Abstract

This study critically examines the basic tenets of liberalism and their implications for the discourse between Islam and the West. With reference to texts from thinkers such as John Locke and John Stuart Mill, it challenges the rationality and coherence of liberal ideology, particularly regarding equality, freedom and hedonistic morality. Islamic perspectives on these issues are considered, highlighting differences in epistemological foundations. The research underscores the need for nuanced dialogue and critical inquiry, emphasizing the importance of epistemological diversity in addressing the challenges of contemporary society.

Highlights :

 

  • Critiquing liberal ideology: equality, freedom, morality coherence challenged.
  • Contrasting Islamic epistemological foundations with liberalism's rationality.
  • Emphasizing nuanced dialogue and diverse epistemology for contemporary challenges.

Keywords: Liberalism, Islam, Dialogue, Epistemology, Diversity

 

Pendahuluan

Era sekarang memiliki banyak sebutan. Sebelumnya, hanya ada satu: Era Modern, meski sebnarnya yang mengalami masa modern itu hanya di Barat. Namun, era sekarang para filsuf/intelektual menyebut era Post-Modern/Pasca-Modern, Post-Enlightenment/Pasca-Penceraha, dan Post-Colonialism/Pasca-Kolonialisme[1]. Masing-masing sebutan memiliki karakteristiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita umat Islam berada di era tersbut. Era yang kental dengan nuansa Barat. Dan, ketika berhadapan dengan Barat, umat Islam sering menghadapi banyak pertanyaan, terutama mengenai gagasan pasca-Pencerahan dan hubungannya dengan Islam. Misalnya, orang Barat mungkin bertanya mengapa umat Islam tersinggung ketika sosok Nabi Muhammad digambar atau ketika ada penghinaan terhadap Islam.

Orang Barat mungkin menganggap hal ini sebagai isu kebebasan berekspresi dan mempertanyakan apakah Islam menentang kebebasan tersebut.

Argumennya bisa lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama terbelakang yang perlu direformasi, karena tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai Pencerahan seperti liberalisme dan kebebasan berpendapat[2].

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting, namun hal yang lebih penting adalah bagi ktia umat Islam untuk memeriksa asumsi-asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ini karena setiap pertanyaan mempunyai praanggapan—asumsi yang mendasarinya. Misalnya, ketika umat Islam langsung bersikap defensif, hal ini mencerminkan bagaimana negara-negara kolonial Barat pernah mencoba memaksakan keyakinan mereka secara militer, dan sekarang, pengaruh Barat pasca-kolonial mencoba melakukan hal tersebut secara ideologis.

Ada beragam tanggapan umat Islam terhadap tantangan ini. Beberapa orang mungkin menyerah dan setuju bahwa Islam memerlukan reformasi dan kebangkitan kembali agar selaras dengan cita-cita Barat. Pihak lain menolak sepenuhnya gagasan ini, menganggapnya sebagai ideologi beracun yang harus diberantas[3]. Pihak pertama boleh jadi mereka dilabeli sebagai kelompok lunak, sedangkan kelompok kedua disebut sebagai kelompok garis keras.

Argumen inti di sini adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan itu sendiri bermasalah. Untuk mengatasi hal ini kita perlu memahami asal usul perkembangan paham Liberalisme, menelaah prinsip-prinsip dasarnya, dan menganalisis dampak terhadap wacana antara Islam dan Barat.

Banyak konsep seperti kebebasan berekspresi dan berbicara merupakan perluasan dari kerangka filosofi liberal. Jika sebuah pertanyaan mengandaikan liberalisme, kita harus bertanya: Bagaimana jika ideologi itu sendiri cacat atau tidak berdasar? Misalnya, jika liberalisme didasarkan pada praanggapan yang dapat diperbaiki (mampu melakukan reformasi atau perbaikan), maka pertanyaan-pertanyaan yang menentang Islam berdasarkan liberalisme mungkin sudah ketinggalan zaman.

Metode

Penelitian ini menggunakan analisis kritis terhadap teks-teks utama dari para filsuf liberal seperti John Locke dan John Stuart Mill, yang mengkaji argumen mereka tentang kesetaraan, kebebasan, dan moralitas hedonis[4]. Teks-teks dan interpretasi teologis Islam juga dikonsultasikan untuk memahami perspektif Islam tentang isu-isu ini[5].

Hasil dan Pembahasan

1. Asal-Usul dan Prinsip Liberalisme: Kesetaraan, Hedonisme, Tidak Merugikan

Dalam sejarah liberalisme. John Locke, seorang tokoh berpengaruh yang meninggal pada tahun 1704, menulis Two Treatises of Government, yang menganjurkan kontrak sosial dan kesetaraan serta kebebasan semua individu. Locke, seorang Kristen Unitarian (berseberangan dengan Trinitarian), percaya pada satu Tuhan dan mendasarkan sebagian besar filosofinya pada keyakinan ini. Ide-idenya secara signifikan mempengaruhi dokumen-dokumen politik Barat seperti Deklarasi Kemerdekaan AS dan Bill of Rights Inggris.

Kepercayaan Locke pada Tuhan terlihat jelas dalam argumennya bahwa manusia dilahirkan bebas dan setara karena mereka diberkahi oleh Penciptanya. Gagasan ini tercermin dalam Deklarasi Kemerdekaan AS, yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan setara dan mempunyai hak yang tidak dapat dicabut atas hidup, kebebasan, dan upaya mencapai kebahagiaan—gagasan yang diambil langsung dari filosofi Locke[6].

Oleh karena itu, ketika menjawab pertanyaan tentang Islam dan nilai-nilai Pencerahan, penting untuk menyadari bahwa landasan nilai-nilai ini bertumpu pada asumsi-asumsi yang dapat ditentang. Dengan memahami asal-usul dan prinsip-prinsip liberalisme, seseorang dapat menavigasi dan merespons wacana kompleks antara Islam dan ideologi Barat dengan lebih baik.

Locke mempunyai dua atau tiga prinsip yang dia yakini. Salah satunya adalah keyakinan teologis: dia percaya bahwa semua umat manusia dianugerahi kesetaraan dan kebebasan oleh Tuhan. Namun, dia juga percaya pada sesuatu yang disebut prinsip hedonistik.

Prinsip hedonistik adalah gagasan bahwa moralitas tertinggi didasarkan pada rasa sakit dan kesenangan[7]. Menurut prinsip ini, apa yang pada akhirnya baik adalah apa yang terasa baik atau menyenangkan atau diinginkan oleh seseorang. Hal ini akan menjadi landasan filsafat moral liberal.

Setelah John Locke, yang memiliki pengaruh signifikan akibat Perang Saudara Inggris (1642-1651) antara kaum royalis dan anggota parlemen, Parlemen menyusun kembali dirinya menggunakan banyak prinsip Lockean. Prinsip-prinsip ini menjadi normatif di Inggris, dan Amerika serta Perancis juga mengadopsinya. Dengan demikian, prinsip-prinsip liberal menjadi norma, dan siapa pun yang menentangnya dianggap menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya Barat.

Setelah John Locke, banyak filsuf, seperti Montesquieu, Rousseau, dan Tocqueville (yang menulis “Demokrasi di Amerika”), mengemukakan teori-teori ini. Yang paling menonjol, John Stuart Mill, di era Victoria, mengembangkan prinsip kerugian. Sekitar 100 hingga 200 tahun setelah Locke, Mill mengembangkan filsafat liberal lebih jauh. Meskipun Mill percaya pada kesetaraan, dia tidak mengaitkannya dengan Tuhan. Bahkan ada yang menganggapnya agnostik. Dia meninggalkan diskusi teologis dari filsafatnya.

Di sinilah letak masalah yang signifikan bagi kaum liberal: Jika pembenaran awal bagi manusia untuk dilahirkan setara dan bebas didasarkan pada teologi (yaitu, Tuhan), bagaimana mungkin para filsuf berturut-turut mempertahankan sistem kepercayaan yang sama tanpa prinsip yang sama? Mill, misalnya, mengatakan kita dilahirkan setara dan bebas tetapi tidak mendasarkannya pada Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul: Bagaimana Anda bisa membuktikan bahwa kita dilahirkan setara atau bebas tanpa landasan teologis?

John Locke sendiri mengakui bahwa kesetaraan mungkin tidak bersifat universal, karena Sang Pencipta mungkin akan mengambil keputusan yang berbeda[8]. Apa yang dimaksud dengan kesetaraan jika kita tidak dilahirkan setara dalam segala keadaan? Ada yang lahir di daerah miskin, ada yang berkecukupan, ada yang cacat, dan ada yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dari berbagai ras. Di manakah letak kesetaraan dalam perbedaan-perbedaan ini? Beberapa pihak mendukung kesetaraan kesempatan, sementara yang lain mendukung kesetaraan hasil, dengan menyesuaikan pandangan mereka untuk mengatasi kesenjangan yang ada.

Apalagi hampir semua filosof, termasuk atheis, sepakat bahwa segala sesuatu ditentukan oleh genetika dan lingkungan. Lalu, apa yang dimaksud dengan kebebasan? Kedengarannya menarik tetapi tidak memiliki dasar bukti yang nyata[9].

John Stuart Mill mencoba membuktikan utilitarianisme yang merupakan perpanjangan dari prinsip hedonistik. Utilitarianisme adalah gagasan untuk mencapai kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang, dan menekankan kesenangan kolektif. Ini menjadi cara paling normatif untuk menggambarkan liberalisme. Mill juga memperkenalkan prinsip merugikan (harm priciple), yang menyatakan bahwa Anda dapat melakukan apapun yang Anda inginkan selama Anda tidak merugikan orang lain. Bukankah ini yang sering kita dengar?

Bagi kaum liberal, homoseksualitas tidak dianggap sebagai masalah dalam masyarakat, dan mereka percaya bahwa orang dapat melakukan apa pun yang membuatnya merasa baik selama ia tidak merugikan orang lain. Ide ini datang dari John Stuart Mill, yang memainkan peran penting dalam penerimaannya. Mill menulis sebuah buku berjudul Utilitarianisme, di mana ia mencoba membuktikan utilitarianisme—sebuah filosofi yang berpusat pada pencapaian kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar.

Namun, salah satu bagian karyanya yang paling dikritik adalah upayanya untuk membuktikan utilitarianisme. Kritikus berpendapat bahwa alasannya bersifat melingkar dan tidak meyakinkan. Hal ini menyebabkan banyak pemikir liberal yang serius menyimpulkan bahwa hedonisme dan utilitarianisme tidak dapat dibuktikan secara pasti. Konsekuensinya, prinsip-prinsip dasar liberalisme tidak bersifat tetap, obyektif, absolut, atau benar. Jika fondasi suatu benda goyah, maka benda itu sendiri pun akan goyah.

John Stuart Mill, yang memperluas konsep kebebasan berekspresi dalam tulisannya tentang liberalisme, dan filsuf lain seperti Voltaire, mempromosikan gagasan seperti kebebasan berbicara. Namun, argumen mereka didasarkan pada landasan yang dapat diperbaiki dan tidak berdasar. Umat Islam di Barat sering diminta untuk membenarkan keyakinan mereka berdasarkan landasan moral dan filosofis. Ketika ditanya mengapa umat Islam menentang menggambar kartun Nabi mereka, atau isu kemurtadan, jawabannya seharusnya: “Buktikan kepada saya bahwa liberalisme itu benar.”

2. Pengaruh terhadap Wacana Islam-Barat

Banyak pertanyaan yang diajukan kepada umat Islam didasarkan pada anggapan liberal. Praanggapan ini dibangun di atas prinsip-prinsip pertama yang tidak kokoh. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki bobot epistemik. Daripada meragukan Islam yang kita yakini, sebaiknya kita meragukan dasar pertanyaan itu sendiri yang tidak berdasar. Umat Islam menjadi sangat menyesal, sering kali tunduk pada anggapan-anggapan ini tanpa menantang keabsahannya.

Dalam masyarakat kuno seperti Yunani, mitologi memainkan peranan penting. Orang-orang Yunani percaya pada dewa-dewa seperti Athena, Zeus, dan Hercules tanpa pembenaran yang nyata. Keyakinan mereka didasarkan pada tradisi, bukan bukti. Demikian pula, masyarakat Barat modern sering kali mempercayai liberalisme secara aksiomatis, tanpa pembenaran. Perbedaan nyata antara orang Yunani kuno yang percaya pada Zeus dan orang Barat modern yang percaya pada liberalisme sangat minim dalam hal epistemologi. Keduanya percaya pada sesuatu tanpa bukti atau alasan yang kuat.

Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan ketidakberdasaran ideologi-ideologi modern ini daripada menerimanya secara membabi buta. Jeremy Bentham, pendahulu John Stuart Mill, juga mempromosikan utilitarianisme dan menekankan kesenangan dan penderitaan sebagai prinsip panduan. Pendekatan ini, dimana hasrat menjadi panduan utama, mencerminkan tren yang lebih luas dalam filsafat Barat. Al-Qur’an memperingatkan tentang orang-orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhannya.

Kesimpulannya, ideologi liberal sering kali dianggap rasional, namun tidak memiliki bukti kuat. Umat Islam harus menantang premis ideologi-ideologi ini daripada menerimanya begitu saja. Penting untuk dipahami bahwa ideologi Barat modern, seperti halnya mitologi kuno, tidak berdasar dan tidak boleh diterima hanya karena berasal dari budaya dominan.

Ini bukanlah cara penyelidikan kritis. Ketika ditanya apakah umat Islam menentang kebebasan berpendapat atau berekspresi, kita harus mengklarifikasi: kita tidak menentang kebebasan berpendapat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Al-Qur’an menetapkan batasan pada jenis ucapan tertentu. Misalnya, larangan berbicara tidak hormat kepada orang tua, seperti yang ditunjukkan dalam ayat, “Jangan berkata kepada orang tuamu ‘uff’ [ekspresi kesal].” Ini adalah bentuk sensor diri. Contoh lainnya adalah, “Janganlah kamu mengutuki orang-orang yang mereka sembah selain Allah, jangan-jangan mereka dengan zalim mengutuk Allah karena ketidaktahuan.” Dalam Islam, kita tidak diperbolehkan menghina dewa agama lain.

Penistaan agama, khususnya terhadap para nabi, dianggap sebagai pelanggaran serius dalam Islam. Kita tidak meminta maaf atas pendirian ini, dan kita juga tidak mengizinkan penistaan tanpa perlawanan, meskipun bertentangan dengan paradigma lain. Meskipun kita mengakui kebebasan berpendapat, prinsip-prinsip yang mendasari liberalisme tidak terbukti rasional, koheren, atau konsisten dari prinsip pertama. Oleh karena itu, kita tidak menerimanya begitu saja.

Dalam masyarakat liberal, orang sering kali membela kebebasan berpendapat secara agama, namun mereka pun mengakui keterbatasannya. Misalnya, rasisme tidak diperbolehkan di sekolah-sekolah di seluruh Eropa. Mereka juga membatasi penyebaran informasi berbahaya kepada masyarakat, seperti instruksi pembuatan bom atau gas beracun, karena membahayakan masyarakat.

3. Posisi Muslim

Sebagai Muslim, kita memiliki landasan epistemik atas keyakinan kita. Kita beriman kepada Allah yang dapat dibuktikan melalui watak bawaan (fitrah) dan argumentasi rasional seperti argumentasi halus dan kosmologis. Perintah Allah itu sempurna karena Dia maha mengetahui, maha kuasa, dan maha bijaksana. Inkonsistensi dan kegagalan para filsuf manusia tidak dapat disamakan dengan perintah ilahi Allah.

Banyak umat Islam yang merasa ragu karena mereka dikondisikan untuk menerima filsafat Barat tanpa ragu. Kita tidak boleh begitu saja menyerap mitologi orang Barat hanya karena mitologi tersebut mendominasi narasi budaya. Persamaan sejarah dapat digambarkan dengan orang-orang Yunani kuno yang percaya pada dewa-dewa seperti Zeus dan Athena tanpa bukti, hanya karena itu adalah bagian dari budaya mereka. Demikian pula, orang-orang Barat modern percaya pada liberalisme secara aksiomatis.

Kita harus mempertanyakan tidak berdasarnya ideologi modern ini. Jeremy Bentham, pendahulu John Stuart Mill, menekankan kesenangan dan kesakitan sebagai prinsip panduan, yang mencerminkan tren yang lebih luas dalam filsafat Barat. Al-Qur’an memperingatkan tentang orang-orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhannya.

Liberalisme belum tentu berhasil bagi masyarakat Barat. Negara-negara Skandinavia dan negara-negara Barat lainnya, yang memiliki nilai-nilai liberal dan ateistik yang tinggi, juga memiliki tingkat depresi dan bunuh diri yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh WHO dan Majalah Forbes menunjukkan bahwa negara-negara yang paling mengalami depresi sebagian besar adalah negara-negara liberal dan negara-negara Barat. Hal ini menunjukkan kegagalan liberalisme dan impian Amerika, karena tidak ada makna yang melekat pada kehidupan masyarakat.

Islam menawarkan cahaya bagi mereka yang mencari tujuan, menjauh dari pemanjaan diri menuju kehidupan yang disiplin dan bermakna. Kita tidak boleh menerima pernyataan-pernyataan sok suci dari Barat tanpa pengawasan yang cermat. Dogma pasca-pencerahan ini sering kali diterapkan tanpa bukti. Kita akan mempercayai kebebasan berpendapat hanya jika hal tersebut sejalan dengan Islam. Misalnya Allah berfirman, “Tidak ada paksaan dalam beragama,” artinya beriman adalah pilihan pribadi, meski kekafiran ada konsekuensinya[10].

Islam mendukung kebebasan berpendapat selama hal tersebut merupakan pencarian kebenaran yang tulus, bukan sarana untuk menyakiti atau menghina. Baik itu mengutuk ibu atau tuhan seseorang, kita tidak mendukung perilaku tersebut. Sudah waktunya bagi dunia Barat untuk menyadari bahwa ideologinya belum berhasil baik secara individu maupun sosial. Mereka harus mencari tujuan hidup, yaitu mengenal Allah, Sang Pencipta, memahami asal usul kita, dan tujuan akhir kita. Dengan keyakinan yang teguh, kita bisa membuat sesuatu yang berarti dalam hidup kita.

Simpulan

Studi ini secara kritis meninjau prinsip-prinsip dasar liberalisme dan implikasinya terhadap wacana antara Islam dan Barat. Dengan meneliti pemikiran tokoh-tokoh seperti John Locke dan John Stuart Mill, studi ini menggugat rasionalitas dan kohesi ideologi liberal, terutama mengenai kesetaraan, kebebasan, dan moralitas hedonis. Perspektif Islam diungkapkan, menyoroti perbedaan dalam landasan epistemologis. Penelitian ini menekankan perlunya dialog yang nuansa dan penyelidikan kritis, serta pentingnya keragaman epistemologis dalam menghadapi tantangan-tantangan sosial kontemporer. Saran untuk penelitian lanjutan dapat mencakup eksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana landasan epistemologis mempengaruhi wacana antara Islam dan Barat, serta analisis lebih mendalam tentang konsekuensi praktis dari perspektif yang berbeda dalam konteks sosial dan politik saat ini.

References

  1. J. Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1789. DOI: 10.1093/oseo/instance.00077240.
  2. J. Bentham, The works of Jeremy Bentham. Edinburgh: W. Tait, 1843.
  3. J. J. Rousseau, "The Social Contract (Kontrak Sosial)," Jakarta: Gramedia, 2024.
  4. J. Locke, Two Treatises of Government. London, England: Everyman, 1993.
  5. H. C. Mansfield and D. Winthrop, Democracy in America. Chicago: University of Chicago Press, 2000.
  6. J. S. Mill, Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn, 1863. [Online]. Available: https://www.loc.gov/item/11015966/.
  7. B. M. Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Grasindo, 2010.
  8. J. N. Shklar, "Montesquieu: penggagas trias politica," Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.
  9. A. D. Tocqueville and H. Reeve, Democracy in America. London: Saunders and Otley, 1835-1840. [Online]. Available: https://www.loc.gov/item/09021576/.
  10. R. A. A. Wattimena, Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannya. Jakarta: Gramedia, 2019.