Login
Section Education Policy

Policy Implementation of Stunting Prevention in Sidokerto Village

Pelaksanaan Kebijakan Pencegahan Stunting di Desa Sidokerto
Vol. 25 No. 4 (2024): October:

Dwi Mulyaningsih (1), Lailu Mursyidah (2)

(1) Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia
(2) Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia

Abstract:

Background: Stunting remains a major nutritional problem in Indonesia, particularly at the village level where implementation of national policies varies in effectiveness. Specific Background: Sidokerto Village in Sidoarjo is among the prioritized areas for stunting reduction programs. Knowledge Gap: Limited studies have examined how local governments apply national stunting policies through village-based health systems. Aim: This study analyzes the implementation of the stunting prevention program in Sidokerto Village using Edward III’s policy implementation theory. Results: The findings reveal effective communication and community engagement but limited resources, delayed fund disbursement, and insufficient training. Novelty: This research integrates psychosocial approaches with administrative perspectives to assess village-level health policy implementation. Implications: Strengthening local resource management, continuous cadre training, and bureaucratic efficiency are essential for sustainable stunting prevention in rural communities.


Highlights:
• Integration of psychological and administrative approaches
• Village-based implementation of national stunting policy
• Community participation and resource constraints


Keywords: Stunting, Policy Implementation, Village Health, Public Administration, Prevention

Pendahuluan

Indonesia mempunyai kasus gizi yang cukup serius yang ditandai dengan banyaknya masalah gizi yang di alami oleh balita, remaja, sampai dengan lanjut usia, stunting atau tubuh pendek merupakan salah satu permasalahan gizi yang di alami oleh balita yang menyebabkan gagal tumbuh pada tubuh dan otak akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama, sehingga anak yang mengalami stunting akan memiliki tubuh yang pendek dibandingkan dengan anak-anak seusianya dan memiliki keterlambatan berfikir.Stunting adalah salah satu masalah kesehatan yang menjadi sorotan bahkan dalam Permendesa PDTT tahun 2025 pencegahan dan penurunan stunting masih menjadi skala prioritas Penggunaan Dana Desa. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan. Sehingga anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam perfikir. Seorang anak dinyatakan stunting ketika tinggi badannya lima persen di bawah acuan normal.Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) tinggi badan anak stunting dibawah minus 2 standar devisi (SD) yaitu tinggi badan anak laki – laki 1 tahun yang stunting kurang dari 71,0 cm dan anak Perempuan stunting kurang dari 68,9 cm .

Prevelensi Stunting adalah persentase balita yang mengalami stunting dalam pertumbuhan fisiknya.Prevelensi stunting digunakan sebagai indikator untuk menilai masalah gizi pada kelompok balita disuatu wilayah atau negara.Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy Menyampaikan Target angka prevelensi stunting di Indonesia pada tahun 2024 adalah 14 %. Angka ini merupakan target pemerintah yang ingin dicapai dengan berbagai intervensi . seperti intervensi terhadap gizi anak ,intervensi terhadap kondisi rumah , Intervensi terhadap kesediaan air ,serta Pendampingan Calon pengantin sebelum menikah.Angka prevelensi stunting di Indonesia pada tahun 2023 adalah 21,5%. Angka ini hanya turun 0,1 % dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6%. Untuk mencapai target penurunan stunting pemerintah juga meningkatkan anggaran dana desa untuk penanganan stunting pada anak sebesar 14% pada tahun 2024.

Stunting merupakan masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. stunting juga dapat terjadi sejak janin dalam kandungan akibat masalah kurang asupan protein pada saat ibu sedang hamil juga dapat berpengaruh dari kondisi lingkungan. Masalah Kurang Energi Protein (KEP) yaitu salah satu masalah utama gizi yang dapat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Kekuranganm energi dan protein dalam jangka waktu lama akan menyebabkan terlambatnya pertumbuhan balita [1].

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting sampai dengan 40% pada tahun 2025. SDGs merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara anggota PBB pada tahun 2000 dan berakhir pada akhir tahun 2015. Namun keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, baik dari segi substansi maupun proses penyusunannya.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem kesehatan nasional, termasuk dalam upaya pencegahan stunting di tingkat desa. UU ini menegaskan bahwa penanganan masalah gizi, termasuk stunting, harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi, dimulai dari pemenuhan gizi ibu hamil hingga tumbuh kembang balita. Hal ini selaras dengan kebijakan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, yang mendorong pendekatan lintas sektor dan pelibatan aktif pemerintah daerah hingga ke level desa [2]. Dengan adanya kebijakan yang baru,semua peraturan perundang- undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan yang diatur dalam peraturan presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan Stunting. Selain itu terdapat peraturan turunan dari perpres Nomor 72 Tahun 2021 diantaranya adalah Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 tentang rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia Tahun 2021-2024 dan peraturan pada masing - masing Pemerintah Daerah sebagai pedoman pencegahan danpercepatan penurunan Stunting. Undang - undang Nomor 6 Tahun 2014 merupakan peraturan negara sebagai usaha untuk melindungi kearifan lokal. Undang - undang Desa dibentuk sebagai respon terhadap adanya suatu implementasi yang dibentuk oleh pemerintah desa untuk mampu memberikan pengakuan hak asal usul desa, demokrasi,musyawarah dan gotong royong [3]. Pradana dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Pemerintah Desa sebagai pemerintahan Tingkat dasar memiliki peran penting untuk mengurangi kasus stunting. Salah satunya dengan Upaya membangun Kerjasama antara pemerintah desa, bidan desa serta kader setempat untuk membentuk suatu program yang mengarah pada penurunan stunting.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Penaggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit bahwa " Penanggulangan masalah gizi yang sebagaimana diprioritaskan terhadap penyakit yang memerlukan upaya khusus untuk penyelamatan hidup dan mempunyai dampak besar pada kejadian stunting yang beresiko gagal tumbuh, gizi buruk, bayi sangat prematur, bayi berat lahir sangat rendah alergi protein susu sapi, kelainan metabolisme bawaan dalam penanganannya dilakukan di puskesmas dan rumah sakit".Penurunan prevalensi stunting dilakukan melalui 2 kerangka intervensi yaitu pencegahan (intervensi) gizi spesifik dan pencegahan (intervensi) gizi sensitif. Pada umumnya kegiatan pencegahan spesifik berada pada bagian kesehatan dan pendek jangkanya sehingga capaiannya bisa diperoleh secepat mungkin. Intervensi ini hanya menyumbang untuk tiga puluh persen pengurangan kasus anak kerdil (stunting). Berbeda dengan intervensi spesifik, rancangan pencegahan sensititif dilaksanakan dengan bermacam acara untuk membangun dibagian luar bidang kesehatan & menyumbang sekitar tujuh puluh persen terhadap pencegahan anak kerdil (stunting). Melihat target pencegahan ini ialah masyarakat/penduduk biasa.Upaya penanggulangan stunting dilakukan pemerintah melalui intervensi spesifik yang dilakukan oleh kementrian Kesehatan, Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dan intervensi sensitive terkait.

Periode 1000 hari pertama kehidupan adalah periode 270 hari saat janin dalam kandungan dan 730 hari setelah lahir dalam 2 tahun pertama kehidupan anak. Periode 1000 HPK / Golden Period adalah masa kehamilan, masa menyusui dan pemberian MP-ASI disebut juga Window opportunity ( periode yang tidak boleh terlewatkan ).maka dari itu pencegahan terutama pada 1000 HPK sangat dperlukan yakni mulai dari bayi dalam kandungan hingga usia 23 bulan ( Periode kehamilan,Periode menyusui bayi 0 – 6 bulan, Periode BADUTA 6-23 bulan ).Beberapa hal yang dapat dilakuakan untuk mencegah stunting pada periode 1000 HPK yaitu dengan memastikan ibu hamil mendapatkan asupan nutrisi yang baik, memastikan anak mendapatkan asupan Gizi yang seimbang, Memastikan anak mendapatkan kasih saying dan lingkungan yang sehat dan memastikan anak mendapatkan imunisasi untuk mencegah penyakit infeksi.

Figure 1. Gambar 1. Periode 1000 HPK ( 1000 hari pertama kehidupan ) Sebelas Intervensi Spesifik Stunting Difokuskan pada Masa Kelahiran dan Anak Usia 6-23 Bulan Sumber : Hasil Survey Status Gizi ( SGGI ) 20222

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan, kejadian stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal, stunting dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan tumbuh kembang bayi atau balita, seperti pola asuh, pemberian ASI ekslusif, pemberian MP-ASI, pemberia imunisasi lengkap, kecukupan protein dan mineral, penyakit infeksi, dan genetik. Secara eksternal dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga, seperti tingkat pendidikan ibu status pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga [4].Dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi "bahwa meingkatnya sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif merupakan komitmen global dan merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa dan negara Indonesia, bahwa untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi secara terus menerus".

Berdasarkan data Dinas Kesehatan ( Dinkes ) Kabupaten Sidoarjo, prevelensi stunting di Kabupaten Sidoarjo dari tahun 2022 hingga 2023 menurun 16,1% menjadi 8,4 %. Angka ini melampaui target nasional 2024 yang sebesar 14%. Namun angka stunting di Sidoarjo masih jauh diatas target jangka Panjang nasional 2045 yang ditetapkan sebesar 2%.Beberapa faktor penyebab stunting di Kabupaten Sidoarjo antara lain Asupan Gizi yang kurang baik pada ibu hamil dan balita, kurangnya pengetahuan tentang stunting pada ibu hamil dan anak balita., kurangnya akses terhadap layanan Kesehatan yang berkualitas, kurangnya sanitasi dan air bersih yang memadai.Faktor lainnya adalah terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, yang dapat mempengaruhi pemantauan dan penanganan kondisi stunting secara tepat. Kurangnya sanitasi dan air bersih yang memadai juga menjadi faktor penyebab utama, karena lingkungan yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko infeksi yang berdampak pada kesehatan anak, khususnya pada masa balita yang sangat rentan.Upaya pencegahan stunting di Kabupaten Sidoarjo memerlukan perhatian serius terhadap berbagai aspek ini, seperti peningkatan kualitas layanan kesehatan, edukasi kepada masyarakat, dan penyediaan infrastruktur yang mendukung kesehatan, seperti akses sanitasi yang lebih baik dan distribusi air bersih yang memadai. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor terkait lainnya, diharapkan prevalensi stunting dapat terus menurun dan tercapai target yang lebih ambisius pada masa mendatang.

Desa Sidokerto, sebagai salah satu desa yang ada di Kecamatan Buduran tidak terlepas dari permasalahan stunting pada balita kondisi ini menjadi tugas yang tidak ringan bagi pemerintah desa untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hasil pendataan terbaru tahun 2025 di Desa Sidokerto menunjukkan bahwa dari 510 balita yang tercatat dan dipantau melalui Posyandu, terdapat 30 balita yang mengalami gizi buruk. Gizi buruk didefinisikan sebagai kondisi kekurangan gizi akut yang ditandai dengan berat badan sangat rendah terhadap tinggi badan (BB/TB), dan sering kali terjadi akibat asupan makanan yang tidak mencukupi atau infeksi akut yang tidak tertangani. Artinya, sebanyak 5,88% balita di Desa Sidokerto mengalami gizi buruk, sebuah angka yang tidak dapat dianggap ringan karena menunjukkan adanya ancaman serius terhadap tumbuh kembang anak.Lebih jauh lagi, kondisi gizi buruk ini memiliki keterkaitan erat dengan stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh yang terjadi akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang, terutama selama periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Balita yang mengalami gizi buruk dan tidak segera mendapatkan penanganan, sangat berisiko mengalami stunting karena proses pertumbuhannya terganggu secara permanen.

Oleh karena itu, intervensi terhadap kasus gizi buruk harus menjadi prioritas utama dalam upaya pencegahan stunting di tingkat desa. Penanganan yang cepat dan tepat, seperti pemberian makanan tambahan, pengobatan infeksi, pemulihan gizi, serta edukasi kepada orang tua tentang pola makan sehat dan perawatan anak, sangat diperlukan untuk memutus rantai terjadinya stunting.Dengan menekan angka gizi buruk sedini mungkin, maka potensi meningkatnya kasus stunting di masa mendatang dapat dicegah secara efektif, sehingga kualitas generasi anak-anak Desa Sidokerto di masa depan dapat terjaga.Kejadian stunting terkait erat dengan status gizi dan kesejahteraan masyarakat.untuk itu dibutuhkan peran pemerintah desa untuk menurunkan angka kejadian stunting pada balita melalui program – program yang relevan dengan kondisi Masyarakat. Penanganan stunting perlu koordinasi lintas sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah,dunia usaha, masyarakat dan lainnya.Upaya penanggulangan stunting dilakukan pemerintah melalui intervensi spesifik yang dilakukan oleh kementrian Kesehatan, Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dan intervensi sensitive terkait.

Program Kegiatan Tahun Anggaran Anggaran
Sub Bidang Kesehatan 2023 68.000.000
Sub Bidang Kesehatan 2024 84.400.000
Sub Bidang Kesehatan 2025 131.660.687,44
Table 1. Tabel 1. Alokasi Program Dan Anggaran Penanggulangan Stunting Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto ,2025

Melihat Tabel 1 peran serta pemerintah sudah sesuai dengan rencana dan kebutuhan pencegahan serta penggulangan stunting. Hal ini terlihat dari alokasi dana program dan anggaran pencegahan serta penanggulangan stunting di Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo. Namun, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dan sangat penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya kesehatan balita. Pemenuhan kebutuhan PMT juga merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di Desa Sidokerto. Pemerintah desa telah mengalokasikan dana kesehatan yang bersumber dari dana desa, yang semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan arahan Permendes tahun 2024 sebagai upaya percepatan penurunan stunting, yang menjadi salah satu skala prioritas. Besaran alokasi dana untuk program ini minimal sebesar 15% yang bersumber dari dana desa.

Dari hasil observasi diatas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan program pencegahan stunting di desa-desa Indonesia sering kali terhambat oleh kurangnya koordinasi antar sektor, terutama antara sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial [5]. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan dengan wawancara mendalam terhadap pemerintah desa, petugas kesehatan, serta keluarga dengan balita yang terindikasi stunting. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun kebijakan sudah ada, realisasi di lapangan sering kali terkendala oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan keberlanjutan program. Selain itu, anggaran desa yang terbatas sering menjadi hambatan utama dalam penyelenggaraan program yang bersifat rutin.Selanjutnya dengan penelitian kedua dari Taufik dan Prasetyo meneliti peran pemerintah desa dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulangan stunting [6]. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dan studi kasus untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana pemerintah desa merencanakan dan melaksanakan program terkait stunting. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah desa berperan penting dalam membentuk tim khusus untuk penanggulangan stunting, mengalokasikan anggaran desa untuk program-program gizi, dan bekerja sama dengan puskesmas setempat. Namun, mereka juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam program ini masih rendah, terutama karena kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pencegahan stunting sejak dini.

Ketiga , pada penelitian oleh Subari dan Darmawan yang berfokus pada evaluasi program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) mengungkapkan hasil yang sangat positif dalam upaya menurunkan prevalensi stunting di desa-desa. Dengan desain eksperimen pre-test dan post-test, penelitian ini mengamati perubahan status gizi anak-anak setelah mereka mendapatkan PMT [7]. Hasilnya menunjukkan bahwa PMT dapat meningkatkan status gizi anak secara signifikan, yang pada gilirannya membantu mengurangi prevalensi stunting. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan program tidak hanya bergantung pada distribusi makanan, tetapi juga pada pemantauan yang konsisten dan keterlibatan keluarga dalam proses pemberian makanan.

Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu, terdapat keterkaitan antara masalah yang diteliti dalam penelitian ini dengan hasil temuan dari penelitian sebelumnya, yang juga ditemukan pada observasi awal. Masalah yang terkait adalah peranan pemerintah dan koordinasi antar sektor dalam pencegahan dan penanggulangan stunting di Desa Sidokerto, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan observasi lapangan, terdapat beberapa masalah terkait pencegahan dan penanggulangan stunting, di antaranya adalah kurangnya pengetahuan tentang stunting, terbatasnya sumber daya manusia yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan usia kader kesehatan, serta rendahnya partisipasi masyarakat dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan keberlanjutan.

Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana Kebijakan Program Pencegahan dan Penanganan Stunting di Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo Penulis menggunakan teori Implementasi Edward III. Teori Implementasi Edward III mengidentifikasi tiga faktor utama yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu konteks implementasi (kondisi sosial, politik, dan ekonomi), aktivitas implementasi (langkah-langkah yang diambil untuk melaksanakan kebijakan), dan sumber daya (dana, tenaga kerja, dan sarana pendukung).Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan dengan menggunakan teori ini, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasinya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan dan peluang dalam implementasi kebijakan publik.Penanganan stunting perlu koordinasi lintas sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah,dunia usaha, masyarakat dan lainnya.Upaya penanggulangan stunting dilakukan pemerintah melalui intervensi spesifik yang dilakukan oleh Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan program pencegahan stunting di Desa Sidokerto. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejauh mana kebijakan tersebut diterapkan di tingkat masyarakat, mengevaluasi efektivitas langkah-langkah yang telah diambil dalam mengurangi angka stunting, serta mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai peran masyarakat dan pihak terkait dalam mendukung kebijakan tersebut serta dampak yang dirasakan oleh keluarga dan anak-anak di desa tersebut..

Metode

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena stunting secara mendalam berdasarkan persepsi dan pengalaman informan terkait masalah ini. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai penyebab stunting dan upaya-upaya yang telah dilakukan di masyarakat.Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informasi yang diperoleh dari informan kunci, yaitu individu-individu yang memiliki pengetahuan atau pengalaman terkait dengan stunting. Sumber data diperoleh dari (1) Kades Desa Sidokerto, ( 2 ) Kasi Kesra Desa Sidokerto ( 3 ) Bidan Desa ,( 4 ) kader kesehatan dan ( 5 ) masyarakat Desa Sidokerto khusunya orang tua anak-anak stunting.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (interview) dan observasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang pemahaman dan pengalaman informan mengenai stunting, sementara observasi dilakukan untuk melihat langsung situasi dan kondisi lingkungan yang berpotensi memengaruhi prevalensi stunting.

Selain itu, studi dokumentasi akan digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait kebijakan dan program pemerintah atau lembaga terkait yang berfokus pada penanganan stunting.Teknik penentuan informan menggunakan purposive sampling, yaitu pemilihan informan yang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterlibatan langsung dalam mencegah dan penanggulangan stunting.Penganalisaan Data menurut Miles dan Huberman Pertama , Reduksi data dilakukan menyaring informasi, Kedua memfokuskan data yang relevan dengan tujuan penelitian, Ketiga Pengumpulan data reduksi dan Keempat penyajian kesimpulan. Tahap pertama dalam proses analisis data adalah reduksi data, yaitu proses menyaring dan merangkum informasi yang telah diperoleh dari lapangan, seperti hasil wawancara, observasi, atau dokumentasi [8].

Reduksi data merupakan tahap awal dalam proses analisis data kualitatif. Pada tahap ini, peneliti melakukan penyaringan terhadap data mentah yang diperoleh dari lapangan, seperti hasil wawancara, catatan observasi, atau dokumentasi. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan data dengan cara menghilangkan informasi yang tidak relevan, mengabstraksikan inti dari data, serta memusatkan perhatian pada informasi yang berhubungan langsung dengan fokus penelitian. Dengan melakukan reduksi data, peneliti dapat lebih mudah mengelola dan memahami keseluruhan data yang telah dikumpulkan. Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah memfokuskan data yang benar-benar relevan dengan tujuan penelitian. Pada tahap ini, peneliti mulai mengelompokkan data ke dalam kategori atau tema tertentu berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Proses ini membantu dalam mempertajam analisis serta menjaga agar penafsiran tidak melenceng dari konteks yang ingin dikaji. Fokus pada data yang relevan juga mempermudah peneliti dalam melihat pola-pola penting dan kecenderungan yang muncul dalam temuan. Tahap ini merupakan lanjutan dari reduksi dan pemfokusan data, di mana peneliti mengumpulkan kembali seluruh data yang sudah diseleksi dan dikategorikan untuk kemudian dianalisis lebih dalam. Data yang telah disederhanakan dan difokuskan dikaji secara lebih rinci, baik secara perbandingan antar informan maupun dalam konteks peristiwa yang terjadi. Proses ini memungkinkan peneliti untuk menyusun narasi yang utuh, membangun pemahaman menyeluruh, serta mulai menafsirkan makna-makna yang tersembunyi di balik data. Tahap terakhir dalam proses analisis data adalah penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data yang telah dianalisis disusun dalam bentuk narasi deskriptif, tabel tematik, atau kutipan langsung dari informan yang dianggap representatif. Penyajian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil temuan secara sistematis dan mudah dipahami. Selanjutnya, peneliti menarik kesimpulan berdasarkan temuan utama yang muncul selama proses analisis. Kesimpulan ini harus menjawab rumusan masalah penelitian dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori maupun praktik di lapangan [9].

Hasil dan Pembahasan

Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo

Desa sidokerto merupakan salah satu Desa diwilayah Kabupaten Sidoarjo yang menjadi sasaran program percepatan penurunan stunting sesuai dengan arahan pemerintah pusat melalui Srtategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting.Dalam upaya menurunkan angka stunting di Desa Sidokerto, pendekatan psikologi menjadi kunci dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Pendekatan ini menitikberatkan pada perubahan perilaku, pemahaman psikososial masyarakat, serta penguatan motivasi internal ibu, keluarga, dan komunitas.Pemerintah desa, bersama kader kesehatan dan tenaga pendamping, mengedepankan komunikasi empatik dan pendekatan interpersonal dalam membangun kesadaran dan kepercayaan masyarakat, khususnya kepada ibu hamil dan ibu balita. Melalui konseling gizi, edukasi pola asuh, dan penguatan peran keluarga, program ini tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif.Sebagai bagian dari strategi ini, setiap posyandu yang terintegrasi dalam program IntegrasiLayanan Primer (ILP) kini dilengkapi dengan layanan skrining rutin. Skrining ini meliputi pengukuran status gizi, deteksi dini masalah tumbuh kembang, serta asesmen psikososial keluarga. Hasil skrining menjadi dasar intervensi lanjut, baik secara medis maupun psikologis, dan membantu tenaga kesehatan dalam merancang pendekatan yang lebih tepat sasaran.Kegiatan posyandu tidak hanya berperan sebagai tempat pemantauan kesehatan anak, tetapi juga sebagai ruang pemberdayaan ibu dan keluarga. Kader dan tokoh masyarakat dilibatkan sebagai agen perubahan dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan secara kultural dan emosional. Pendekatan psikologis juga diterapkan dalam bentuk pembentukan kelompok dukungan ibu balita, penguatan harga diri dan peran ibu, serta konseling keluarga berbasis komunitas.Dengan menyatukan pendekatan psikologi, kegiatan skrining ILP, serta penguatan jejaring sosial di tingkat desa, program pencegahan stunting di Desa Sidokerto menjadi lebih terarah, partisipatif, dan berdampak jangka panjang bagi generasi masa depan .

Kegiatan penimbangan balita di Posyandu berbasis Integrasi Layanan Primer (ILP) di Desa Sidokerto dilakukan secara sistematis dan terintegrasi dengan layanan kesehatan dasar lainnya. Proses ini tidak hanya berfokus pada pemantauan tumbuh kembang anak, tetapi juga mencakup skrining kesehatan, edukasi gizi, dan tindak lanjut yang komprehensif.Kegiatan diawali dengan kedatangan ibu dan balita ke Posyandu. Kader mencatat kehadiran dan data identitas anak berdasarkan buku KIA dan rekap data sebelumnya. Setelah proses pendaftaran, anak menjalani skrining awal oleh petugas atau kader terlatih. Skrining ini meliputi pemeriksaan suhu tubuh, identifikasi gejala umum, serta pertanyaan singkat seputar riwayat kesehatan, imunisasi, dan pola makan.

Setelah itu, anak ditimbang menggunakan timbangan digital, dan diukur tinggi atau panjang badannya dengan alat ukur sesuai usia. Hasil pengukuran dicatat secara manual maupun digital, dan dianalisis untuk menentukan status gizi berdasarkan grafik WHO. Data ini kemudian diinput ke dalam sistem pencatatan nasional seperti e-PPGBM( Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).

Jika tersedia, anak juga menerima layanan tambahan seperti imunisasi, pemberian vitamin A ( satu tahun dua kali yaitu bulan februari dan Agustus ), obat cacing, atau makanan tambahan (PMT). Dalam pendekatan ILP, kegiatan penimbangan juga menjadi momen penting untuk konseling gizi. Ibu diberi edukasi langsung oleh kader atau petugas kesehatan mengenai pola makan sehat, ASI eksklusif, MP-ASI, serta perawatan anak yang tepat.

Bagi anak yang terindikasi mengalami masalah gizi, keterlambatan tumbuh kembang, atau kondisi medis lain, akan segera diarahkan untuk mendapatkan tindak lanjut atau rujukan ke puskesmas. Kader juga mencatat kasus-kasus khusus untuk pemantauan lanjutan atau kunjungan rumah.Sebagai penutup, ibu diberikan informasi mengenai jadwal kunjungan berikutnya. Dengan pendekatan terintegrasi ini, Posyandu ILP di Desa Sidokerto tidak hanya menjadi tempat penimbangan, tetapi juga pusat edukasi dan deteksi dini untuk mencegah stunting secara berkelanjutan.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan aparatur desa serta tenaga Kesehatan, implementasi kebijakan program pencegahan stunting telah dijalankan melalui berbagai program antara lain Pemberdayaan Posyandu ILP , Sosialisasi Percepatan Stunting ,Sosialisasi dapur sehat atasi Stunting, Kelas ibu Hamil serta peningkatan pelayanan Kesehatan ibu dan anak , Pemberian Makanan Tambahan ( PMT ) Dalam upaya memahami bagaimana kebijakan pencegahan stunting diimplementasikan di Desa Sidokerto, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, peneliti menggunakan kerangka teori implementasi kebijakan dari George C. Edward III, yangmengidentifikasi empat faktor penting:komunikasi, sumber daya, disposisi pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek ini digunakan untuk menilai efektivitas implementasi program dan mengidentifikasi faktor pendukung serta penghambatnya. Analisis ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap para pelaksana program di lapangan.Berikut 4 faktor pendukung dalam keberhasilan dan kegagalan dalam menjalankan program Pencegahan Stunting.

1. Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan Pencegahan Stunting

Komunikasi merupakan aspek fundamental dalam implementasi kebijakan, terutama untuk program pencegahan stunting yang memerlukan pemahaman dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, mulai dari aparat desa, tenaga kesehatan, kader posyandu, hingga masyarakat. Berdasarkan teori George C. Edward III, komunikasi mencakup proses penyampaian informasi kebijakan yang jelas, tepat sasaran, dan konsisten dari pembuat kebijakan kepada pelaksana serta penerima manfaat.Di Desa Sidokerto, implementasi kebijakan pencegahan stunting dilakukan melalui berbagai kegiatan komunikasi, yang paling menonjol adalah sosialisasi percepatan stunting. Sosialisasi ini digelar secara rutin di balai desa, posyandu, serta melalui kelompok PKK dengan tujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya stunting, faktor penyebab, serta langkah pencegahannya.Hasil wawancara dengan PLH Kepala Desa Sidokerto Bapak Subagyo mengungkapkan:

“Kami terus melakukan sosialisasi agar warga memahami bahwa stunting bukan hanya masalah fisik anak yang pendek , tapi juga masalah perkembangan otak dan potensi masa depan mereka . Kami ingin mengubah pola pikir masyarakat , agar lebih peduli terhadap gizi dan pola asuh anak serta memberikan skrining di setiap kegiatan Posyandu ILP ”

Berikut adalah dokumentasi kegiatan sosialisasi percepatan stunting dan sosialisasi dapur sehat atasi stunting yang rutin dilaksanakan setiap tahun beserta kegiatan Rembuk Stunting.

Figure 2. Gambar 2. Kegiatan Sosialisasi Perecepatan Stunting dan Sosialisasi Dapur Sehat Atasi Stunting Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto Tahun 2024

Dari hasil dokumentasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa sosialisasi merupakan wujud nyata komunikasi kebijakan dalam program pencegahan stunting di tingkat desa. Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kualitas komunikasi ini. Oleh karena itu, perlu upaya peningkatan kapasitas komunikasi pelaksana, inovasi media edukasi, serta pendekatan yang lebih partisipatif agar pesan kebijakan tidak hanya diterima secara pasif, tetapi juga diresapi dan diimplementasikan oleh masyarakat secara mandiri.

Selain sosialisasi, komunikasi juga diwujudkan melalui pelaksanaan Posyandu ILP yang menggabungkan kegiatan penimbangan, pemantauan, serta edukasi gizi secara langsung kepada ibu-ibu balita dan ibu hamil. Kader posyandu menjadi agen komunikasi yang menghubungkan program pemerintah dengan masyarakat.Namun demikian, komunikasi yang dilakukan di Desa Sidokerto masih menghadapi beberapa kendala [10], di antaranya yaitu Keterbatasan media edukasi yang menghambat penyampaian pesan secara menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan literasi berbeda-beda.Rendahnyapemahaman awal masyarakat, yang menyebabkan sosialisasi perlu diulang berkali-kali agar pesan kebijakan benar-benar terserap dan diinternalisasi.Pendekatan komunikasi yang masih cenderung top-down, sehingga belum mampu mendorong dialog aktif dan partisipasi masyarakat secara luas. Ibu Endang Pujirahayu Kader Posyandu juga menyampaikan:

“Kami sudah menyampaikan banyak informasi melalui sosialisasi dan penyuluhan . Tapi sering kali masyarakat masih bingung , apalagi soal kaitan antara gizi dan perkembangan anak . Kami butuh pelatihan supaya bisa komunikasi dengan cara yang lebih mudah dimengerti .”

Berikut Hasil Dokumentasi kegiatan posyandu ILP yang Rutin dilaksanakan setiap 1 Bulan dengan kegiatan penimbangan, pemberian vitamin A, Imunisasi serta edukasi gizi oleh Bidan desa yang bekerjasama dengan Kader Kesehatan dimasing- masing Posyandu.

Figure 3. Gambar 3. Kegiatan Posyandu ILP ( Ukur Berat Badan ,Pemberian Vit A dan Imunisasi ) Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto Tahun 2025

Dari hasil wawancara dan gambar diatas Komunikasi merupakan faktor kunci dalam implementasi kebijakan pencegahan stunting. Berdasarkan teori George C. Edward III, komunikasi harus jelas, konsisten, dan sampai ke sasaran. Komunikasi dalam implementasi kebijakan pencegahan stunting di Desa Sidokerto telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan teori George C. Edward III. Informasi mengenai bahaya dan pencegahan stunting disampaikan secara rutin dan jelas melalui berbagai forum seperti sosialisasi di balai desa, posyandu, dan kelompok PKK. Kepala desa, kader posyandu, dan tenaga kesehatan memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Upaya komunikasi ini tidak hanya bersifat satu arah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat, seperti sesi tanya jawab dan diskusi kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai fondasi implementasi kebijakan telah difungsikan secara tepat di lapangan.

2. Sumberdaya dalam Implementasi Kebijakan Pencegahan stunting

Sumber daya merupakan faktor penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan, yang mencakup sumber daya manusia (SDM), dana, sarana-prasarana, informasi, dan waktu. Di Desa Sidokerto, program pencegahan stunting didukung oleh kader posyandu, tenaga kesehatan, dan aparatur desa. Meskipun jumlah SDM cukup, masih ada keterbatasan dalam keterampilan teknis dan pemahaman kebijakan.Dari segi pendanaan, alokasi dana desa telah disiapkan, namun pencairannya sering terlambat sehingga menghambat pelaksanaan beberapa kegiatan [11]. Sarana dan prasarana seperti timbangan dan alat ukur tinggi badan juga belum sepenuhnya memadai - beberapa mengalami kerusakan atau tidak akurat.Selain itu, pelatihan dan akses informasi bagi kader masih kurang intensif. Hal ini memengaruhi kemampuan mereka dalam melakukan edukasi dan intervensi gizi secara efektif. Di sisi lain, keterbatasan waktu kader yang bekerja sukarela juga menjadi tantangan dalam menjaga konsistensi kegiatan.Secara keseluruhan, sumber daya yang tersedia cukup mendukung program, tetapi perlu diperkuat agar implementasi kebijakan berjalan lebih optimal dalam menjalankan berbagai program pencegahan stunting. Namun demikian, keterbatasan sumber daya masih menjadi kendala utama, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Endang Bidan Desa

“Kami berusaha maksimal , tapi alat pengukur seperti timbangan dan stadiometer sering kali rusak atau kurang lengkap . Dana untuk membeli bahan PMT juga terbatas sehingga kami harus menyesuaikan dengan anggaran yang ada .”

Berikut tampilan data sumber daya program pencegahan stunting yang kami dapatkan dari hasil wawancara kader Kesehatan , Pemerintah Desa dan hasil survey lapangan.

Jenis Sumber Daya Kondisi di Lapangan Keterangan Tambahan
Sumber Daya Manusia - 7 kader posyandu aktif / Pos- 1 bidan desa - 1 petugas puskesmas Jumlah cukup, namun butuh pelatihan teknis lebih lanjut
Dana Program Dana dialokasikan dari APBDes untuk PMT, pelatihan, dan penyuluhan, Bantras Kader Pencairan sering terlambat, berdampak pada jadwal kegiatan
Sarana dan Prasarana - 2 timbangan bayi (1 rusak) / Pos- - 2 stadiometer (1 tidak akurat) / Pos- - Ruang posyandu seadanya ( Sebagian dirumah Warga ) Fasilitas kurang lengkap, memengaruhi akurasi pengukuran
Pelatihan & Informasi Pelatihan dari puskesmas dilakukan setahun sekali Kurangnya pelatihan menyebabkan kader kurang percaya diri
Waktu Pelaksanaan Mayoritas kader bekerja sukarela, punya tanggung jawab lain di rumah atau pekerjaan Waktu terbatas, memengaruhi keberlangsungan kegiatan lapangan
Table 2. Tabel 2. Data Sumber Daya Program Pencegahan Stunting di Desa Sidokerto Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto Tahun 2025

Dari data tersebet menunjukkan bahwa meskipun sumber daya manusia tersedia, dukungan sarana dan prasarana yang memadai belum sepenuhnya terpenuhi. Keterbatasan alat ukur dan bahan makanan tambahan menghambat proses monitoring dan intervensi gizi yang optimal.Dukungan dana juga menjadi kendala yang cukup signifikan. Sekretaris Desa Bapak Suhermanto menyatakan bahwa dana desa dialokasikan untuk program pencegahan stunting, tetapi realisasinya terkadang mengalami keterlambatan sehingga berimbas pada jadwal pelaksanaan kegiatan.

“Dana untuk kegiatan stunting sudah ada dalam APBDes , tapi pencairannya tidak selalu tepat waktu . Ini membuat beberapa kegiatan seperti pelatihan kader dan pengadaan bahan PMT harus tertunda .”

( Wawancara , Bapak Salim Abdillah Kasi Kesra ) .

Selain itu, pelatihan dan pengembangan kapasitas kader serta petugas kesehatan yang berkelanjutan juga menjadi kebutuhan penting. Pelatihan yang terbatas menyebabkan beberapa pelaksana kurang memahami secara mendalam tentang metode intervensi gizi dan teknik komunikasi efektif kepada masyarakat.Secara keseluruhan, kondisi sumber daya di Desa Sidokerto sudah menunjang pelaksanaan program, tetapi masih perlu diperkuat terutama dari segi penambahan alat ukur, pengadaan bahan PMT yang memadai, pencairan dana yang tepat waktu, dan peningkatan kapasitas pelaksana. Peningkatan sumber daya ini akan memperkuat efektivitas komunikasi dan pelaksanaan kegiatan lapangan sehingga kebijakan pencegahan stunting dapat berjalan optimal. Dalam hal sumber daya, implementasi kebijakan pencegahan stunting di Desa Sidokerto belum sepenuhnya sesuai dengan teori. Walaupun jumlah sumber daya manusia (SDM) seperti kader dan tenaga kesehatan terpenuhi, mereka masih menghadapi tantangan berupa kurangnya pelatihan teknis, waktu yang terbatas, serta minimnya dukungan insentif. Selain itu, alat ukur gizi seperti timbangandan stadiometer sering rusak atau tidak akurat, yang berdampak pada akurasi pemantauan status gizi anak. Dana desa memang telah dialokasikan untuk mendukung program, namun seringkali terjadi keterlambatan pencairan yang menghambat kelancaran kegiatan seperti PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Dengan demikian, dari sisi sumber daya, pelaksanaan program masih memerlukan penguatan agar lebih optimal.

3 . Disposisi Pelaksana dalam Implementasic Kebijakan Pencegahan Stunting

Pelaksanaan program pencegahan stunting di Desa Sidokerto menunjukkan bahwa disposisi pelaksana, yakni kader posyandu dan tenaga kesehatan, memiliki sikap dan komitmen yang cukup tinggi dalam menjalankan berbagai kegiatan program meskipun menghadapi sejumlah tantangan. Para pelaksana sangat memahami pentingnya upaya pencegahan stunting bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak, sehingga mereka secara aktif terlibat dalam sosialisasi, pemberian makanan tambahan, pemantauan pertumbuhan [12], serta pendampingan langsung ke rumah-rumah warga. Motivasi kerja para kader sebagian besar berasal dari keinginan tulus membantu masyarakat dan kontribusi terhadap masa depan generasi desa, meskipun ada rasa kelelahan dan penurunan semangat yang muncul akibat beban tugas yang cukup berat serta keterbatasan insentif finansial yang diterima. Berikut Hasil Wawancara dan dokumentasi Kegiatan Kader Kesehatan sebagai salah satu disposisi Pelaksanaan dalam implementasi Pencehagan stunting. Salah satu kader posyandu Ibu Lisdawati mengungkapkan,

Kami merasa program ini sangat penting, jaditetap kami jalankanmeskipunkadangcapek dan danmendapatinsentif yang minim

Selain itu, pelaksana menjalankan program sesuai prosedur dan pedoman yang diberikan oleh dinas kesehatan dan puskesmas, namun terkadang kendala teknis seperti keterbatasan pemahaman materi serta kekurangan sarana dan prasarana menjadi hambatan dalam pelaksanaan optimal di lapangan. Ibu Karmila yulianti Seorang kader juga menyampaikan ,

Kalauhanyamenungguinstruksi, kadangterlalu lama. Kami inisiatif sendirikerumahwargaterutamakunjungankerumahbalita yang membutuhkanperhatiankhusus”.

Di luar itu, inisiatif individu para kader sangat terlihat, karena mereka tidak hanya menunggu arahan resmi, melainkan juga secara proaktif melakukan kunjungan rumah dan memberikan edukasi kepada keluarga yang berisiko mengalami stunting.

Figure 4. Gambar 4. Kunjungan Kerumah Warga Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto Tahun 2025

Gambar dan hasil wawancara menunjukkan tingkat loyalitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi dalam mendukung keberhasilan program. Namun, untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas disposisi ini, sangat dibutuhkan dukungan yang lebih konsisten berupa pelatihan rutin untuk meningkatkan kapasitas teknis, pemberian insentif yang memadai agar motivasi tetap terjaga, serta pengakuan formal yang dapat memperkuat peran dan semangat pelaksana. Dengan begitu, disposisi pelaksana tidak hanya menjadi modal sosial yang kuat dalam implementasi kebijakan, tetapi juga dapat berkontribusi secara berkelanjutan dalam upaya percepatan penurunan angka stunting di desa tersebut. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan salah satu indikator yang sangat sesuai dengan teori George C. Edward IIIdalam konteks Desa Sidokerto. Kader posyandu dan tenaga kesehatan menunjukkan komitmen yang tinggi dalam melaksanakan program pencegahan stunting. Mereka tetap aktif menjalankan tugas, meskipun menghadapi beban kerja yang berat dan insentif yang terbatas. Bahkan, para kader sering menunjukkan inisiatif pribadi, seperti melakukan kunjungan rumah ke keluarga berisiko tanpa menunggu instruksi formal. mencerminkan bahwa disposisi pelaksana sudah sangat mendukung keberhasilan implementasi. Ini menunjukkan bahwa motivasi dan rasa tanggung jawab sosial menjadi penggerak utama dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan.

4 . Birokrasi dalam Implementasi Kebijakan Pencegahan Stunting

Struktur birokrasi memegang peranan krusial dalam pelaksanaan kebijakan pencegahan stunting, karena menentukan bagaimana koordinasi, komunikasi, dan pengelolaan sumber daya antar lembaga berjalan secara efektif. Di Desa Sidokerto, struktur birokrasi yang mengatur program ini melibatkan beberapa pihak, mulai dari pemerintahan desa, puskesmas Kecamatan Buduran, hingga tenaga kesehatan dan kader posyandu yang menjadi garda terdepan pelaksanaan di lapangan.Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, koordinasi antar lembaga sudah berjalan cukup baik dengan adanya mekanisme rapat koordinasi rutin dan pembagian tugas yang jelas. Kepala desa bersama perangkat desa berperan aktif dalam mendukung kegiatan program dengan menyediakan fasilitas dan pengawasan secara langsung. Puskesmas sebagai lembaga teknis kesehatan juga memberikan supervisi serta pelatihan kepada kader posyandu secara berkala.Namun demikian, beberapa kendala masih ditemui dalam struktur birokrasi, terutama terkait dengan prosedur administrasi dan alur pelaporan yang dinilai kurang fleksibel dan terkadang memakan waktu lama. Hal ini mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam pencairan anggaran dan distribusi bantuan seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Bapak Salim Abdillah Kasi Kesra desa menyampaikan:

Terkadang kami harusmenungguberhari-hariuntuk proses administrasipencairan dana, inimembuatjadwalkegiatansedikitterganggu

Selain itu, komunikasi antar tingkat birokrasi juga masih memerlukan peningkatan agar setiap informasi terkait perubahan kebijakan, jadwal kegiatan, atau masalah lapangan dapat disampaikan dengan cepat dan jelas. Beberapa tenaga kesehatan mengungkapkan bahwa kurangnya alur komunikasi yang lancar dapat menimbulkan kebingungan bagi kader posyandu saat melaksanakan program di masyarakat. Penjelasan bapak M Salim Abdillah Kasi Kesra diperkuat oleh Ibu Rusiati Rahayu sebagai kader Posyandu Desa Sidokerto menyampaikan bahwa

Seringkali kami harusmenungguberhari-hariuntuk proses administrasipencairan dana. Padahal, kegiatansudahdijadwalkan, dan kami perlumembelibahanatauperlengkapanuntukpelatihangizi dan skrining di posyandu. Inimembuatjadwalkegiatansedikitterganggu. Kami pahamkalauadaprosedur yang harusdijalani, tapiseandainyaprosesnyabisadipercepatatauada dana operasionalawal, kegiatanbisaberjalanlebih lancer “

Meski begitu, struktur birokrasi yang ada sudah memberikan peluang bagi partisipasi aktif masyarakat melalui peran kader posyandu yang mendapat bimbingan teknis dari puskesmas dan dukungan administratif dari desa. Keberadaan struktur ini mempermudah pelaksanaan program di tingkat bawah dan memperkuat sinergi antara pemerintah desa dan instansi kesehatan.Secara keseluruhan, struktur birokrasi di Desa Sidokerto sudah berjalan sesuai fungsi, meskipun masih perlu dilakukan perbaikan pada aspek kelancaran administrasi dan komunikasi antar lembaga. Dengan penyederhanaan prosedur dan peningkatan koordinasi, struktur birokrasi akan lebih efektif mendukung keberhasilan program pencegahan stunting serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Dari hasil wawancara para pemangku kebijakan dapat diketahui bagaimana kondisi lapangan dalam struktur program pencegahan Stunting di Desa Sidokerto. Berikut disertakan ringkasan Struktur Birokrasi program pencegahan Stunting di Desa Sidokerto.

Aspek Struktur Birokrasi Kondisi di Lapangan Keterangan Tambahan
Koordinasi Antar Lembaga Rutin dilakukan antara pemerintah desa, puskesmas, dan kader Koordinasi mendukung kelancaran pelaksanaan program
Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab Sudah ada, tapi belum sepenuhnya efektif Kadang masih terjadi tumpang tindih peran
Prosedur Administrasi Pengajuan dan pencairan dana lambat dan birokratis Menghambat pelaksanaan kegiatan tepat waktu
Komunikasi Internal Belum maksimal antara puskesmas dan pelaksana di desa Perlu sistem komunikasi lebih efisien
Pelibatan Masyarakat Kader posyandu aktif terlibat langsung dalam pelaksanaan Peran mereka sangat krusial di tingkat komunitas
Table 3. Sumber : Pemerintah Desa Sidokerto Tahun 2025

Tabel 3 menunjukkan Struktur birokrasi dalam implementasi program pencegahan stunting di Desa Sidokerto secara umum sudah berjalan cukup baik, dengan adanya koordinasi antar lembaga dan pembagian peran. Namun, hambatan birokrasi dalam pencairan anggaran, kurangnya kejelasan alur kerja, serta belum optimalnya komunikasi antarpihak masih menjadi tantangan. Perlu adanya penyederhanaan prosedur administratif dan penguatan sistem komunikasi untuk mendukung pelaksanaan program yang lebih efisien dan responsif di tingkat desa [13]. Struktur birokrasi dalam pelaksanaan kebijakan pencegahan stunting di Desa Sidokerto sebagian besar telah sesuai dengan teori George C. Edward III, namun masih memerlukan beberapa perbaikan. Struktur pelaksana melibatkan unsur pemerintah desa, puskesmas, tenaga kesehatan, dan kader posyandu [14]. Terdapat mekanisme koordinasi rutin dan pembagian tugas yang jelas antar lembaga. Pemerintah desa mendukung melalui penyediaan fasilitas dan pengawasan kegiatan, sementara puskesmas memberikan bimbingan teknis [15]. Namun, beberapa hambatan masih ditemui, seperti prosedur administrasi yang lambat dan kurang fleksibel, serta komunikasi antarlembaga yangbelum lancar, terutama dalam menyampaikan perubahan jadwal atau kebijakan. Hambatan ini berdampak pada keterlambatan dalam distribusi bantuan dan pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, meskipun struktur sudah berjalan, penyederhanaan prosedur dan peningkatan koordinasi antar aktor birokrasi sangat diperlukan

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dianalisis menggunakan pendekatan teori implementasi kebijakan menurut George C. Edward III, implementasi program pencegahan stunting di Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo menunjukkan kinerja yang cukup baik, meskipun belum sepenuhnya optimal. Dari aspek komunikasi, terlihat bahwa informasi mengenai program telah disosialisasikan melalui berbagai media dan kegiatan seperti penyuluhan, kelas ibu hamil, dan sosialisasi Dapur Sehat Atasi Stunting. Namun, masih ditemukan kendala dalam hal ketidakteraturan aliran informasi dari tingkat puskesmas ke kader, serta minimnya penggunaan media komunikasi digital yang dapat mempercepat distribusi informasi teknis dan administratif. Pada aspek sumber daya, ketersediaan tenaga pelaksana seperti kader posyandu, bidan desa, dan petugas gizi sudah mencukupi secara kuantitatif, tetapi dari sisi kualitas masih diperlukan pelatihan berkelanjutan. Keterbatasan sarana seperti alat ukur pertumbuhan yang rusak dan ruang pelayanan yang seadanya, serta pencairan dana yang lambat akibat prosedur administrasi yang berbelit, menjadi hambatan utama yang mengganggu kelancaran program. Sementara itu, disposisi pelaksana justru menjadi salah satu kekuatan utama dalam pelaksanaan program ini. Kader posyandu dan tenaga kesehatan menunjukkan sikap yang antusias, peduli, dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas mereka, bahkan dengan keterbatasan insentif dan dukungan logistik. Mereka seringkali mengambil inisiatif sendiri, termasuk melakukan kunjungan rumah dan pendampingan langsung kepada keluarga sasaran. Dari sisi struktur birokrasi, program sudah memiliki alur koordinasi dan pembagian peran yang relatif jelas antara pemerintah desa, puskesmas, dan pelaksana di tingkat masyarakat. Namun, masih ada kendala dalam birokrasi keuangan dan teknis yang membuat beberapa kegiatan terhambat, serta komunikasi lintas sektor yang belum terstruktur dengan baik. Oleh karena itu, meskipun implementasi program pencegahan stunting di Desa Sidokerto telah berjalan secara aktif dan menunjukkan kemajuan, perlu dilakukan penguatan di setiap aspek utama—terutama dalam hal pengelolaan informasi, efisiensi birokrasi, peningkatan kapasitas pelaksana, serta pengadaan sarana yang memadai.

Ucapan Terima Kasih

Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan jurnal ilmiah yang berjudul "Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Desa Sidokerto" Saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Desa Sidokerto, Bidan Desa Sidokerto , Kader Kesehatan Desa Sidokerto ( Posyandu Lavender Pos 1 – 8 )dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data, informasi, serta berpartisipasi aktif . Namun, besar harapan saya agar penelitian ini dapat memberi manfaat, baik bagi masyarakat Desa Sidokerto dalam pencegahan stunting, maupun bagi pembaca yang membutuhkan referensi terkait kebijakan kesehatan masyarakat di tingkat desa.

References

[1] S. Dewi and A. Yuliana, “Implementasi Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Kesehatan Masyarakat,” Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 18, no. 3, pp. 222–229, 2022.

[2] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, 2021.

[3] S. Fauzi, Pencegahan dan Penanggulangan Stunting: Perspektif Kesehatan Masyarakat, 2019.

[4] R. Yuliawati and H. Nugroho, “Analisis Implementasi Program Pencegahan Stunting di Tingkat Desa,” Jurnal Administrasi Publik, vol. 15, no. 2, pp. 112–120, 2019.

[5] T. Suryanto and M. Purnomo, Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Indonesia: Teori dan Praktik, 2020.

[6] A. Prasetyawati, “Motivasi Kader dalam Pelaksanaan Program Pencegahan Stunting,” Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 16, no. 1, pp. 45–52, 2021.

[7] S. Notoatmodjo, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta, 2014.

[8] M. B. Miles and A. M. Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: UI Press, 2014.

[9] G. C. Edward III, Implementing Public Policy, Washington, D.C.: Congressional Quarterly Press, 1980.

[10] L. Smith and L. Haddad, “The Global Challenge of Stunting: Causes, Consequences, and the Role of Policy,” Food Security, vol. 7, no. 3, pp. 603–616, 2015.

[11] C. N. Rachmi, K. E. Agho, and M. Li, “Factors Associated with Stunting Reduction in Indonesia: A Systematic Review,” BMC Public Health, vol. 20, no. 1, p. 1237, 2020, doi:10.1186/s12889-020-09329-7.

[12] UNICEF Indonesia, Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting: Pembelajaran dari Lapangan, Jakarta: UNICEF, 2021.

[13] D. Setyawan and W. Pratiwi, “Evaluasi Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Stunting di Kabupaten/Kota,” Jurnal Administrasi Publik, vol. 7, no. 4, pp. 150–158, 2021.

[14] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi dan Pelayanan Kesehatan Seksual, 2021.

[15] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Kesehatan Tahun Anggaran 2024, 2024.