Yuli Rahmawati (1), Emy Rosnawati (2)
General Background: Environmental pollution from electronic waste has become a significant issue in Indonesia, especially in Sidoarjo, where improper disposal causes serious health and ecological risks. Specific Background: Despite existing environmental regulations, their enforcement at the regional level remains limited and inconsistent. Knowledge Gap: Previous studies focused more on waste management systems rather than on legal enforcement processes and administrative accountability. Aims: This study aims to analyze the implementation of environmental criminal law against electronic waste polluters in Sidoarjo Regency. Results: The findings show that law enforcement conducted by the Sidoarjo Environmental and Hygiene Service has not been optimal due to limited authority, inadequate facilities, and public indifference. Novelty: This study highlights the gap between legal norms and actual practices in local law enforcement. Implications: Strengthening interagency coordination and public awareness is essential to achieve effective electronic waste regulation and sustainable environmental governance.
Highlights:
Electronic waste law enforcement in Sidoarjo
Legal and administrative challenges
Community awareness in environmental protection
Keywords:Electronic Waste, Law Enforcement, Environmental Regulation, Local Government, Sidoarjo
Kerusakan lingkungan hidup atau pencemaran dan dampak yang ditimbulkan disuatu negara, tidak hanya akan dirasakan oleh negara di mana pencemaran atau kerusakan lingkungan terjadi, akan tetapi juga akan dirasakan oleh negara lain. Diperlukan suatu penanganan yang serius untuk menangani masalah pencemaran lingkungan, yaitu dengan adanya regulasi mengenai lingkungan hidup. Pada era globalisasi saat ini teknologi di Indonesia mengalami perkembangan yang semakin pesat. Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat barang elektronik saat ini sangat mudah didapat. Masa penggunaan barang elektronik sendiri memiliki kurun waktu yang relatif singkat. Sehingga barang elektronik yang sudah tidak digunakan menjadi tumpukan sampah.
Data yang bersumber dari The Global E-Waste Monitor, Indonesia pada tahun 2016 menduduki peringkat ke-sembilan negara yang memiliki sampah elektonik (E-Waste) setelah Prancis. Ini membuktikan bahwa Indonesia saat ini sudah tahap darurat mengenai persolaan sampah eloktronik. Tindak Pidana Lingkungan Hidup saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XV, yaitu mulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Pasal 97 UUPPLH menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan, sehingga maknanya bahwa level perbuatan tercelanya di atas pelanggaran [1]. Kerusakan lingkungan hidup atau pencemaran dan dampak yang ditimbulkan disuatu negara, tidak hanya akan dirasakan oleh negara di mana pencemaran atau kerusakan lingkungan terjadi, akan tetapi juga akan dirasakan oleh negara lain. Selain itu, regulasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia saat ini tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik,serta PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan danPengelolaanLingkunganHidup[2].
Seiring perkembangan teknologi begitu banyak permasalahan yang timbul termasuk dalam hal pencemaran lingkungan. Salah satu Penyebab terjadinya Pencemaran lingkungan karena adanya sampah elektronik (E-Waste). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 pada bagian lampiran menjelaskan bahwa kandungan Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3 ini juga terdapat pada peralatan elektronik [3]. Jika limbah elektronik tidak melalui proses pengolahan limbah, bukan hanya lingkungan saja yang tercemar, melainkan makhluk hidup juga akan merasakan dampaknya. Pengelolaan sampah elektronik harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak berizin yang telah tersertifikasi oleh pemerintah (dalam hal ini adalah KLHK). Di Indonesia sendiri, tercatat ada 6 perusahaan swasta terdaftar di KLHK yang berperan sebagai pengangkut, pengolah, dan pendaur ulang sampah elektronik [4].
Menurut data Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) setiap tahunnya, limbah elektronik berjumlah 20 sampai 50 juta ton dan sekitar 70% limbah tersebut dibuang di negara berkembang untuk dibuang dan didaur ulang. Sedangkan di Indonesia, Menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang dikutip dari republika.co.id, limbah elektronik yang dihasilkan pada bulan februari hingga Oktober 2020 mencapai 22 ton. Serta pada tahun 2021, sampah elektronik yang dihasilkan oleh 34 Provinsi yang ada di Indonesia mencapai 33 juta ton, data tersebut tersebut dihitung dari total 3.227 perusahaan [5]. Dari banyaknya sampah elektronik tersebut Pulau Jawa menyumbang sebanyak 56%, 22%-nya berasal dari Pulau Sumatera, dan yang lainnya terbagi dari seluruh daerah di Indonesia. Namun, sampah elektronik juga mengandung berbagai subtansi berbahaya seperti logam mulia dan logam tanah langkah (rare earth elements)sehingga banyak dilakukan upaya untuk pengelolaan kembali [6].
Pemerintah juga berupaya melibatkan peran para produsen dan distributor produk elektronik untuk ikut mengelola kembali sampah produk mereka. Skema take back berupa penarikan atau penerimaan kembali produk bekas oleh produsen atau distributor, baik itu ponsel, komputer, televisi, dan lainnya, untuk nantinya dikelola oleh mereka secara bertanggung jawab. Serta, pemerintah jugan menegakkan hukum dan juga sanksi bagi pelanggar berupa ancaman pidana hingga 10 tahun dan denda maksimum 10 Miliar. Ketentuan pidana tersebut tertuang pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sayangnya, upaya dalam pengelolaan kembali limbah tersebut, sering tidak memperhatikan tata kelola lingkungan sehingga terjadi pencemaran yang tidak terkendali. Nyatanya baru sekitar 17,4% yang berhasil dikelola dengan baik. Sisa lainnya masih tersimpan di rumahatau masuk ke tempat pembuangan sampah dan bercampur dengan jenis sampah lainnya. Pengelolaan limbah B3 membutuhkan peralatan yang canggih sehingga mengeluarkan dana yang cukup besar. Di indonesia, setiap industri yang menghasilkan limbah B3 tidak perlu membangun unit pengolahan limbah karena tidak efsien dan ekonomis. Akan tetapi, limbah B3 harus dikumpulkan dan disimpan dengan baik sehingga aman bagi lingkungan hidup. Setelah jumlahnya cukup, limbah ini dikirim ke perusahaan yang khusus mengelola limbah B3, antara lain terdapat di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Akan tetapi, masih terdapat oknum yang memperdagangkan limbah elektronik secara ilegal meskipun terdapat peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahaya yang timbul sebagai akibat perdagangan dan limbah sampah elektronik ini berdampak bagi masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan yang disebabkan penanganan dan pendaurulangan yang tidak tepat di negara importir dan akhirnya menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini sering muncul dikarenakan adanya penyelundupan dan perdagangan yang terselubung terhadap sampah elektronik baik melalui tempat-tempat tertentu di negara importir yang tidak terdeteksi aparat keamanan atau dengan cara mencari celah-celah peraturan yang berkaitan dengan sampah elektronik baik di negara eksportir maupun importir [7]. Sampah elektronik dapat digolongkan dalam B3, Kandungan logam berat yang banyak ditemukan di dalam limbah elektronik yaitu arsenik, berilium, kadmium, timbal dan merkuri. Kandungan tersebut dapat merusak ekosistem dan berdampak pada kesehatan. Contohnya, kandungan merkuri dapat merusak sistem otak dan kecacatan bawaan pada manusia [8].
Terjadinya Pencemaran Lingkungan Hidup dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Sampah elektronik dapat digolangkan dalam B3, dalam pasal 100-115 mengatur mengenai kualifikasi dan unsur-unsur delik lingkungan, yang salah satu ayatnya berisi perbuatan pidana yang dapat diancam pidana yaitu melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin dalam Pasal 102. Jadi apabila seorang atau korporasi melakukan pengelolaan sampah eloktronik tanpa izin dan membuat kerusakan lingkungan dapat diberi ancaman pidana dan denda.
Salah satu contoh kasus terkait pencemaran lingkungan akibat sampah elektronik yaitu kasus yang terjadi di Manjul Jakarta Timur, yang mana pada beberapa air sumur penduduk yang berada disana terdeteksi tercamar limbah elektronik yang mengandung kadmium, seng dan timbel akibat adanya pengolalaan sampah elektronik yang tidak sesuai dengan prosedur. Dampak dari pencemaran tersebut mengakibatkan timbulnya penyakit pernapasan dan gatal-gatal pada badan masyarakat disana. Dari kasus diatas tentu dibutuhkan penanganan langsung oleh pihak-pihak yang berkewajiban. Beberapa kasus lain yaitu pencemaran limbah B3 yang ada di Kabupaten Sidoarjo, seperti pencemaran limbah B3 oleh PT Maspion Unit I pada tahun 1998. Kasus ini merupakan salah satu pencemaran lingkungan di Kabupaten Sidoarjo yang berupa kasus yang cukup berat. Menyebabkan gudang dan areal pembuangan limbah PT Maspion disegel Bapedal sejak 28 Desember 1998. Kasus lainnya menimpa warga perumahan Delta Sari Permai Kelurahan Kureksari. Warga bersama dengan LSM setempat mendesak PT Panggung Elektronik (PT PE) untuk memindahkan cerobong limbahnya karena cukup meresahkan warga sekitar. Akibatnya, beberapa warga khususnya anak-anak dan balita terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Tanpa diketahui publik, kasus pencemaran yang dilakukan PT Maspion tersebut telah dihentikan penyidikannya oleh pihak kepolisian. Bukan sekali ini saja polisi menghentikan penyidikan kasus lingkungan di Jawa Timur. Surat yang sama pernah dikeluarkan untuk PT Surya Agung Kertas, perusahaan yang dituduh WALHI Jawa Timur membuang limbah ke sungai [9]. Dari beberapa kasus tersebut, maka dibutuhkan penegekan hukum pidana lingkungan untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan atau pengerusakkan lingkungan khususnya akibat dari sampah elektronik, karena tanpa kita sadari sampah elektronik begitu membahayakan lingkungan dan makhluk hidup. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahuin tentang penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan terkait sampah elektronik [10].
Adapun penelitian terdahulu yang sudah di lakukan oleh beberapa penulis lainnya dengan kasus yang cukup relevan dengan judul penelitan ini diantaranya penelitian yang disusun oleh Henny (2021) yang dimuat dalam jurnal hukum UNESA dengan judul Penegakan Hukum Administrasi Bagi Penghasil Limbah Elektronik Yang Melanggar Ketentuan Terkait Kewajiban Melaksanakan Pengelolaan Limbah Elektronik (E-Waste) Di Kota Surabaya. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah penegakan hukum administrasi yang dilaksanakan Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya sudah berjalan dengan semestinya. Pada tahun 2018-2019 ada peningkatan sebesar 16% kegiatan usaha yang diawasi. Terdapat 46 kegiatan usaha yang dikenakan sanksi administrasi yang dilakukan secara bertahap dari teguran tertulis hingga pembekuan izin [11]. Ria (2020) dengan judul Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Pelaku Pencemaran Lingkungan Hidup. Kesimpulan menunjukkan bahwa sampah saat ini sampah elektronik (E-Waste) digolongkan dalam bahan beracun dan berbahaya (B3), tidak diatur secara spesifik dalam suatu peraturan. Begitu pula dengan sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan akibat sampah elektronik masih digolongkan dalam sanksi untuk pelaku pencemaran lingkungan akibat bahan beracun dan berbahaya (B3) [12].
Selain itu, terdapat penelitian lain mengenai fenomena yang sama terkait sampah elektronik yaitu milik Dyah Safira (2019) yang berjudul Inovasi Kebijakan Pengelolaan Limbah (Studi pada Pengelolaan Limbah Elektronik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2019). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gerakan Pengumpulan Limbah Elektronik (E-Waste) merupakan sebuah program inovatif karena memenuhi keempat indikator inovasi yaitu kesesuaian, kerumitan, kemungkinan dicoba, dan kemudahan unuk diamati namun tidak memenuhi indikator keuntungan relatif. Serta dalam pelaksanannya menggunakan 7 prinsip inovasi yaitu kepemimpinan, manajemen resiko, kreativitas, integrasi organisasi, keunggulan, informasi sebagai sumber daya, dan pemahaman tentang pasar. Kemudian ditemukan bahwa pelaksanaan Gerakan Pengumpulan Limbah Elektronik (E-Waste) belum berjalan efektif karena adanya hambatan dalam faktor komunikasi [13].
Serta penelitian Ignatius dan Yulinah (2017) dengan judul Kajian Pengelolaan Limbah Elektronik di Unit Pendidikan ITS. Hasil penelitian data bahwa unit pendidikan ITS yang diteliti saat ini menyimpan berbagai jenis limbah elektronik, yaitu perangkat IT seperti: CPU, keyboard, mouse, laptop, printer, faksimile dan mesin fotocopy, kemudian alat elektronik rumah tangga berukuran besar seperti: lemari pendingin, kipas angin dan AC, alat elektronik untuk pencahayaan serta alat elektronik untuk laboratorium. Jumlah limbah elektronik yang disimpan oleh unit pendidikan ITS yang diteliti mencapai 1289 unit, dengan total berat 16.180 kg dan total volume 100.5 m3 . Limbah elektronik tersebut telah dikelola namun masih terdapat kekurangan dalam aspek-aspek tertentu. Kekurangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: keterbatasan kapasitas ruang penyimpanan limbah elektronik, kurangnya pengetahuan SDM pada masing-masing departemen tentang pengelolaan limbah B3 khususnya limbah elektronik, belum adanya kebijakan dari pimpinan ITS tentang pengelolaan limbah elektronik, dan tidak jelasnya mekanisme pemutihan barang milik negara [14].
Bahwa pada penelitian saat ini, meskipun pemerintah telah memberikan aturan ataupun hukum terkait limbah elektronik masih banyak yang hanya terfokuskan pada cara pengelolaan limbah elektronik yang benar. Sedikit penelitian yang memfokuskan seperti apa sanksi dari pelanggaran yang dialkukan dan sejauh mana penegakan hukum yang diterapkan. Yang bahkan hingga saat ini belum diketahui aturan terkait limbah elektronik berjalan secara optimal atau belum. Bahkan dalam jurnal-jurnal terkait penelitian ini, masalah pengendalian perdagangan sampah elektronik belum menemui titik terang penyelesaian hingga saat ini. Dan para pelaku perdagangan tersebut semakin bebas untuk menjual belikan sampah elektronik yang sudah dipastikan cukup berbahaya bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan sanksi atau hukum pidana lingkungan terhadap pelaku pencemaran lingkungan akibat sampah elektronik. Sehingga, penelitian ini penting dilakukan untuk mengamati dan menganalisis sejauh mana penegakan hukum mengenai limbah elektronik diterapkan di masyarakat. Dan seberapa optimalnya hukum-hukum mengenai pencemaran lingkungan yang ada di Kabupaten Sidoarjo karena yang terlihat saat ini limbah elektronik masih menumpuk di hilir sungai, rumah warga ataupun TPA. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sidoarjo karena hingga saat ini belum ada sosialisasi dari pemerintah setempat kepada masyarakat mengenai cara pengelolaan limbah elektronik sesuai dengan peraturan yang ada, sehingga mereka cenderung bersikap acuh dan membuang limbah ataupun sampah elektronik sembarangan, bahkan tidak jarang masyarakat tersebut justru menimbun sampah elektronik tersebut. Pengetahuan minim mengenai peraturan pengelolaan limbah yang ada di masyarakat Sidoarjo ini nantinya akan merusak ekosistem lingkungan dan bagi kesehatan tubuh.
Jenis penelitian yaitu menggunakan yuridis sosiologis dengan pendekatan empiris. Data primer yang digunakanUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XV, yaitu mulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Pasal 97 UUPPLH menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan, sehingga maknanya bahwa level perbuatan tercelanya di atas pelanggaran. Regulasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia saat ini tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik,serta PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengenai barang yang dilarang untuk diekspor dan diimpor yang didapatkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi menggunakan model interaktif Miles dan Huberman di lapangan [15]. Sedangkan data sekunderberupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana lingkungan terkait pencemaran lingkungan hidup akibat sampah elektronik. Teknik Analisa bahan hukum yang digunakan adalah deduktif. Selain itu, untuk memperoleh data yang sesuai dengan fakta di lapangan maka penelitian ini nantinya berlokasi di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo.
Seiring perkembangan teknologi, banyak permasalahan yang timbul termasuk dalam hal pencemaran lingkungan karena adanya sampah elektronik (e-waste). Tidak sedikit Masyarakat yang menganggap enteng persoalan sampah elektronik. Ketika Masyarakat tidak lagi menggunakan barang elektronik karena telah using, mereka langsung membuang tanpa berpikir Panjang bahwa Tindakan tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Bahkan regulasi yang mengatur tentang persolan sampah elektronik dari tahun ketahun pun mengalami perubahan. Peraturan secara khusus tidak membahas sampah elektronik namun hanya mengkalisifikasikannya dalam sampah spesifik yaitu sebagai Bahan berbaya dan beracun (B3). Dampak dari pencemaran dan pengelolaan sampah elektronik secara sembarangan ini sudah terbukti sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan, selain itu sampah elektronik sendiri memiliki berbagai macam jenis sehingga sulit untuk dilakukan pengelolaan bagi yang tidak mempunyai kewenangan. Dalam melakukan penanganan sampah elektronik haruslah memerlukan kebijakan dan peraturan pengelolaan sampah elektronik secara spesifik agar dapat terkelola dengan baik. Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup sangat diperlukan karena tujuannya yaitu untuk menyelamatkan masyarakat itu sendiri dan lingkungan hidup dari perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh para pelaku pencemaran lingkungan.
Sanksi dapat diberikan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk kaitannya pencemaran limbah elektronik dimana sanksi yang diberikan secara bertahap seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang antara lain :
a. Sanksi administrative berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha, dan/atau pencabutan perizinan berusaha.
b. Apabila pencemaran yang dilakukan mengakibatkan timbulnya korban/ kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan/atau Lingkungan Hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah.
Pengolah limbah B3 dalam penjelasannya terdapat pada Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun yang menyatakan bahwa “Pengolah Limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Pengolahan Limbah B3”. Jadi Pengolah limbah B3 (limbah elektronik) yang dimaksud dalam hal ini yakni pihak ketiga yang diberikan wewenang serta mendapat izin dari pemerintah baik izin lingkungan maupun izin operasional untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan limbah B3 (limbah elektronik) yang dimana limbah tersebut berasal dari penghasil limbah B3 baik dari perusahaan/industri maupun kegiatan usaha yang karena usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 (limbah elektronik), yang tidak mampu melakukan kegiatan pengelolaan limbahnya sendiri. Tentunya dengan peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut bertujuan untuk mengatur pengelolaan limbah B3 di Indonesia termasuk di Kabupaten Sidoarjo ini. Limbah elektronik sendiri termasuk kategori limbah B3 apabila dihasilkan oleh pelaku usaha yang memiliki izin berusaha. Sedangkan bila limbah elektronik tersebut dihasilkan oleh selain pelaku usaha contohnya seperti limbah elektronik yang dihasilkan dari rumah tangga maka termasuk dalam kategori sampah spesifik dimana pengelolaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Adapun peraturan di Kabupaten Sidoarjo, antara lain yaitu Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Kabupaten Sidoarjo [16]. Serta Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Berbahaya dan Beracun di Kabupaten Sidoarjo [17]. Merupakan peraturan yang dibuat oleh Bupati Sidoarjo untuk menangani pengelolaan limbah B3 di Sidoarjo. Dari peraturan-peraturan tersebut belum ada peraturan yang secara spesifik menjelaskan limbah elektronik, hanya ada limbah B3. Dengan kata lain limbah elektronik termasuk limbah B3 yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam peraturan bupati tersebut tertuang pasal dimana bupati memiliki wewenang untuk perizinan, pembinaan dan pengawasan pengelolaan limbah B3. Jadi, setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati. Berikut ini adalah contoh form perizinan perpanjangan limbah B3 :
Figure 1. Gambar 1. Form Perpanjangan Izin Limbah B3 Sumber : dlhk.sidoarjokab.go.id
Penegakan hukum lingkungan sangat berkaitan dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Aparatur dalam hukum lingkungan itu umumnya terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat hukum, Instansi Kementrian Lingkungan hidup, Instansi pemerintahan daerah, serta pihak-pihak memiliki keterkaitan di bidang lingkungan hidup. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo merupakan Lembaga yang memiliki tugas, pokok dan fungsi dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan lingkungan, penanggulangan dampak dan pemulihan lingkungan. Tugas pokok Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan atau DLHK tersebut merupakan pilar dalam mewujudkan Pembangunan kota. Serta DLHK memiliki wewenang dalam pengelolaan limbah termasuk limbah elektronik. Saat ini memang pihak DLHK memiliki wewenang dalam pengawasam, tetapi pelaksanaanya belum dilakukan. Kemudian peraturan-peraturan daerah terkait limbah elektronik kurang disosialisasikan dan dijelaskan oleh pihak DLHK kepada pihak-pihak terkait.
Sebagai aparatur pemerintah yang memiliki wewenang dalam pengendalian masalah lingkungan hidup, DLHK Kabupaten Sidoarjo memiliki sumber daya manusia yang mencukupi untuk pengelolaan limbah elektronik. Terdapat 3 (tiga) orang pengendali dampak lingkungan, 2 (dua) orang pengawas lingkungan hidup, lebih dari 6 (enam) orang penyuluh lingkungan hidup dimana mereka bersama sama dengan staf yang membidangi Lingkungan Hidup bekerja sama menangani setiap permasalahan yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup di Kabupaten Sidoarjo sesuai dengan tupoksinya masing-masing. DLHK Kabupaten Sidoarjo hanya memiliki kewenangan untuk menerbitkan ijin pengumpulan limbah B3 skala kabupaten untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa pengumpulan sampah elektronik. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada yang mengajukan usaha pengumpulan limbah meskipun sosialisasi telah dilakukan. Sedangkan untuk kegiatan penyimpanan limbah B3 memerlukan izin dari TPS terkait. Dan izin tersebut terintegrasi ke Persetujuan Lingkungan Hidup. Untuk memfasilitasi pelaku usaha, DLHK menerbitkan arahan rincian teknis penyimpanan limbah B3.
Sosialisasi bagi pelaku usaha dilakukan dengan harapan bahwa setiap penghasil paham dan mengerti bagaimana cara menyimpan limbah elektronik yang dihasilkan pada usaha atau kegiatan masing-masing serta dapat bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengelolakan limbah yang dihasilkannya serta mewajibkan setiap pelaku usaha termasuk pengembang perumahan untuk memiliki TPS dan melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Sosialisasi dan bimbingan teknis terkait pengelolaan limbah elektronik kepada pelaku usaha yang ada di Kabupaten Sidoarjo secara rutin 1 (satu) sampai 2 (dua) kali dalam setahun. Hingga saat ini, hanya dilakukan sosialisasi tanpa ada pelatihan dari pihak DLHK terkait pengelolaan limbah elektronik tersebut. Sejauh ini belum ada upaya khusus dari DLHK selain sosialisasi.
Dalam pelaksanaannya, DLHK memiliki anggaran rutin untuk biaya pengelolaan limbah elektronik ke pihak ketiga yang berizin. Akan tetapi anggaran yang dimiliki sangat terbatas sehingga kurang optimal dalam melakukan program dan sosialisasi. Karena anggaran yang terbatas itu membuat DLHK tidak bisa memberikan pelatihan kepada pihak-pihak pengelola, serta sarana dan prasarana belum memadai padahal sumber daya manusia yang dimiliki cukup mumpuni. Ketiadaan atau keterbatasan sarana dan fasilitas, akan sangat mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum lingkungan. Bahwa kenyataan menunjukan dalam penanganan kasus-kasus lingkungan akan melibatkan berbagai perangkat berteknologi canggih, yang untuk kepentingan operasionalisasinya memerlukan tenaga ahli dan biaya cukup mahal [18]. Bahkan hingga saat ini belum ada lahan khusus untuk pengumpulan limbah elektronik di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Di Jawa Timur hanya Kota Mojokerto yang mempunyai tempat pengelolaan limbah B3, itupun dengan kapasitas yang kecil sedangkan di Kabupaten Sidoarjo tidak ada sehingga proses pengelolaan limbah elektronik tersebut dialihkan ke Jawa Barat. Kekurangan dari hal tersebut adalah biaya yang cukup mahal karena menggunakan transportasi dengan jarak yang jauh dan tidak cukup menggunakan waktu hanya 1 (satu) jam. Bahkan dari DLHK kurang mengetahui jumlah atau total limbah elektronik yang valid di Sidoarjo.
Masyarakat dalam hal penghasil limbah elektronik baik dari perusahaan atau industri maupun kegiatan usaha yang dimana dari kegiatan atau usahanya berpotensi menghasilkan limbah B3 (limbah elektronik) berperan dalam penegakan hukum karena penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dan ketertiban di dalam masyarakat [19]. Masyarakat di Sidoarjo kurang sadar akan pentingnya bahaya atau dampak dari limbah elektronik. Bahkan beberapa dari mereka membuang sampah elektronik di tepi atau pinggiran tembok sungai. Padahal air adalah sumber utama kehidupan, jika limbah menumpuk dan mencemari air maka Masyarakat tidak dapat menggunakan air dengan aman kembali. Selain itu, terdapat penghasil limbah elektronik baik dari perusahaan atau industri maupun kegiatan usaha yang melanggar dan telah dikenai sanksi administrasi namun pelanggar tersebut tidak segera memenuhi dan tidak mematuhi ketentuan-ketentuan terhadap sanksi administrasi yang diberikan. Bahkan tidak jarang kegiatan usaha tersebut yang belum memiliki izin penyimpanan sementara. Seperti yang diketahui bahwa sebelum melaksanakan kegiatan penyimpanan sementara, penghasil limbah B3 (limbah elektronik) diwajibkan memiliki izin terlebih dahulu, izin ini berupa izin lingkungan dan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota dan melampirkan persyaratan izin. Dalam hal ini kurangnya tingkat ketaatan terhadap hukum atau ketentuan yang telah ditetapkan tersebut menjadi sebab masih sering terjadi tindak pelanggaran yang dilakukan oleh penghasil limbah elektronik baik dari perusahaan atau industri maupun kegiatan usaha. Apalagi Masyarakat cenderung memiliki pikiran jika peraturan baik tertulis ataupun tidak merupakan hanya gertakan dari pemerintah sehingga mereka tidak merasa takut ataupun jera.
Untuk dapat mengatasi persoalan sampah, erat kaitannya dengan kesiapan mental dan kebiasaan lingkungan yang dilakukan. Maka untuk dapat membentuk kebiasaan yang harus dikelola itu bukan dimulai dari sampahnya, tapi bagaimana caranya membentuk dan mengelola orang atau manusianya, sebagai produsen sampah. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi pemerintah dalam hal penguatan penegakan hukum atau sanksi tegas dalam regulasi pengelolaan sampah, untuk dapat mencegah masyarakat membuang sampahnya sembarangan. Sekaligus memaksa masyarakat untuk dapat melakukan pengelolaan sampah menjadi kebiasaan baru.
Sejauh ini pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo telah melakukan penegakan hukum terkait limbah elektronik. Akan tetapi, penegakan hukum administrasi yang dilaksanakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo ini masih belum berjalan dengan optimal. DLHK Kabupaten Sidoarjo hanya memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin pengumpulan limbah B3 skala kabupaten untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa pengumpulan sampah elektronik. Saat ini memang pihak DLHK memiliki wewenang dalam pengawasam, tetapi pelaksanaanya belum dilakukan. Kemudian peraturan-peraturan daerah terkait limbah elektronik kurang disosialisasikan dan dijelaskan oleh pihak DLHK kepada pihak-pihak terkait. Sampai saat ini, hanya sosialisasi pengelolaan limbah sejauh ini yang dilakukan pihak DLHK. Akan tetapi, meskipun ada sosialisasi terkait pengelolaan limbah elektronik, saat ini belum ada pihak ketiga sepeti pemilik industri limbah B3 yang mendaftarkan izin atau mengajukan usahanya dalam hal pengumpulan limbah meskipun sosialisasi telah dilakukan. Serta kendala yang dihadapi pihak DLHK yaitu sarana dan prasana yang tidak memadai dan anggaran yang sangat terbatas meskipun telah memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Meskipun sudah ada peraturan yang dibuat pemerintah mengenai pembuangan sampah elektronik, Masyarakat selaku penegak hukum cenderung acuh yaitu kurangnya tingkat ketaatan untuk mematuhi ketentuan terkait kewajiban melaksanakan pengelolaan limbah elektronik. Mereka tidak takut dengan sanki yang diberikan dan memilih untuk tidak membayar denda atau melakukan sanksi yang diberikan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan artikel ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih untuk keluarga saya, guru dan staff Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo, Bapak/Ibu dosen dan staff Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Serta untuk kedua orang tua saya serta rekan-rekan yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan hingga tugas akhir ini selesai.
[1] UU, Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009. [Online]. Available: [URL].
[2] PP, Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2021. [Online]. Available: [URL].
[3] PP, Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, 2014. [Online]. Available: [URL].
[4] M. Defitri, “Pengelolaan Sampah Elektronik dan Peraturannya di Indonesia,” Waste4Change, 2022. [Online]. Available: https://waste4change.com/blog/pengelolaan-sampah-elektronik-dan-peraturannya-di-indonesia/
[5] Rivan and Yogi, “In Picture: Limbah Elektronik di DKI Jakarta Capai 2 Ton Dalam 8 Bulan,” Republika, 2020. [Online]. Available: https://visual.republika.co.id/berita/qk1z54314/limbah-elektronik-di-dki-jakarta-capai-22-ton-dalam-8-bulan
[6] K. and F. Andi, “SDDPI Jajaki Kerjasama Kelola Sampah Elektronik,” Postel, 2023. [Online]. Available: https://www.postel.go.id/berita-sdppi-jajaki-kerjasama-kelola-sampah-elektronik-27-6000
[7] J. Priyono, “Pengendalian Perdagangan Sampah Elektronik: Kajian Perjanjian Internasional dan Kebijakan Perdagangan,” Jurnal Ilmu Hukum, vol. 48, no. 2, 2018. [Online]. Available: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/18258/13389
[8] Astuti, “Dampak Kandungan Logam Berat dalam Sampah Elektronik (E-Waste) terhadap Kesehatan dan Lingkungan,” Majalah Ilmiah Universitas Pandanaran, vol. 11, no. 25, pp. 1–8, 2013. [Online]. Available: http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article/view/145/142
[9] MYs, “Diam-Diam, Kasus Maspion di SP3-kan Mabes Polri,” Hukumonline, 2002. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/berita/a/diamdiam-kasus-maspion-disp3kan-mabes-polri-hol6981?page=all
[10] D. Wasista and Nawiyanto, “Perubahan Lingkungan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 1970–2006,” Repository UNEJ, 2014. [Online]. Available: https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/68102
[11] Henny, “Penegakan Hukum Administrasi Bagi Penghasil Limbah Elektronik yang Melanggar Ketentuan Terkait Kewajiban Melaksanakan Pengelolaan Limbah Elektronik (E-Waste) di Kota Surabaya,” Jurnal Hukum UNESA, vol. 8, no. 3, 2021. [Online]. Available: https://digilib.unesa.ac.id/detail/MTBjNThiNzAtNWFlOS0xMWViLWJmNzEtMDMxYzUwNTcyMDAy
[12] R. Khaerani, “Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Pelaku Pencemaran Lingkungan Hidup,” Alauddin Law Development, vol. 2, no. 2, 2020. [Online]. Available: file:///C:/Users/hp/Downloads/15363-Article%20Text-40518-1-10-20200818.pdf.
[13] D. Safira, Inovasi Kebijakan Pengelolaan Limbah: Studi pada Pengelolaan Limbah Elektronik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017–2019, Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
[14] Y. Ignatius, “Kajian Pengelolaan Limbah Elektronik di Unit Pendidikan ITS,” Jurnal Teknik ITS, vol. 6, no. 2, 2017. [Online]. Available: https://media.neliti.com/media/publications/509518-none-e112f0ef.pdf
[15] M. B. Miles, A. M. Huberman, and J. Saldana, Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook, 3rd ed. USA: Sage Publications, 2014.
[16] Peraturan Bupati, Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Kabupaten Sidoarjo, 2016. [Online]. Available: [URL].
[17] Peraturan Bupati, Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Kabupaten Sidoarjo, 2009. [Online]. Available: [URL].
[18] N. Herlina, “Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, vol. 3, no. 2, 2017. [Online]. Available: https://jurnal.unigal.ac.id/galuhjustisi/article/view/93/0
[19] E. Henny and H. Hezron, “Penegakan Hukum Administrasi bagi Penghasil Limbah Elektronik yang Melanggar Ketentuan,” Jurnal NOVUM, vol. 8, no. 3, 2021. [Online]. Available: https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/37565