Public Policy
DOI: 10.21070/ijppr.v25i3.1397

Time Required for Education Up to College Level


Waktu yang Diperlukan untuk Pendidikan Hingga Tingkat Perguruan Tinggi

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Mandatory Education Indonesia Socio-Economic Benefits Collaboration Funding

Abstract

This study explores the imperative of mandatory college education in Indonesia, amidst recent protests against rising tuition fees. Despite higher education's recognized socio-economic benefits, Indonesia has yet to mandate college attendance, lagging behind global trends. Drawing on comparative analysis with Malaysia, South Korea, and European nations, the research underscores the potential of mandatory college education to enhance workforce skills, promote innovation, and reduce social disparities. Findings advocate for government commitment, increased funding, and collaboration with the private sector to ensure equitable access and quality in higher education, ultimately driving economic growth and social development.

Highlights :

 

  • Global Trends Comparison: Benchmarks Indonesia against leading nations for educational policy insight.
  • Equitable Access and Quality: Ensuring fairness and standards for a skilled, diverse workforce.
  • Government-Private Sector Collaboration: Partnerships vital for sustainable funding and educational enhancement.

Keywords: Mandatory Education, Indonesia, Socio-Economic Benefits, Collaboration, Funding

 

Pendahuluan

Belum lama ini, pada pertengahan bulan Mei, dunia pendidikan tinggi di Indonesia dihebohkan dengan berbagai aksi mahasiswa kepada pimpinan perguruan tinggi tempat mereka belajar. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan mencari solusi yang lebih prorakyat.

Tak lama berselang, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons gelombang kritik UKT di perguruan tinggi yang kian mahal itu. Disebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA[1]. “pendidikan tinggi ini adalah tertiary education,” ungkapnya (16/5/2024).

Pandangan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier atau mewah adalah persepsi yang sepatutnya tidak diungkap oleh pengelola pendidikan tinggi selevel Kemendikbudristek. Hal ini sama dengan mengatakan tidak pentingnya peran pendidikan tinggi dalam pembangunan individu dan bangsa, terutama bagi kaum yang tidak mampu.

Perguruan tinggi sepatutnya harus dipandang sebagai kebutuhan primer, bukan kebutuhan mewah. Pendidikan adalah hak azasi manusia pada level masyarakat manapun.

Hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan tinggi tidak boleh dianggap sebagai kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, tetapi sebagai hak dasar yang harus diakses oleh setiap individu yang memenuhi syarat[2].

Metode

Menggunakan pendekatan analisis kualitatif, penelitian ini meninjau literatur yang ada mengenai manfaat ekonomi dan sosial dari pendidikan tinggi, didukung oleh bukti empiris dari sumber lokal dan internasional. Penelitian ini juga menganalisis protes terkini dan tanggapan kebijakan sebagai indikator dari sikap publik dan pemerintah saat ini terhadap pendidikan tinggi.

Hasil dan Pembahasan

1. Kontribusi Lulusan Perguruan Tinggi

Secara ekonomi, ada keterkaitan antara banyaknya lulusan perguruan tinggi dengan peningkatan ekonomi rakyat[3]. Esther Duflo, seorang ekonom penerima penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2019 bersama Abhijit Banerjee dan Michael Kremer atas karyanya dalam mengentaskan kemiskinan global, memiliki pandangan yang relevan terkait pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

Duflo memandang pendidikan sebagai investasi yang sangat penting untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Dalam banyak penelitiannya, Duflo menunjukkan bahwa pendidikan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan individu dan pengurangan kemiskinan. Pendidikan tinggi, khususnya, memberikan peluang lebih besar untuk mobilitas sosial dan peningkatan kesejahteraan ekonomi.

Hal tersebut senada dengan laporan Bank Indonesia dan Kemendikbudristek sendiri, bahwa peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi berkontribusi pada peningkatan produktivitas tenaga kerja dan inovasi, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi[4]. Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang konsisten sekitar 5 persen per tahun selama dekade terakhir, sebagian didorong oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Perbaikan kualitas sumber daya manusia akan menjadi investasi yang mampu mendorong perokonomian di masa mendatang. Investasi di bidang sumber daya manusia merupakan sejumlah dana yang dikeluarkan dan mendapatkan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses berinvestasi.

Investasi ini berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Investasi modal manusia melalui pendidikan di negara berkembang seperti di Indonesia sangat diperlukan walaupun investasi di bidang pendidikan yang merupakan investasi jangka panjang. Secara makro, manfaat dari investasi ini baru dapat dirasakan setelah puluhan tahun dari jangka waktu berinvestasi (Atmanti, 2005).

Pendidikan tinggi memainkan peran kunci dalam menciptakan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan (Tilaar, 2000). Negara dengan tingkat pendidikan tinggi yang lebih baik cenderung memiliki ekonomi yang lebih kompetitif dan inovatif. Lulusan perguruan tinggi berkontribusi secara signifikan dalam berbagai sektor industri, riset, dan teknologi, yang semuanya penting untuk pertumbuhan ekonomi[5].

Pertanyaannya kemudian, mengapa pemerintah belum menggeser cara pandang pendidikan wajib di Indonesia yang saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA, menjadi hingga perguruan tinggi. Kewajiban tersebut telah dirintis sejak tahun 2012, dari sebelumnya berfokus pada pemenuhan wajib belajar 9 tahun. Program wajib belajar 12 tahun baru dimulai pada 2015.

Dalam rantang waktu hampir 15 tahun ini, terhitung sejak perintisan pada 2012 atau kurang lebih tiga periode kepemimpinan kepresidenan, Indonesia masih belum mampu bergerak maju dari wajib belajar tuntas tingkat menengah untuk menjadikan wajib belajar tuntas perguruan tinggi. Tiga periode kepemimpinan kepresidenan merupakan waktu yang cukup untuk membuat perencanaan yang lebih berfokus untuk peningkatan taraf pendikan warga negara.

Selain pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia, beberapa argumen bisa dikembangkan untuk memperkuat sumber daya manusia Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi bagi semua.

Pendidikan tinggi berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik, baik dari segi ekonomi maupun non-ekonomi. Individu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memiliki kesehatan yang lebih baik, partisipasi yang lebih tinggi dalam kehidupan sosial dan politik, serta kesejahteraan yang lebih tinggi secara keseluruhan (Hardana, 2023).

Akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi dapat menjadi alat yang kuat untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu untuk mengejar pendidikan tinggi, kita dapat membantu mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan membuka peluang bagi mobilitas sosial.

2. Berkaca pada Negara Maju

Jika kita bercermin ke berbagai negara maju, memang tidak ada negara yang secara eksplisit mewajibkan semua warganya untuk meraih pendidikan tinggi. Namun, ada negara-negara yang sangat mendorong pendidikan tinggi melalui kebijakan dan sistem yang memfasilitasi akses luas ke pendidikan tinggi.

Negara-negara tersebut biasanya memiliki sistem pendidikan yang sangat mendukung dan berbagai mekanisme untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua orang yang ingin melanjutkan studi mereka. Beberapa contoh negara yang sangat mendorong pendidikan tinggi, misalnya di kawasan Asia Tenggara yang terdekat seperti Malaysia.

Berkaca pada Malaysia, misalnya. Sebagai salah seorang yang pernah mengenyam lingkungan pendiikan di Malaysia, saya mengetahui sendiri pemerintah memiliki visi untuk meningkatkan level pendidikan seluruh warganya pada perguruan tinggi. Setiap lulusan pendidikan menengah diberi kemudahan mengakses dana pinjaman pendidikan ke perguruan tinggi. Pengembaliannya pun dilakukan semampunya setelah lulus kuliah

Contoh lainnya di Korea Selatan. Meskipun tidak gratis, Korea Selatan sangat mendorong pendidikan tinggi dengan investasi besar dalam sistem pendidikan dan berbagai beasiswa serta program bantuan keuangan. Pemerintah Korea Selatan menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama untuk meningkatkan daya saing global.

Kalau mencermati pendidikan tingi di Eropa, tentu kita akan melihat keberpihakan pemerintahannya bagi warga negara untuk bisa mengakses pendidkan di perguruan tinggi seperti Finlandia, Norwegia, Jerman.

Meskipun tidak ada kewajiban formal untuk meraih pendidikan tinggi, negara-negara ini menunjukkan komitmen yang kuat untuk memastikan akses luas dan merata ke pendidikan tinggi melalui kebijakan kebijakan yang mendukung. Kebijakan-kebijakan tersebut mencakup pendidikan gratis atau terjangkau, bantuan keuangan, beasiswa, dan investasi besar dalam infrastruktur pendidikan.

Pemerintah di negara-negara tersebut juga sering bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan peluang magang dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan perguruan tinggi lebih siap untuk memasuki pasar kerja. Pendekatan holistik ini membantu meningkatkan jumlah lulusan perguruan tinggi dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta pembangunan sosial

Pemerintah Indonesia tentu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi berkualitas dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan tinggi harus direncanakan dan dikelola dengan baik untuk memastikan keberlanjutan dan inklusivitasnya, bukan hanya dari sisi biaya tetapi juga dari sisi kualitas pendidikan yang diberikan.

Pendidikan tinggi adalah tempat pembentukan pemimpin masa depan. Institusi pendidikan tinggi tidak hanya menyediakan pengetahuan akademik, tetapi juga mengembangkan keterampilan kritis, analitis, dan kepemimpinan. Ini penting untuk mempersiapkan individu yang mampu memimpin dan membuat keputusan yang bijak untuk masa depan bangsa.

Kenaikan biaya pendidikan tinggi (SPP atau UKT) memang menjadi tantangan, tetapi solusinya bukanlah dengan menganggap pendidikan tinggi sebagai kebutuhan mewah. Pemerintah perlu mencari solusi lain, seperti peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan, pemberian beasiswa, atau pengembangan program bantuan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Selain itu, kerjasama dengan sektor swasta dan donor internasional dapat menjadi alternatif pembiayaan yang efektif[6].

Karena itu akan menjadi terobosan luar biasa bagi pendidikan di Indonesia jika pemerintah terkini bisa mengubah pendidikan wajib 12 tahun itu tuntas pendidikan menengah menjadi pendidikan wajib tuntas perguruan tinggi. Wallahu’alam.

Simpulan

Artikel ini mengemukakan pentingnya pendidikan tinggi sebagai kebutuhan primer dan hak asasi manusia di Indonesia, bukan sekadar kemewahan. Penulis, Kumara Adji Kusuma, menyoroti dampak ekonomi yang signifikan dari lulusan perguruan tinggi dalam meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana dijelaskan dalam karya Esther Duflo dan penelitian lainnya yang tercantum dalam referensi. Kenaikan biaya pendidikan tinggi, yang saat ini merupakan hambatan besar, dianggap kontraproduktif terhadap usaha mencapai inklusivitas dan keberlanjutan pendidikan. Saran untuk penelitian lanjutan mencakup mengkaji dampak implementasi wajib belajar hingga perguruan tinggi terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia serta efektivitas kebijakan pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan terjangkau dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara luas.

References

  1. H. D. Atmanti, "Investasi sumber daya manusia melalui pendidikan," J. Dinamika Pembangunan (JDP), vol. 2, no. 1, pp. 30-39, 2005.
  2. E. Duflo, "Schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: Evidence from an unusual policy experiment," American Economic Review, vol. 91, no. 4, pp. 795-813, 2001.
  3. A. Hardana, "Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi," Studi Ekonomi Dan Kebijakan Publik, vol. 2, no. 1, pp. 7-19, 2023.
  4. A. Widiansyah, "Peran ekonomi dalam pendidikan dan pendidikan dalam pembangunan ekonomi," Cakrawala-Jurnal Humaniora, vol. 17, no. 2, pp. 207-215, 2017.
  5. G. Subroto, "Hubungan Pendidikan dan Ekonomi: Perspektif Teori dan Empiris," J. Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 20, no. 3, pp. 390-405, 2014.
  6. H. A. R. Tilaar, "Pendidikan Abad ke-21 Menunjang Knowledge-Based Economy," Analisis CSIS. Tahun XXIX/2000, No.3, Jakarta, pp. 257-285.