan, mengatakan bahwa:

“Jadi gini, Operasional posyandu tidak dapat terlaksana tanpa pelatihan tenaga medis, diperlukan pengetahuan tentang pelayanan medis Posyandu, dengan dukungan tenaga medis, petugas akan terbantu dalam kapasitas institusi yang terbatas dan dapat menciptakan peran dalam kerangka yang optimal. Karena banyak masyarakat (Ibu balita dan Ibu hamil) yang belum menyadari ketika diberi penjelasan mengenai stunting, karena mereka merasa anaknya tidak mengalami hal tersebut. Oleh karena itu, pihak kader meminta bantuan kepada saya agar memberi penjelasan mengenai posyandu terutama pencegahan stunting kepada ibu balita dan ibu hamil agar bisa diterima dengan baik dan saya sudah mencoba ngobrol baik-baik dengan ibu yang anaknya mengalami stunting agar terus dapat kami pantau melalui kegiatan posyandu setiap bulannya untuk berpasrtisipasi hadir. Alhamdulillah, masyarakat sudah mulai mengerti meskipun belum semuanya.”

Sebagaimana dikemukakan dalam teori Lawrance Green, penguatan merupakan faktor yang sangat penting dalam perilaku masyarakat, pemerintah, dan pimpinan organisasi dalam mencapai tujuan, sehingga sikap dan perilaku tersebut dapat menjadi acuan gaya hidup sehat. Secara umum dapat penulis katakan bahwa berdasarkan data yang diperoleh jika dikaitkan dengan teori yang ada, bahwa reinforcing faktor dalam dukungan pemerintah desa sudah berjalan dengan memberikan dukungan berupa dana operasional kepada para kader posyandu agar lebih mempunyai tanggung jawab dalam membantu pelayanan kesehatan demi tercapainya penurunan stunting.

Berdasarkan pengamatan penulis, diketahui bahwa peran petugas posyandu di Desa Cangkring Malang juga melakukan penggerakan dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam mensukseskan dan mendukung kegiatan posyandu dalam rangka pencegahan gizi buruk dan stunting. Keberhasilan penyelenggaraan posyandu dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang berkunjung ke posyandu.

No. Bulan Jumlah Kunjungan
1 Agustus 28 Kunjungan
2 September 26 Kunjungan
3 Oktober 24 Kunjungan
4 November 35 Kunjungan
Table 4.Kunjungan Masyarakat Tiap Bulan pada Posyandu di Desa Cangkring Malang

Dari tabel 4 terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan dan penurunan kunjungan masyarakat. Pada bulan Oktober terlihat terjadi penurunan jumlah kunjungan masyarakat pada kegiatan posyandu. Hal ini terjadi kurangnya berpartisipasi karena rasa kesadaran dan tanggungjawab mayarakat dalam upaya pencegahan stunting. Meskipun ada juga sebagian masyarakat/ibu balita yang masih bertanggungjawab dan ikut berpartisipasi terkait kesehatan sang balita. Tanggung jawab merupakan nilai hati nurani dalam masyarakat tanpa ada kewajiban melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajiban. Dalam hal ini kesadaran masyarakat merupakan bagian dari tanggung jawab masyarakat dalam melaksanakan posyandu untuk mencegah stunting pada balita di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan. Sebab, dukungan masyarakat sangat diperlukan untuk membantu percepatan penurunan stunting.

Sedangkan dukungan dari petugas kesehatan sudah dilaksanakan demi mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik untuk mengurangi angka prevalensi stunting di Desa Cangkring Malang. Petugas kesehatan disini dimaksudkan ibu bidan yang slalu membantu kegiatan posyandu berjalan disetiap bulannya. Peran petugas kesehatan disini sangat dibutuhkan untuk menunjang semua kesulitan yang dialami peran kader kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Darisini dapat dilihat bahwa dukungan dari petugas kesehatan dapat meningkatkan perubahan pola pikir ibu agar slalu mengikuti kegiatan posyandu kapanpun dan dimanapun, sehingga pencapaian sasaran kepada ibu hamil dan ibu balita bisa teralisasikan.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan terdapat persamaan dengan hasil kajian penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ririn Novianti, dkk terkait yang mana pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa Pemerintah Desa melalukan beberapa cara seperti pemberian insentif upah Rp. 50.000/bulan yang berasal dari APBDes kepada kader untuk meningkatkan kinerja kader, hal tersebut sama seperti yang telah diberikan Pemerintah Desa Cangkring Malang. Sedangkan penelitian terdahulu yang dilakukan Ririn Novianti, dkk terdapat tidak kesesuain dengan penelitian dilapangan, dipeenlitian terdahulu terkait dukungan masyarakat sudah memiliki kesadaran bahwa kegiatan posyandu sangat penting sehingga prosentasi kunjungan ibu balita diposyandu mencapai 89,9%, hal tersebut belum sesuai dengan penelitian dilapangan karena masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa posyandu hanya pemeriksaan biasa, sehingga partisipasi masyarakatnya berkurang. Yang terakhir diperkuat dengan penelitian Nisa Nugraheni, Abdul Malik terdapat perbedaan dengan penelitian dilapangan terkait pelayanan kesehatan yang belum ada pendampingan petugas terhadap kader posyandu sehingga belum maksimal karena kader posyandu juga memiliki kemmapuan terbatas.

Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil pembahasan di atas tentang peran kader posyandu dalam pencegahan stunting di Desa Cangkring Malang Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan dapat disimpulkan menggunakan model teori peran menurut Lawrence Green dalam Notoadmodjo yang memiliki indikator sebagai berikut: 1) Predisposing Factor dalam faktor ini bisa dilihat bahwa kader posyandu dalam memberikan pengetahuan maupun edukasi dapat dibuktikan dengan tidak adanya waktu khusus untuk melakukan sosialisasi pencegahan stunting kepada ibu balita dan ibu hamil. 2) Enabling Factor ini berupa sarana dan prasarana yang menunjang semua kegiatan posyandu dapat dilihat bahwa alat yang digunakan banyak yang belum diperbaiki misalnya timbangan bayi, ukuran tinggi badan dan untuk tempat atau aula yang bisa digunakan untuk bersosisalisasi masih menggunakan rumah warga dan kantor desa. Lebih baik disediakan tempat khusus untuk bersosialisasi agar masyarakat merasa lebih nyaman dan private. 3) Reinforcing Factor, dalam ini bisa di lihat bahwa masih ada dari salah satu indikator faktor ini adalah dukungan dari masyarakat itu sendiri, karena masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui betapa pentingnya posyandu pada kesehatan bayi, balita, dan ibu hamil. Hal ini terlihat dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu, karena masyarakat menganggap posyandu hanya sekedar pemeriksaan rutin. Jika dukungan masyarakat semakin besar maka pelaksanaan posyandu akan berjalan maksimal dan dapat berdampak pada percepatan proses penurunan stunting. Untuk indikator lain seperti dukungan dari Pemerintah Desa dan dukungan dari petugas kesehatan dalam kegiatan posyandu sudah diterapkan.

References

  1. S. Dahlia, “Pengaruh Pendekatan Positif Deviance Terhadap Peningkatan Status Gizi Balita,” Media Gizi Masy. Indonesia., vol. 2, no. 1, pp. 65–70, 2021.
  2. S. Helmyati, “Stunting: Permasalahan dan Penanganannya,” Gajah Mada Univ. Press, 2019.
  3. T. V. Selai Akseer, A. Somaskandan, and N. Akseer, “Stunting in childhood: An overview of global burden, trends, determinants, and drivers of decline,” Am. J. Clin. Nutr., vol. 112, 2020.
  4. K. Rahmadhita, “Permasalahan Stunting dan Pencegahannya,” J. Ilm. Kesehat. Sandi Husada, vol. 11, no. 1, pp. 225–229, 2020.
  5. J. Pengabdian et al., “Upaya Pencegahan Gizi Buruk Melalui Edukasi Pemberian Makan Sehat ( Pekan Sehat ) dengan Metode Emotional Demonstration ( Emo-Demo ) pada Ibu Baduta Efforts to Prevent Malnutrition through Education on Healthy Eating ( Healthy Week ) with,” vol. 7, no. 1, 2023, doi: 10.30595/jppm.v7i1.9875.
  6. H. Rakotomanana, J. J. Komakech, C. N. Walters, and B. J. Stoecker, “The WHO and UNICEF Joint Monitoring Programme (JMP) Indicators for Water Supply, Sanitation and Hygiene and Their Association with Linear Growth in Children 6 to 23 Months in East Africa,” Int. J. Environ. Res. Public Health, vol. 17, no. 17, pp. 1–14, 2020, doi: 10.3390/ijerph17176262.
  7. A. Daracantika, A. Ainin, and B. Besral, “Systematic Literature Review: Pengaruh Negatif Stunting terhadap Perkembangan Kognitif Anak,” J. Biostat. Kependudukan, dan Inform. Kesehat., vol. 1, no. 2, p. 113, 2021.
  8. A. Rahayu, “Stunting dan Upaya Pencegahannya,” Buku Stunting dan Upaya Pencegahannya, 2018.
  9. A. H. Haris Kadarusman, “Akses ke Sarana Sanitasi Dasar sebagai Faktor Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-59 Bulan,” J. Kesehat., vol. 10, no. 3, p. 413, 2019.
  10. I. J. G. Novy H.C. Daulima, A. Y. S, “Holistic Response of Mother as Caregiver in Treating Stunting Children,” Pakistan J. Med. Heal. Sci., vol. 13, no. 3, pp. 928–932, 2019.
  11. Y. Wardita, E. Suprayitno, and E. M. Kurniyati, “Determinan Kejadian Stunting pada Balita,” J. Heal. Sci. (Jurnal Ilmu Kesehatan), vol. 6, no. 1, pp. 7–12, 2021.
  12. S. Y. Ratuu Ayu Dewi Sartika, T. Sudiarti, “Factor Related to Stunting Among Children Age 6-59 Months in Babakan Madang Sub-District, West Java, Indonesia,” Curr. Res. Nutr. Food Sci., vol. 8, no. 2, pp. 454–461, 2020.
  13. R. Novianti et al., “Peran Posyandu untuk Menangani Stunting di Desa Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus,” J. Public Policy Manag. Rev., vol. 10, no. 3, pp. 1–10, 2018, doi: 10.30595/jppm.v10i3.31425.
  14. D. Aditya and H. Purnaweni, “Implementasi Program Perbaikan Gizi Balita Di Puskesmas Wonosalam I Kabupaten Demak,” J. Public Policy Manag. Rev., vol. 6, no. 4, pp. 374–384, 2017, doi: 10.30595/jppm.v6i4.17858.
  15. G. Megawati and S. Wiramihardja, “Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu Dalam Mendeteksi Dan Mencegah Stunting,” Dharmakarya, vol. 8, no. 3, p. 154, 2019.
  16. N. Melik, E. Vestikowati, and D. Yuliani, “Peran Kader Posyandu Marunda Dalam Pencegahan Stunting Di Desa Sanding Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut,” pp. 3689–3698, 2013.
  17. Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,” ALFABETA, 2015.
  18. N. Nugraheni and A. Malik, “Peran Kader Posyandu dalam Mencegah Kasus Stunting di Kelurahan Ngijo Kota Semarang,” 2023.