Abstract

General Background: The integrity of a nation's leadership is fundamentally shaped by the credibility of its electoral process. A free, secret, and fair presidential election ensures the emergence of leaders who govern with professionalism, transparency, and accountability. However, the effectiveness of electoral institutions is often compromised by political influence and material interests. Specific Background: In Indonesia, electoral integrity is upheld by institutions such as the General Election Commission (KPU), the Election Supervisory Body (BAWASLU), and the Honorary Council for General Election Organizers (DKPP). Despite their mandate, these institutions face significant challenges related to political interference, which undermines their ability to conduct elections transparently and fairly. Knowledge Gap: While numerous studies have examined election integrity, limited research specifically addresses the moral and professional challenges faced by electoral institutions in Indonesia. The extent to which political and economic pressures affect the neutrality of election organizers remains an area requiring deeper investigation. Aims: This study aims to analyze the professionalism of electoral organizers in Indonesia’s presidential elections by assessing legal frameworks, ethical considerations, and institutional challenges. Results: Findings indicate that electoral officials must uphold strong moral principles and legal accountability to withstand internal and external pressures. Ensuring free and fair elections requires institutional integrity, which is currently threatened by undue influence from powerful political entities. Novelty: This research highlights the ethical dilemmas faced by election organizers, emphasizing the need for robust legal and institutional safeguards to protect electoral integrity. Unlike previous studies, it provides an in-depth analysis of both internal and external challenges affecting electoral professionalism. Implications: Strengthening legal mechanisms and enhancing institutional independence are crucial to maintaining the credibility of electoral processes. This study underscores the necessity of professional and ethical electoral organizers in fostering democratic governance and national stability.

Highlights:

  1. Electoral Integrity – Fair elections ensure accountable and transparent leadership.
  2. Institutional Challenges – Political influence threatens election organizers’ neutrality.
  3. Strengthening Governance – Legal safeguards protect democracy and electoral integrity.

Keywords: Electoral integrity, election organizers, political interference, professional ethics, democratic governance.

Introduction

Tiada negara yang mampu menjalankan kekuasaan secara demokrasi dan konstitusional, tanpa adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui Pemilihan umum. Sebab salah satu indikator negara demokrasi itu adalah melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih pemimpin bangsa yang akan mengatur dan mengendalikan kekuasaan negara secara konstitusional (UUD NRI Tahun 1945). Kecuali negara-negara yang menganut paham monarki absolut dan negara-negara yang berhaluan komunis, seperti Korea Utara dan Tiongkok (Cina) yang tidak menghendaki adanya demokrasi. Bahkan negara-negara monarki demokratis yang tergabung dalam negara-negara persemakmuran melaksanakan pemilihan umum guna memilih calon pemimpin bangsa mereka.

Jaidun menegaskan, bahwa solusi terbaik dalam sistem politik dan ketatanegaraan pemerintahan pada negara modern dan negara sekuler adalah sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi pada dasarnya pengambilan keputusan tertinggi dalam menentukan pemimpin suatu negara berada ditangan mayoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat secara demokratis menyerahkan kedaulatannya kepada orang-orang yang mewakilinya (DPR) untuk menjalankan hak dan kepentingan rakyat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Rakyat memiliki hak turut serta alam pemerintahan melalui wakil-wakilnya, bahkan secara demokratis rakyat diperbolehkan terlibat langsung dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Demokrasi tidak dapat dilepaskan dengan negara hukum, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya hukum yang mengatur penyelenggaraan demokrasi. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD dalam Jaidun yang menegaskan, bahwa satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas negara hukum, artinya bagi satu negara demokrasi pastilah menjadikan pula hukum sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari, oleh dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang-wenang. Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu.

Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi telah menyiapkan perangkat hukum sebagai instrument untuk mengatur penyelenggataan Pemilihan Umum, sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menentukan calon pemimpin bangsa (Presiden/Wakil Presiden). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam rumusan Pasal 1 angka 1 menyebutkan. bahwa Pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun1945.

Merujuk pada rumusan Pasal 1 angka 1 tersebut di atas dapat ditegaskan, bahwa pada hakikatnya pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden harus dilaksanakan secara bebas, rahasia dan adil tanpa ada paksaan dan tekanan dari siapapun, termasuk rezim yang berkuasa. Pemilihan Umum secara bebas, rahasia dan adil akan menghasilkan pemimpin bangsa yang berintegritas. Pemimpin bangsa yang berintegritas mampu menjalankan kekuasaan secara professional, transparan, akuntable, jujur dan adil, karena pemimpin tersebut dihasilkan dari pemilihan umum yang dilaksanakan secara professional serta pengawasan dilaksanakan secara professional oleh lembaga-lembaga yang berkompten dalam urusan Pemilihan Umum, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) sebagai lembaga yang melaksanakan pengawasan terhadap tahapan pemilihan umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) merupakan lembaga yang menangani masalah kode etik dan kehormatan penyelenggara Pemilihan Umum.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan berjalan secara professional, jika dibarengi dengan pelaksanaan pengawasan secara professional oleh Badan Pengawasas Pemilihan Umum (BAWASLU) sehingga potensi kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu maupun tim pemenangan pasangan calon Presiden/Wakil dapat dicegah secara dini. Namun problematika utama dalam konteks penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden adalah rusaknya kualitas moral dan integritas para penyelenggara Pemilihan Umum (KPU, BAWASLU, DKPP). Rusak kualitas moral dalam pengertian bisa diatur-atur dan dikendalikan oleh rezim yang kuasa dan/atau peserta pemilihan Umum Presiden/Wakil, karena dipengaruh factor materi atau kekuasaan. Sehingga para lembaga penyelenggara Pemilihan Umum tidak lagi menjalankan fungsi dan tugas secara professional, transparan, akuntable dan integritas sebagaimana harapan mayoritas publik. Jika demikian halnya, maka peranan DKPP sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Komisi Pemelihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penting untuk mengkaji tetang profesionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden, sehingga melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Profesionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden.

b. Pemimpin bangsa yang berintegritas.

Methods

Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah dihubungkan dengan teori-teori hukum dan praktek yang berkaitan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Pendekatan penelitan

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus

Sumber Data.

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dengan melakukan wawancara dengan anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Timur, anggota Badan Pengawas Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur sedangkan data sekunder yang digunakan adalah Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data kepustakaan dan studi lapangan. Pada data kepustakan yang bersumber pada data sekunder yang meliputi pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier, sedangkan studi lapangan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data

Analisis Data.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis data kualitatif.

Result and Discussion

1. Profesionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep demokrasi, bahwa kekuasaan harus berasal dari rakyat oleh dan untuk rakyat. Berdasarkan gagasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa memilih dan dipilih adalah deviasi dari kedaulatan rakyat yang berikutnya dijadikan sebagai serpihan dari hak asasi setiap warga negara.

Profesionalitas penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawasan Pemilihan Umum serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dalam konteks penyelenggaraan Pemilihan Umum harus memiliki iman yang Tangguh dan moral yang kuat dalam menghadapi tantangan berat baik secara internal maupun ekternal yang bermuara pada tantangan politik, hukum maupun aspek ekonomi. Penyelenggara Pemilihan Umum secara konstitusional (UUD NRI Tahun 1945) dalam konteks penyelenggaraan pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertanggungjawab baik secara hukum maupun secara moral untuk melaksanaan Pemilihan Umum yang bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mewujudkan pemimpin bangsa yang berintegritas. Penyelenggara Pemilihan Umm harus mempertanggungjawabkan secara hukum, jika terbukti tidak melaksanakan asas-asas pemilihan umum dan berpihak kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam bentuk sanksi yang tegas seberat-beratnya yaitu hukum mati, karena merupakan penghiatan terhadap demokrasi dan melanggar hak-hak konstitusional rakyat, dimana demokrasi merupakan sarana dalam membentuk pemimpin yang berintegritas yang dilahirkan dari keinginan mayaritas rakyat.

Pemilihan umum mempunyai esensi sebagai sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan dan perwakilan. Pada hakekatnya, pemilu merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pemimpin yang dilahirkan atau dihasilkan dari Pemilihan Umum berdasarkan kehendak rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum dan professional serta integritas oleh penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presidan secara professional dan integritas akan membentuk pemerintahan yang demokratis, jujur dan adil serta memiliki tanggungjawab moral dalam meresponsif atau mengakomodir segenap kepentingan rakyat, karena keberadaanya sebagai pelayan rakyat tetap terus memegang teguh amanat rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam rangka mewujudkan kesejahteran dan kemakmuran rakyat.

Pemilihan Umum (Pemilu) dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik di mana Pemilu merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa di dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan Pemilu yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.

Presiden dan wakil Presiden terpilih tidak dapat mengklaim dirinya sebagai pemimpin yang hasilkan secara demokratis dalam suatu pemilihan umum, jika terpilihnya diraih/diperoleh dengan curang, manipulative dan menyalahgunakan sumber daya aparatur negara serta menggelontorkan dana bantuan sosial (bansos) untuk memenangkan dalam suatu pertarungan politik pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, karena hal ini tidak sejalan demgan tujuan pemilihan umum sebagaimana ditegaskan dalam rumusan Pasal 4 Undang-Undang nomor. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menegaskan, bahwa Pengaturan Penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk: (a) memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis; (b) mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas; (c) menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu; (d) memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengatuan pemilu; dan (e) mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

Presiden dan Wakil Presiden yang dihasilkan dari pemilihan umum yang curang dan tidak profesional serta buruknya citra penyelenggara pemilihan umum akan menimbulkan beberapa problematik, yaitu:

1. Merusak system ketatanegaraan Indonesia yang dikenal sebagai negara demokrasi

2. Merusak tatanan system pemilihan umum yang sudah pernah berjalan dengan baik

3. Menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak pengaturan pemilihan umum

4. Penyelenggaraan pemilihan umum yang tidak efektif dan tidak efisien yang dapat menimbulkan pemborosan keuangan negara dan merugikan rakyat.

Rumusan Pasal 6 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, menyebutkan, yaitu:

1. Untuk menjaga integritas dan profesionalitas, Penyelenggara Pemilu wajib menerapkan prinsip Penyelenggara Pemilu.

2. Integritas Penyelenggara Pemilu berpedoman pada prinsip: (a) Jujur maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu didasari niat untuk semata-mata terselenggaranya Pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan; (b) Mandiri maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu bebas atau menolak campur tangan dan pengaruh siapapun yang mempunyai kepentingan atas perbuatan, tindakan, keputusan dan/atau putusan yang diambil (c) adil maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan kewajibannya; (d) akuntabel bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Profesionalitas Penyelenggara Pemilu berpedoman pada prinsip: (a) berkepastian hukum maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) aksesibilitas bermakna kemudahan yang disediakan Penyelenggara Pemilu bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan (c) tertib maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, keteraturan, keserasian, dan keseimbangan; (d) terbuka maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu memberikan akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat sesuai kaedah keterbukaan informasi publik (e) proporsional maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum untuk mewujudkan keadilan; (f) profesional maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu memahami tugas, wewenang dan kewajiban dengan didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas; (g) efektif bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan sesuai rencana tahapan dengan tepat waktu; (h) efisien bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu memanfaatkan sumberdaya, sarana, dan prasarana dalam penyelenggaraan Pemilu sesuai prosedur dan tepat sasaran; (i) kepentingan umum bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu mendahulukan kepentingan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

2. Pemimpin bangsa yang berintegritas

Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan, bahwa dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip:(a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) berkepastian hukum; (e) tertib; (f) terbuka; (g) proporsional; (h) profesional; (i) akuntabel; (j) efektif; dan efisien.

Pemimpin bangsa dalam hal ini Presiden dalam kedudukan sebagai kepala Pemerintahan yang berintegritas dihasilkan dari penyelenggaraan pemilihan Umum berdasarkan pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta memenuhi prinsip-prinsip mandiri; jujur; adil; berkepastian hukum; tertib; terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; dan efisien.

Teori integritas pemilu sangat penting dalam menghasilkan suatu pemilu yang sesuai dengan prinsip dan asas pemilu. Penyelenggara pemilu yang berintegritas adalah apabila semua unsur penyelenggaraan pemilu harus jujur, transparan, akuntabel, dan cermat, serta akurat dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Bukan hanya penyelenggara pemilu yang berintegritas, semua aspek juga harus berintegritas, baik peserta pemilu/pemilih,profesionalitas penyelenggara pemilu. Pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis, maka harus dipastikan adanya lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki kemandirian dengan komisioner yang mempunyai kapasitas, moralitas yang baik dan profesional. Peningkatan kualitas personal penyelenggara sebagai orang yang profesional dalam melaksanakan pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari integritas pribadi, dengan penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas yang baik yang akan mendukung terwujudnya pemilu yang demokratis.

Presiden terpilih merupakan salah satu produk demokrasi yang dihasilkan dari penyelenggaraan Pemilihan umum yang dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan, penyelenggara Pemilihan Umum menyelenggarakan pemilihan umum sesuai fungsi dan tugas secara professional, jujur, mandiri, bermoral, transparan dan akuntable serta terbebas dari campur tangan kekuasaan yang pantas disebut sebagai pemimpin yang berintegritas, karena dipilih secara demokratis dan suka rela oleh mayoritas rakyat tanpa menggunakan politik uang.

Integritas merujuk pada sesuatu yang tidak dapat disuap atau kepatuhan yang kukuh pada pedoman nilai dan moral. Untuk dapat dikatakan seseorang memiliki integritas yang berkualitas adalah dengan mengatakan ia telah berbuat berdasarkan pedoman beretika, tidak dapat disuap dengan pertimbangan apapun. Sehingga, secara normatif, integritas atau disintegritas merupakan persoalan sosiologis yang dibebankan kepada perseorangan atau Lembaga.

Pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang menjalankan kekuasaan dengan berpedoman pada norma-norma, etika dan nilai-nalai yang berlaku dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, tidak tergoda dengan tawaran kompensasi apapun dalam kontek penegakkan hukum, jujur dan adil dalam membuat keputusan serta tidak berpihak kepada siapapun, kecuali berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Pemimpin dalam bahasa Inggris disebur “leader”. Kegiatannya disebutkepemimpinan atau leadership. Dari kata dasar leader berarti pemimpin dan akarkatanya to lead yang terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan:bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat palingdulu, memelopori, mengarahkan fikiran pendapat orang lain, dan mengerakkanorang lain dalam pengaruhnya. Pemimpin integritas dapat mengendalikan, mengarahkan, menggerakan organisasi negara dengan pengaruh dan kewibawaannya, sehingga semua urusan pemerintahan dapat ditangani secara professional dan akuntable.

Kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia ia menerima pengaruh itu, selanjutnya berbuat sesuatu yang bisa mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.

Karakter pemimpin berintegritas dalam kepemimpinannya adalah mampu menguasai keadaan dalam kondisi apapun, memiliki pengaruh yang kuat untuk mendorong, menggerakan serta memaksakan Lembaga-lembaga negara agar tetap konsisten menjalankan pemerintahan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Pemimpin Integritas mampu mencegah secara dini adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin lembaga-lembaga negara yang dapat merusak tatanan hukum dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Conclusion

Berdasarkan uraian pembahasan dan analisis tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa profesionalitas penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum harus memiliki iman yang Tangguh dan moral yang kuat dalam menghadapi tantangan berat baik secara internal maupun ekternal yang bermuara pada tantangan politik, hukum maupun aspek ekonomi. Penyelenggara Pemilihan Umum bertanggungjawab baik secara hukum maupun secara moral untuk melaksanaan Pemilihan Umum yang bebas, rahasia, jujur dan adil serta prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mewujudkan pemimpin bangsa yang berintegritas. Pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang menjalankan kekuasaan dengan berpedoman pada norma-norma, etika dan nilai-nilai yang berlaku dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, tidak tergoda dengan tawaran kompensasi apapun dalam kontek penegakkan hukum, jujur dan adil dalam membuat keputusan serta tidak berpihak kepada siapapun, kecuali berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

References

  1. Jaidun, Hukum Pemerintahan Daerah. Malang: Madza Media, 2023.
  2. R. S. Luhukay, ‘Pergulatan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dalam Perpektif Hukum dan Demokrasi’, Jurnal Hukum Caraka Justitia, vol. 4, no. 1, pp. 1–17, Jun. 2024, doi: 10.30588/jhcj.v4i1.1804.
  3. Jaidun, ‘Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Dalam Perspektif Negara Hukum Dan Demokrasi’, Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, vol. 1, no. 2, pp. 197–205, 2022.
  4. N. H. Sardini, Restorasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Fajar Media Press, 2011.
  5. M. R. Karim, Pemilu demokratis kompetitif. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
  6. G. Sorensen, ‘Democracy and Democratization: Procces and Prospects in Achanging World’, Terjemahan oleh I Made Krisna, dengan judul Demokrasi dan Demokratisasi, 2003.
  7. J. Simanjuntak, ‘Kemandirian Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia’, Papua Law Journal, vol. 1, no. 1, pp. 119–141, 2016.
  8. M. Iqbala and S. B. E. Wardhanib, ‘Integritas Penyelenggara Pemilu Adhoc, Praktik Electoral Fraud oleh Panitia Pemilihan di Provinsi Sumatera Utara’, 2020.
  9. Y. Ali, ‘Kepemimpinan dalam Perspektif Islam’, Bandung: Angkasa, 2008.
  10. B. Burhanuddin, ‘Kepemimpinan Pendidikan Islam’, Al-Qalam: Jurnal Kajian Islam dan Pendidikan, vol. 11, no. 1, pp. 9–13, Jun. 2019, doi: 10.47435/al-qalam.v1i1.44.
  11. H. Soetopo and W. Soemanto, Kepemimpinan dan supervisi pendidikan. 1984.
  12. Peraturan Perundang-undangan.
  13. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  14. Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
  15. Peratutan Presiden Republik Indonesia nomor 67 tahun 2018 tentang Kedudukan, tugas, fungsi, wewenang organisasi, dan tata kerja Sekretariat dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 140)
  16. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman prilaku penyelenggara Pemilihan Umum.