Login
Section Articles

Implementation of Menstrual Leave Policy for Female Workers at PT. XYZ

Pelaksanaan Kebijakan Cuti Menstruasi untuk Pekerja Perempuan di PT. XYZ
Vol. 25 No. 4 (2024): October:

Rostina Ananda Putri (1), Noor Fatimah Mediawati (2)

(1) Program Studi Hukum,Universitas Muhammadiyah Sidoarjo,Indonesia, Indonesia
(2) universitas muhammadiyah sidaorjo, Indonesia

Abstract:

Background: Menstrual leave represents a normative right for female workers under Indonesian labor law; however, its implementation remains inconsistent in many workplaces. Specific Background: PT. XYZ provides an example of limited policy application due to unclear internal regulations and gender-insensitive culture. Knowledge Gap: Previous studies focused on normative aspects, with little emphasis on empirical evidence of how menstrual leave is practiced. Aim: This study examines how menstrual leave policies are implemented at PT. XYZ through an empirical legal approach. Results: The findings reveal that ambiguous procedures in the Collective Labor Agreement, inadequate socialization, and medical verification requirements hinder access to menstrual leave. Novelty: The study highlights the intersection between legal norms and reproductive justice in the workplace. Implication: Strengthening company regulations, increasing gender awareness training, and enhancing government supervision are essential to ensure inclusive and equitable labor rights.


Highlights:
• Ambiguity in internal company rules limits menstrual leave implementation.
• Gender stigma and lack of awareness affect female workers’ rights.
• Empirical evidence supports the need for reproductive justice at work.


Keywords: Menstrual Leave, Female Workers,Legal Implementation, Reproductive Justice, Labor Policy

Pendahuluan

Jaminan kepada tenaga kerja diberikan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia untuk memastikan bahwa mereka memiliki hak yang merata untuk melakukan suatu pekerjaan serta memperoleh gaji yang layak, tenaga kerja harus mengkomunikasikan pendapat mereka, berkumpul, dan membentuk serikat pekerja, Kepentingan yang dilindungi oleh hukum dikenal sebagai hak. Kompleksitas pemenuhan kebutuhan hidup dan globalisasi ini telah membuka peluang baru bagi wanita di dunia kerja. Terbukti bahwa peranan wanita dalam dunia kerja setiap hari semakin meningkat. Tak hanya itu, keikutsertaan wanita terhadap dunia kerja di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.[1]

Dalam penerapan perlindungan tenaga kerja, legitimasi mencakup semua pekerja baik pria dan wanita telah diciptakan oleh pemerintah dalam suatu kebijakan hukum yang mengatur mengenai perlindungan ketenagakerjaan. Secara normatif mengenai hak cuti haid bagi tenaga kerja wanita diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Dalam aturan ini memberikan hak kepada perempuan utuk tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa haid. Dalam pembaruan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini tidak dihapus maupun diubah dalam UU Ciptaker sehingga tetap berlaku sebagai hak normatif pekerja perempuan. Selanjutnya dalam PP 35/2021 sebagai peraturan pelaksana UU Ciptaker juga mengatur mengenai waktu kerja, waktu istirahat dan cuti namun tidak mencabut hak cuti haid yang telah dituangkan dalam UU 13/2003.

Pada sudut pandang politik, hukum ketenagakerjaan muncul sebagai kebijakan dasar untuk memberikan perlindungan dan keadilan sosial kepada pekerja dan buruh yang dianggap sebagai pihak yang lemah dari ketidakadilan yang muncul dari hubungan kerja. Maksud dari hukum ketenagakerjaan adalah sebagai alat perwujudan keadilan serta memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. Adanya hukum ketenagakerjaan bertujuan sebagai kontrol dalam menjaga pelaksanaan kinerja tenaga kerja, Hal ini diperlukan karena ketidakadilan sering terjadi pada tenaga kerja sehingga diperlukan perlindungan hukum.[2]

Salah satu definisi hak cuti adalah hak untuk tidak datang dalam jangka waktu tertentu dengan tidak memberikan suatu keterangan bagi pihak yang memiliki hak.[3] Semua organisasi yang mempekerjakan orang harus mengizinkan cuti dengan tanpa melakukan pengurangan terhadap gaji mereka dan mereka juga harus memberikan hak cuti untuk melindungi kesehatan mereka. Hak cuti pekerja telah berubah sejak UU Cipta Kerja berlaku. Perubahan ini dianggap kontroversial karena terdapat hal dalam UU Cipta Kerja yang memberi ruang bagi perusahaan terhadap pengaturan cuti. Oleh karena itu, fungsi UU terhadap pemberian kepastian hukum menjadi melemah. [4]

Regulasi yang mengatur hak cuti, khususnya cuti haid, dibuat karena permintaan para pekerja perempuan yang merasa pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan terlalu sulit dan melelahkan terutama selama masa haid, berdasarkan yang dialami oleh 20% perempuan di dunia masa haid mengganggu aktivitas mereka.[5] Ketika pemerintah Indonesia menetapkan peraturan cuti haid resmi, banyak perusahaan melaksanakannya secara sukarela. Namun, banyak juga perusahaan yang melakukannya dengan ketentuan khusus yang ditetapkan. Selain itu, terdapat perusahaan yang tidak mengimplementasikan dengan baik dan tidak memiliki aturan cuti.

Salah satu kasus yang terjadi ialah pada PT. XYZ, Perusahaan ini banyak memiliki tenaga kerja wanita. Namun, Dalam pelaksanaannya tenaga kerja kesulitan mendapatkan hak cuti haidnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap tenaga kerja wanita yang bekerja disana ditemukan banyak tenaga wanita yang tidak menggambil cuti katena takut. Bahkan dalam pelaksanaannya terdapat pekerja wanita yang tetap memaksa bekerja meskipun dalam kondisi nyeri haid. Perusahaan PT.XYZ tidak mencantumkan secara eksplisit mengenai prosedur pengajuan cuti haid dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan serikat pekerja sehingga menimbulkan kebingungan serta keraguan bagi tenaga kerja wanita untuk mengajukan cuti haid.

Tidak adanya sanksi yang diberikan kepada perusahaan akan adanya kekaburan prosedur pengajuan cuti haid yang dilakukan terhadap tenaga kerja wanita tersebut menjadi faktor yang memperparah situasi ini. Perusahaan menganggap bahwa ketentuan yang diatur dalam aturan perundang-undangan tidak wajib dilakukan dan tidak wajib dituangkan secara detail dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hal ini bertolakbelakang dengan adanya aturan mengenai cuti melahirkan yang dapat memidanakan perusahaan apabila tidak memberikan hak tersebut terhadap tenaga kerja wanita. Adanya hukum positif tidak cukup untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak tenaga kerja khususnya wanita, dengan tanpa adanya pengawasan, sanksi serta kesadaran hukum oleh perusahaan. Sehingga diperlukan keseimbangan yang selaras untuk mencapai tujuan hukum. Mengutip pendapat dari Gustav Radbruch tujuan hukum terdiri dari 3 hal yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.[6]

Adanya kasus ini menunjukkan bahwa meskipun hak cuti telah dijamin oleh undang-undang. namun, dalam pelaksanaannya secara prosedural oleh perusahaan memang masih minim dilakukan. tak sedikit perusahaaan yang mengabaikan hak-hak tenaga kerja wanita. Dalam kondisi yang seperti ini keberadaan negara sebagai pelindung hak warga negara khususnya wanita menjadi suatu hal yang sangat penting guna melindungi hak-hak warga negara. Dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, diperlukan adanya prosedur yang dituangkan dalam perubahan aturan perjanjian kerja. Perubahan yang dilakukan tidak hanya menekankan pada aspek hukum dan peraturan melainkan juga memperhatikan langkah-langkah pengajuan cuti haid yang berpedoman pada budaya kerja yang ramah bagi wanita sehingga dapat memberikan keadilan bagi tenaga kerja wanita. John Rawls merumuskan bahwa keadilan merupakan nilai sosial dengan penyetaraan yang menguntungkan semua orang tanpa terkecuali.[7] Selanjutnya, Dalam konteks teori efektifitas hukum Soejono Soekanto menjelaskan bahwa efektifitas norma hukum dipengaruhi oleh beberapa hal yakni berkaitan dengan kejelasan norma, kesadaran pelaku, penegakan hukum serta penyesuaian dengan adanya budaya hukum dalam masyarakat. [8] Selaras dengan teori ini, Mengutip pendapat dari Eugen Ehrlich mengenai teori Law In Action menyatakan bahwa hukum tidak hanya dapat diukur dari apa yang di tulis melainkan dari bagaimana hukum tersebut dilaksanakan dalam masyarakat.[9] Dalam perpektif etika kepedulian pelaksanaan cuti haid bagi tenaga kerja wanita tidak hanya diukur dari adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku tapi juga dari sisi biologis dan psikologis perempuan yang kemudian diimplementasikan dilapangan melalui pelaksanaan cuti haid. Tidak adanya kejelasan prosedur dalam pelaksanaan pemberian hak cuti haid bagi perempuan menunjukkan bahwa kebijakan yang dibentuk oleh PT.XYZ khususnya dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT.XYZ cenderung abai terhadap kebutuhan reproduktif pekerja wanita dalam pelaksanaan suatu implementasi hukum.

Penelitian terdahulu yang relevan memberikan landasan penting dalam penelitian ini, Penelitian pertama merupakan penelitian yang dikaji oleh Analisa Putri pada tahun 2020 dengan judul ”Pemenuhan Hak-hak Perempuan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus di PT Mitratani Dua Tujuh Kota Jember)”. Penelitian ini menjelaskan jika ada berbagai hak yang belum terpenuhi dari pihak PT. Mitratani Dua Tujuh Jember dengan maksimal yakni pemenuhan hak cuti haid, penyediaan ruang Laktasi dan penyediaan angkutan pengantar jemputan untuk pekerja yang kerja antar jam 23.00 s/d 07.00. Tetapi terdapat juga hak yang telah dipenuhi oleh pihak perusahaan yaitu mengenai kelayakan upah, memenuhi hak cuti melahirkan, dan memberikan kesempatan dalam melakukan ibadah. Penelitian kedua merupakan penelitian yang dikaji oleh Naili Azizah et al pada tahun 2023 dengan judul “Etika Kepedulian Feminisme Dalam Perlindungan Pekerja wanita (Studi Kasus Pada Proses Kerja PT Apen Food Industry : Produsen Es Krim Aice)”. Penelitian ini menunjukkan fakta bahwa terdapat beberapa pekerja perempuan yang keguguran disebabkan pekerjaan yang sangat berat, shift malam dan pengangkatan beban selama menjalankan masa kehamilan, terdapat juga pendugaan cuti haid yang menyulitkan, hal ini merupakan pelanggaran hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan. Penelitian ketiga merupakan penelitian yang dikaji oleh Muhamad Faisal & Arman pada tahun 2020 dengan judul "Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Yang Bekerja Shift Malam (Studi Pada PT.Indomarco Prismatama)". Penelitian mendapatkan hasil bahwa pemilik PT.Indomarco Prismatama telah cukup efektif untuk melakukan ketetapan yang diatur pada UU RI No. 13/2003 tetapi terdapat satu hal yang tidak dapat diterapkan yakni keamanan yang kurang untuk karyawan yang bekerja shift malam.

Berlandaskan adanya kasus dan penelitian terdahulu, Dapat dilihat bahwa isu-isu mengenai implementasi cuti haid masih banyak terjadi dan menyisakan persoalan dalam masyarakat. Oleh karenanya. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara mendalam tentang bagaimana kebijakan cuti haid pada PT. XYZ. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang masif dalam rangka pemberian perlindungan hak tenaga kerja wanita khususnya mengenai hak cuti haid sebagai bagian dari keadilan secara reproduktif di tempat kerja.

Rumusan masalah: Bagaimana implementasi kebijakan cuti haid terhadap pekerja wanita di PT. XYZ?

Pertanyaan penelitian: Bagaimana pelaksanaan hak cuti haid bagi pekerja perempuan di PT. XYZ?

Kategori SDGs: Sesuai dengan kategori SDGs 5 “Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Semua Perempuan dan Anak Perempuan

Metode

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penlitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti implementasi hukum yang ada pada masyarakat dengan menggabungkan pendekatan yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pendekatan empiris berdasarkan pengamatan serta analisis pada implementasi hukum di lapangan. [10] Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pelaksanaan kebijakan regulasi mengenai cuti haid bagi tenaga kerja wanita dalam perusahaan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan tenaga kerja wanita pada PT.XYZ tentang pengalaman mereka dalam mengajukan cuti haid serta hambatan yang dialami. Data sekunder dalam penelitian ini menggunakan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT.XYZ, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 6/2023 tentang Cipta Kerja dan PP 35/2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan PHK. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini menggunakan kamus hukum serta ensiklopedia hukum yang relevan dengan kasus. Data yang telah dikumpulkan nantinya akan dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif yakni dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, teori hukum serta prinsip hukum yang berlaku pada masyarakat sehingga mendapatkan hasil yang menunjukkan sejauhmana pelaksanaan cuti haid telah dilaksanakan oleh PT. XYZ.

Hasil dan Pembahasan

Menstruasi atau haid merupakan kondisi alami yang dialami oleh perempuan dalam usia subur. Berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, haid adalah proses luruhnya lapisan dalam dinding rahim (endometrium) yang kaya akan pembuluh darah. Umumnya, proses ini berlangsung selama 5 hingga 7 hari setiap bulannya. Selama menstruasi, tubuh perempuan mengalami berbagai perubahan, termasuk fluktuasi hormon serta gangguan fisik. Beberapa perempuan mengalami keluhan seperti kram, nyeri hebat, bahkan hingga pingsan, yang dikenal sebagai dismenore. Menurut Kemenkes, dismenore adalah rasa nyeri di bagian bawah perut yang bisa menjalar ke pinggang, punggung bagian bawah, hingga paha, dan terjadi selama masa menstruasi. Rasa sakit ini sering kali mengganggu aktivitas harian, khususnya saat bekerja[11]. Hak cuti haid bagi pekerja perempuan di Indonesia diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini menyatakan bahwa pekerja perempuan yang merasakan sakit saat haid dan telah memberitahukan kepada pengusaha, tidak diwajibkan untuk bekerja pada hari pertama dan kedua masa haidnya. Dengan kata lain, pekerja perempuan memiliki hak untuk tidak bekerja selama maksimal dua hari ketika mengalami nyeri haid, asalkan telah memberikan pemberitahuan kepada pihak perusahaan. Namun dalam penerapannya, hak ini sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya di berbagai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti rendahnya tingkat sosialisasi serta pemahaman baik dari pihak pekerja maupun pemberi kerja mengenai hak tersebut. Beberapa perusahaan juga memberlakukan persyaratan tambahan, seperti surat keterangan dokter, yang seharusnya hanya dibutuhkan bila disepakati dalam perjanjian kerja. Selain itu, cuti haid kerap disamakan dengan cuti sakit biasa dan kurang mendapatkan perhatian khusus. Kurangnya pengawasan serta masih dianggap tabu-nya isu menstruasi di tempat kerja juga turut memperlemah implementasi hak ini. Karena aturan teknis terkait pelaksanaan cuti haid diserahkan kepada kebijakan internal perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pelaksanaannya pun sangat bervariasi antar tempat kerja[12].

Salah satu permasalahan utama dalam implementasi hak cuti haid bagi pekerja perempuan terletak pada lemahnya pelaksanaan ketentuan normatif di tingkat perusahaan. Meskipun regulasi ketenagakerjaan di Indonesia telah mengatur hak tersebut secara eksplisit, pada kenyataannya banyak perusahaan belum memiliki prosedur operasional yang jelas dan sistematis terkait mekanisme pengajuan cuti haid. Akibatnya, pekerja tidak hanya kurang memahami cara mengakses hak tersebut, tetapi juga kerap kali enggan mengajukannya karena minimnya dukungan institusional serta kekhawatiran terhadap stigma dari lingkungan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan norma hukum tanpa instrumen implementatif yang memadai berisiko menjadikan hak cuti haid sekadar sebagai dokumen normatif tanpa realisasi konkret di lapangan. Menurut G. Orlando (2022) dalam penelitiannya tentang bagaimana hukum bekerja di Indonesia, sebuah aturan hukum dimana tidak akan bisa dianggap berfungsi dengan baik jika tidak bisa diterapkan dan dijalankan secara konsisten dalam kehidupan sosial sehari-hari. Orlando juga menjelaskan bahwa hukum tidak hanya sekadar aturan yang mengatur tata tertib, tetapi juga harus mampu menciptakan rasa aman, keadilan, serta menimbulkan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Dalam hal ini, ketidaksesuaian antara aturan yang telah dibuat dengan cara penerapannya di lapangan menunjukkan bahwa hukum telah gagal dalam menjalankan perannya sebagai alat untuk membangun masyarakat yang tertib. Oleh karena itu, keberhasilan aturan tentang cuti haid sangat bergantung pada adanya kebijakan internal perusahaan yang mendukung, prosedur yang jelas, serta pengawasan yang terus-menerus dari pihak yang berwenang [13].

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di lapangan dengan wawancara bersama para pekerja perempuan di PT. XYZ, telah ditemukan adanya suatu hambatan besar dalam penerapan hak cuti haid. Yang menjadi faktor utama penyebab dari kejadian ini adalah kurangnya informasi yang jelas serta tidak adanya prosedur yang tertulis dan sistematis dalam dokumen Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Meskipun dalam PKB telah memuat hak cuti haid bagi pekerja perempuan, namun ketentuan tersebut hanya bersifat umum dan mekanisme teknis untuk memandu pelaksanaannya tidak dilengkapi secara efektif, sehingga menyebabkan ketidakjelasan dalam beberapa hal penting, seperti cara bagaimana mengajukan cuti, dokumen pendukung apa saja yang diperlukan, waktu pengajuan, serta jaminan bahwa pekerja tidak akan mendapatkan sanksi atau perlakuan yang tidak adil akibat menggunakan hak tersebut apalagi mendapatka diskriminasi dari atasan. Ketidakjelasan ini dapat berpotensi menyebabkan penafsiran yang berbeda di antara pekerja dan manajemen, sehingga membuat pekerja enggan menggunakan hak hukum mereka. Selain itu, di PT. XYZ tidak adanya sistem dokumentasi dan komunikasi yang transparan dalam pengajuan cuti haid sehingga menunjukkan kurangnya komitmen perusahaan terhadap perlindungan hak reproduksi pekerja perempuan. Salah satu indikasi nyata dari rendahnya kesadaran gender di lingkungan kerja PT. XYZ adalah respons pengawas atau atasan yang tidak mendukung ketika pekerja perempuan mengajukan cuti haid. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengawas sering kali merespons dengan ucapan yang meremehkan masalah biologis perempuan, yang seharusnya mendapatkan empati dan pemahaman, hal tersebut membuat para pekerja wanita merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Dalam perspektif etika, sikap ini tidak hanya mengabaikan hak pekerja, tetapi juga merusak psikologis dan emosional perempuan di tempat kerja. Sikap seperti ini semakin memperkuat bahwa hambatan dalam pelaksanaan cuti haid berasal dari lemahnya regulasi serta budaya kerja yang tidak ramah terhadap perempuan. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan kesadaran gender bagi pengawas dan manajemen agar dapat merespons kebutuhan biologis pekerja perempuan secara lebih empatik dan tidak diskriminatif [14].

Setelah dilakukan observasi bersama dengan pihak klinik PT. XYZ, para pekerja wanita di haruskan melakukan mengecekan medis terlebih dahulu jika ingin mengajukan cuti haid guna untuk memastikan apakah benar benar sedang menstruasi atau tidak. Hal ini dilakukan sebagai bukti pemeriksaan serta syarat administratif sebelum izin cuti haid dapat disetujui, dengan maksud memberikan bukti medis yang resmi terkait kondisi kesehatan karyawan tersebut. Langkah ini dianggap penting untuk mencegah penyalahgunaan izin cuti serta menjaga tanggung jawab internal oleh pihak perusahaan. Namun, pada akhirnya kebijakan ini telah menimbulkan keresahan dan rasa tidak nyaman, terutama dalam hal privasi para pekerja perempuan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk membuktikan menstruasi dianggap berlebihan dan dapat merusak kepercayaan antara perusahaan dan karyawan. Menstruasi merupakan proses biologis alami yang bersifat pribadi pada para pekerja perempuan, dan mewajibkan pembuktian medis atas kondisi tersebut dapat berisiko mempermalukan serta mengabaikan hak atas privasi tubuh perempuan. Terlebih lagi, selama proses rekrutmen maupun masa kerja, tidak pernah dilakukan pemeriksaan secara rinci mengenai kondisi menstruasi karyawan perempuan seperti durasi, intensitas nyeri, atau gejala khusus lainnya. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan perusahaan hanya berupa medical check-up umum yang dijadwalkan satu tahun sekali, tanpa menggali lebih dalam kondisi reproduksi perempuan. Ketidakhadiran data awal mengenai kondisi siklus haid ini membuat verifikasi saat pengajuan cuti menjadi tidak proporsional dan tidak kontekstual. Selain itu, kebijakan ini dinilai menunjukkan kurangnya empati terhadap pengalaman perempuan, serta dapat menciptakan suasana kerja yang tidak mendukung kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak reproduksi[15].

Hasil wawancara ketiga dengan pihak Human Resource Development (HRD) PT. XYZ menunjukkan bahwa perusahaan menerapkan kebijakan cuti haid dengan prosedur yang cukup ketat dan cenderung membatasi akses karyawan perempuan untuk menggunakan hak tersebut. Dengan ketentuan hukum yang berlaku, perusahaan secara resmi mengakui adanya cuti haid, ternyata penerapannya di lapangan tidak berjalan semulus seperti yang diharapkan. Karyawan diminta untuk menjalani pemeriksaan medis terlebih dahulu di klinik yang telah disediakan oleh perusahaan dan harus memperoleh surat keterangan resmi dari tenaga medis di klinik tersebut sebagai syarat utama untuk mengajukan cuti. Dalam beberapa situasi, ternyata pemeriksaan harus dilakukan pada hari yang sama dengan hari dimana akan melakukan pengajuan cuti, yang tentunya hal ini menyulitkan bagi karyawan yang sudah merasakan gejala sejak pagi atau sebelum jam kerja. Pihak HRD juga menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mencegah adanya penyalahgunaan hak cuti serta untuk menjaga produktivitas, khususnya di divisi yang padat aktivitas yang dapat menimbulkan terhambatnya produksi pada perusahaan. Selain itu, HRD juga mengungkapkan bahwa manajemen perusahaan mengkhawatirkan penurunan dalam efisiensi kerja jika cuti haid diberikan tanpa adanya pengawasan yang ketat. Akibatnya, karena merasa prosesnya terlalu rumit dan tidak nyaman banyak karyawan perempuan lebih memilih untuk tidak mengajukan cuti haid. Hal ini yang mengakibatkan hak atas cuti haid secara praktik tidak terlaksana dengan baik, meskipun sudah tertulis dalam kebijakan perusahaan[16].

Menurut keterangan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) di PT. XYZ, diperoleh informasi bahwa implementasi cuti haid di perusahaan masih menghadapi sejumlah hambatan. Pihak SPN menilai bahwa meskipun hak cuti haid telah diatur dalam undang-undang maupun tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pelaksanaannya di lapangan seringkali tidak berjalan sesuai ketentuan. Banyak pekerja perempuan yang enggan mengajukan cuti haid karena adanya kekhawatiran akan stigma dari atasan maupun rekan kerja, serta prosedur administrasi yang dianggap menyulitkan. SPN juga menyoroti bahwa belum ada sosialisasi yang memadai dari perusahaan mengenai tata cara pengajuan cuti haid, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan pekerja. Oleh karena itu, SPN menekankan pentingnya adanya kejelasan prosedur, pengawasan yang lebih kuat, serta perubahan budaya kerja yang lebih ramah terhadap kebutuhan biologis pekerja perempuan agar hak cuti haid dapat diakses dengan adil dan tanpa diskriminasi[17].

Penelitian yang dilakukan oleh Noor Fatimah (2022) menunjukkan bahwa pemenuhan hak cuti haid bagi pekerja perempuan masih sering terhenti pada ranah normatif tanpa adanya penerapan yang konsisten dalam praktik. Hal ini tampak pula pada kasus di PT. XYZ, di mana meskipun cuti haid telah dijamin dalam regulasi ketenagakerjaan, ketiadaan prosedur teknis dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) membuat hak tersebut sulit terwujud secara nyata. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Fatimah, perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan harus dilengkapi dengan penguatan substansi aturan, peningkatan kesadaran hukum, serta pengawasan yang lebih terstruktur agar hak-hak normatif benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif[18].

Figure 1. Gambar 1. Perjanjian Kerja Bersama PT.XYZ Pasal 18 tentang Istirahat Haid dan Istirahat Melahirkan

Berdasarkan Gambar 1 diatas dapat diketahui dari aspek kejelasan norma, meskipun dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. XYZ telah mengatur hak cuti haid dalam Pasal 18 dengan redaksi yang tampak rinci, terdapat ketidakjelasan dalam frasa-frasa tertentu yang justru membuka celah multitafsir. Contohnya, frasa “…atas persetujuan dari atasannya dengan mendapatkan upah penuh” dalam konteks cuti haid menunjukkan bahwa hak ini tidak bersifat mutlak, melainkan bergantung pada keputusan atasan. Padahal, menurut Tampubolon (2023), hak-hak normatif pekerja perempuan seperti cuti haid semestinya tidak memerlukan persetujuan atasan sepanjang pekerja telah memenuhi ketentuan administratif yang ditetapkan. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 81 ayat (1), yang menyatakan bahwa pekerja perempuan yang mengalami haid dan merasakan sakit tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid. Kesadaran hukum di kalangan pengusaha maupun pekerja juga masih menjadi tantangan. Hasil wawancara dengan beberapa pekerja menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak memahami secara utuh hak atas cuti haid dan prosedur pengajuannya. Bahkan terdapat anggapan bahwa cuti haid akan mengurangi penilaian kinerja atau menghambat promosi. Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap hak normatif sebagaimana dimaksud dalam PKB maupun peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Tampubolon et al., dalam sistem hubungan industrial yang ideal, perlu dibangun komunikasi yang transparan dan edukatif agar pekerja memahami hak dan kewajibannya secara seimbang. Dari sisi penegakan hukum, tidak terdapat mekanisme pengawasan atau sanksi yang jelas dalam PKB apabila hak cuti haid tidak diberikan. Misalnya, tidak ada pasal lanjutan yang mengatur konsekuensi hukum bagi pihak manajemen jika menolak pengajuan cuti haid yang sah. Dalam Hukum Ketenagakerjaan (Tampubolon et al., 2023), disebutkan bahwa perjanjian kerja bersama sebaiknya memuat ketentuan penegakan dan penyelesaian sengketa sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja. Ketiadaan klausul ini mencerminkan lemahnya daya ikat PKB dalam melindungi hak pekerja secara substantif. Dengan demikian, implementasi ketentuan cuti haid di PT. XYZ belum menunjukkan efektivitas hukum yang ideal, karena masih terdapat kelemahan baik dalam substansi aturan, kesadaran pelaku hubungan industrial, maupun mekanisme penegakan hak[19].

Budaya kerja di berbagai perusahaan masih menunjukkan bahwa hak-hak reproduksi perempuan belum dianggap sebagai bagian esensial dari kesejahteraan kerja. Menstruasi kerap menjadi topik yang tabu dan jarang dibicarakan secara terbuka dalam lingkungan profesional, sehingga banyak pekerja perempuan enggan atau tidak mengetahui cara mengajukan cuti haid untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka. Menurut D. JKN dalam artikel “Cuti Menstruasi: Sebuah Kebijakan Responsif Gender”, menstruasi merupakan kondisi biologis alami yang sering kali menimbulkan gejala fisik seperti nyeri dan kelelahan, serta dampak emosional seperti gangguan tidur dan perubahan suasana hati, yang berpotensi menurunkan produktivitas kerja. Meski peraturan di Indonesia sudah memberikan hak cuti haid bagi pekerja wanita sebagai respons terhadap isu gender, penerapan dan penyebaran informasi mengenai kebijakan ini ternyata masih kurang efektif di banyak perusahaan, sehingga akses pekerja terhadap hak tersebut menjadi terbatas. Tekanan yang ada dalam budaya kerja yang didominasi oleh laki-laki dan stigma mengenai menstruasi memperkuat suasana yang tidak mendukung dan inklusif, di mana diskusi tentang cuti haid sering kali dipandang sebagai sesuatu yang menunjukkan kelemahan atau ketidakmampuan untuk bekerja. Oleh karena itu, memiliki kebijakan formal saja tidaklah cukup; organisasi juga harus mengartikulasikan nilai-nilai inklusif dan empati dalam pelaksanaan kebijakan tersebut agar cuti haid tidak hanya menjadi prosedur administratif, melainkan mendapat dukungan nyata dalam lingkungan kerja. Untuk itu, diperlukan perubahan budaya organisasi yang menghapus tabu tentang menstruasi, menyediakan ruang untuk dialog terbuka dan pendidikan tentang isu biologis perempuan, serta meningkatkan kesadaran pekerja mengenai hak-hak normatif mereka, sehingga hak cuti haid dapat diimplementasikan dengan efektif dan berkelanjutan[20].

No. Kendala Implementasi Hak Cuti Haid Faktor Penyebab Dampak pada Pekerja Perempuan
1. Kurangnya Sosialisasi Informasi terkait cuti haid tidak disampaikan secara memadai oleh perusahaan Pekerja tidak mengetahui atau tidak memahami cara menggunakan hak tersebut
2. Adanya Stigma Gender di Tempat Kerja Persepsi negatif terhadap perempuan yang mengambil cuti dianggap tidak profesional atau malas Pekerja enggan mengajukan cuti, berpotensi mengorbankan kondisi kesehatannya
3. Prosedur Administratif Tidak Akomodatif Persyaratan teknis seperti surat keterangan dokter menyulitkan akses cuti Proses pengajuan menjadi terbebani dan menyulitkan pekerja
Table 1. Tabel 1. Menguraikan Berbagai Kendala yang Dihadapi dalam Implementasi Hak Cuti Haid di PT. XYZ

Berdasarkan Tabel 1, dapat dijelaskan bahwa kurangnya sosialisasi dan rendahnya pemahaman dari pihak manajemen perusahaan menjadi faktor utama yang menyebabkan banyak pekerja perempuan tidak menyadari keberadaan atau enggan memanfaatkan hak cuti haid, meskipun hak tersebut telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Ketidakpahaman inilah yang menyebabkan pekerja perempuan tidak mendapatkan kesempatan beristirahat yang seharusnya di dapatkan selama periode haid, terutama ketika mereka mengalami gejala yang mengganggu kinerja. Selain itu, stigma negatif akan selalu ada mengenai pekerja perempuan yang mengambil cuti haid membuat semakin memperburuk situasi yang ada. Banyak dari mereka merasa takut dianggap kurang produktif atau tidak setia kepada perusahaan serta dipandang rendah oleh atasan atau pengawas, sehingga memilih untuk tetap bekerja meskipun dalam keadaan fisik yang tidak baik. Selain itu, hambatan dalam administratif seperti keharusan melampirkan surat dokter untuk pengajuan cuti juga menjadi beban tambahan yang membuat akses terhadap hak tersebut sangat sulit. Persyaratan untuk melampirkan surat dokter tidak hanya membuat proses menjadi lebih rumit, tetapi juga mencerminkan kurangnya kepercayaan terhadap pengalaman biologis yang terjadi pada perempuan. Masalah yang terjadi sekarang semakin diperkeruh dengan tidak adanya regulasi internal yang secara jelas mencantumkan hak cuti haid dalam kebijakan perusahaan. Ketika ketentuan tidak diakui secara resmi, pekerja kehilangan dasar perlindungan hukum yang penting bagi mereka, dan hak mereka menjadi sulit diakses secara adil. Akibatnya, keadaan ini tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental pekerja perempuan, tetapi juga mengurangi produktivitas di tempat kerja. Oleh karena itu, sangat penting untuk mereformulasi kebijakan internal perusahaan yang lebih peka terhadap gender, serta melakukan sosialisasi intensif kepada semua pihak yang terlibat agar penerapan hak cuti haid dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan demi mendukung kesejahteraan wanita pekerja[21].

Dasar utama dalam sistem pekerjaan yang memastikan keamanan, kesehatan kerja, dan hak-hak reproduksi bagi pekerja perempuan merupakan suatu perlindungan bagi pekerja perempuan. Ide dalam perlindungan ini telah muncul sebagai reaksi terhadap konsekuensi buruk dengan munculnya doktrin Laissez Faire di Eropa selama revolusi industri. Doktrin ini telah mengusung prinsip ekonomi bebas yang menolak adanya intervensi pemerintah dalam hubungan industri, yang berujung terjadi ketidakadilan antara manajemen perusahaan dan pekerja. Dalam praktiknya, filosofi ini melahirkan suatu kondisi kerja yang eksploitatif, termasuk pengabaian terhadap keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi yang terjadi, khususnya bagi pekerja perempuan yang secara historis lebih rentan terhadap diskriminasi struktural di lingkungan kerja. Seiring dengan adanya perkembangan tentang pemikiran sosial dan munculnya gerakan buruh, lahirlah suatu kesadaran kolektif yang akan pentingnya terhadap intervensi negara dalam melindungi hak-hak pekerja. Namun, perkembangan perlindungan pada hukum ketenagakerjaan, terutama dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tidak berlangsung dengan cepat dan tepat. Hal ini dapat terjadi karena adanya pergesekan kepentingan antara serikat buruh dan para pihak pengusaha besar serta para intelektual yang mendukung prinsip Laissez Faire. Oleh karena itu, tujuan adanya perlindungan hukum yaitu sebagai mencegah tindakan sewenang-wenang yang akan dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja, serta untuk membangun suasana dalam hubungan industrial yang adil, seimbang, dan harmonis. Peranan pemerintah disini sangat penting sebagai penyeimbang dalam relasi industrial, terutama dalam melindungi posisi pekerja yang lebih rentan. Prinsip ini sejalan dengan semangat keadilan sosial serta keseimbangan kekuatan dalam hubungan kerja yang diatur oleh berbagai regulasi hukum ketenagakerjaan modern[22].

Simpulan

Menstruasi merupakan suatu proses reproduksi yang terjadi secara alami pada wanita yang berada dalam masa subur dan sering kali menimbulkan masalah fisik seperti nyeri haid yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari. Di Indonesia, hak untuk cuti saat haid bagi wanita pekerja telah diatur melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, yang memberikan hak cuti selama dua hari ketika mengalami nyeri haid dengan syarat memberi tahu perusahaan. Namun, pelaksanaan hak ini di dalam perusahan masih terkendala oleh berbagai masalah, termasuk kurangnya penyuluhan, prosedur administrasi yang rumit, serta budaya dan stigma kerja yang kurang mendukung. Sehingga membuat pekerja perempuan enggan untuk mengajukan cuti haid. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di PT. XYZ mengungkapkan bahwa ketidakselarasan dalam kebijakan internal, kurangnya pemahaman baik dari karyawan maupun manajemen, serta sikap meremehkan dari atasan menjadi faktor penghambat utama dalam pemanfaatan cuti haid. Perjanjian Kerja Bersama yang ada belum menyediakan mekanisme teknis dan sanksi yang jelas, sehingga hak ini cenderung menjadi norma tanpa adanya pelaksanaan yang nyata di lapangan. Selain itu, keterlibatan serikat pekerja dan pengawasan dari pemerintah juga belum maksimal dalam menjamin perlindungan hak reproduktif bagi pekerja perempuan. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam kebijakan internal perusahaan yang lebih peka gender, pelatihan dan pendidikan kesadaran gender untuk manajemen dan pengawas, serta penguatan pengawasan regulasi oleh pemerintah agar hak cuti haid dapat diterapkan dengan baik, yang pada tujuannya mendukung kesejahteraan dan produktivitas pekerja perempuan secara berkelanjutan.

Ucapan Terima Kasih

Dengan rasa syukur yang mendalam, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo atas segala fasilitas, peluang, dan lingkungan akademik yang mendukung selama proses pendidikan. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah mendoakan, memberikan kasih sayang, dan dukungan tanpa henti, yang menjadi sumber kekuatan di setiap langkah yang diambil. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Penulis juga mengucapkan penghargaan kepada PT. XYZ yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian, serta seluruh anggota di perusahaan yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi melalui wawancara, sehingga proses pengumpulan data dapat berjalan dengan lancar. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada rekan-rekan kerja atas dukungan dan pengertian yang telah diberikan, sehingga penulis bisa terus melanjutkan perkuliahan dengan baik. Kepada teman-teman dan sahabat, penulis sangat menghargai segala bentuk motivasi dan dukungan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi tepat waktu. Untuk semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

References

[1] M. Zayyan et al., “Peran Perempuan dalam Membantu Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga (Studi pada Perempuan Pedagang di Pasar Segiri Kecamatan Samarinda Kota Provinsi Kalimantan Timur),” E-Jurnal Pembangunan Sosial, vol. 11, no. 2, pp. 233–244, 2023.

[2] M. T. M. Tampubolon et al., Hukum Ketenagakerjaan. Sumatera Barat: PT Global Eksekutif Teknologi, 2023.

[3] G. Y. Pambudi, R. M. A. Simanjuntak, and N. A. R. Gultom, “Tinjauan Yuridis Hak Cuti bagi Pekerja Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” Jurnal Gema Keadilan, vol. 9, no. 1, pp. 35–42, 2022.

[4] I. A. Purnama et al., “Penerapan Yuridis Hak Cuti bagi Pekerja dalam Pasca Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020,” Deposisi: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, vol. 2, no. 4, pp. 158–168, Nov. 2024. doi: 10.59581/deposisi.v2i4.4219.

[5] D. JKN, “Cuti Menstruasi: Sebuah Kebijakan Responsif Gender,” [Online]. Available: https://www.djkn.kemenkeu.go.id

[6] F. Afifah and S. Warjiyati, “Pemikiran Negara pada Masa Abad Pertengahan,” Jurnal Ilmu Hukum Wijaya Putra, vol. 2, no. 2, pp. 129–141, 2024.

[7] N. Munawaroh, “8 Teori Keadilan dalam Filsafat Hukum Menurut Para Ahli,” Klinik Hukumonline, Feb. 16, 2024.

[8] G. Orlando, “Efektivitas Hukum dan Fungsi Hukum di Indonesia,” Jurnal Tarbiyatul Bukhary, vol. 6, no. 1, pp. 1–10, 2022.

[9] D. Tan, “Revisiting Pound’s Law in Action and Ehrlich’s Living Law to Find the Gap,” Journal of Judicial Review, 2022.

[10] S. S. Nugroho, A. T. Haryani, and F. Farkhani, Metodologi Riset Hukum. Madiun: Oase Pustaka, 2020.

[11] D. Welle, “Cuti Haid: Hak Pekerja Perempuan yang Seolah Ada dan Tiada,” DW Indonesia, Jan. 19, 2023.

[12] Hukumonline, “Hak Cuti Haid yang Kerap Dirampas Perusahaan dari Perempuan,” May 21, 2024.

[13] G. Orlando, “Efektivitas Hukum dan Fungsi Hukum di Indonesia,” Jurnal Tarbiyatul Bukhary, vol. 6, no. 1, pp. 1–10, 2022.

[14] R. Ananda, “Wawancara Pribadi dengan Pekerja Wanita PT. XYZ,” Feb. 11, 2025.

[15] R. Ananda, “Wawancara Pribadi dengan Pihak Klinik PT. XYZ,” Aug. 4, 2025.

[16] R. Ananda, “Wawancara Pribadi dengan HRD PT. XYZ,” Aug. 6, 2025.

[17] R. Ananda, “Wawancara Pribadi dengan Serikat Pekerja Nasional,” Aug. 18, 2025.

[18] N. Fatimah, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Normatif Pekerja Perempuan di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Keadilan UMSIDA, vol. 10, no. 2, pp. 45–60, 2022.

[19] M. T. M. Tampubolon et al., Hukum Ketenagakerjaan. Sumatera Barat: PT Global Eksekutif Teknologi, 2023.

[20] D. JKN, “Cuti Menstruasi: Sebuah Kebijakan Responsif Gender,” [Online]. Available: https://www.djkn.kemenkeu.go.id

[21] N. M. Lubis, “Analisis Hukum terhadap Hak Cuti Haid dan Cuti Melahirkan dalam Praktik Dunia Kerja di Indonesia,” Presidensial, vol. 2, no. 2, pp. 332–341, Jun. 2025.

[22] M. R. Siregar, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Reproduksi Perempuan Dalam Hubungan Industrial,” Jurnal Bhakti Masyarakat Hukum, vol. 1, no. 1, pp. 1–13, 2020.