Rini Pradianingsih (1), Wisnu Panggah Setiyono (2), Imelda Dian Rahmawati (3)
Abstract: (General Background) Fiscal incentives such as bonded zone facilities have become key instruments for enhancing industrial competitiveness and export growth in Indonesia. (Specific Background) Despite their potential benefits, not all companies have successfully optimized customs and tax policies to improve financial performance. (Knowledge Gap) Previous studies mostly focused on export performance, leaving a gap in understanding their impact on profitability and capital structure. (Aims) This study examines how Customs Policy and Tax Restitution affect profitability (ROA) and capital structure (DER) among bonded zone companies listed on the Indonesia Stock Exchange from 2022–2024. (Results) Using multiple linear regression, results reveal that both Customs Policy and Tax Restitution significantly increase profitability and reduce leverage. (Novelty) This study provides new evidence on how fiscal policy effectiveness strengthens internal financing and financial stability. (Implications) The findings guide policymakers in improving fiscal incentive implementation and encourage firms to optimize internal cash management for sustainable financial growth.
Highlights:• Fiscal incentives strengthen profitability and reduce leverage.• Customs Policy improves efficiency and operational cash flow.• Tax Restitution enhances liquidity and internal funding capacity.
Keywords: Customs Policy, Tax Restitution, Profitability, Capital Structure, Bonded Zone
Dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan sektor industri melalui berbagai kebijakan dan insentif fiskal. Salah satu nya adalah kebijakan pemberian fasilitas kawasan berikat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 131/PMK.04/2018 sebagaimana diubah dengan 65/PMK.04/2021. Kebijakan tersebut dirancang untuk meningkatkan investasi dan ekspor serta mengembangkan daya saing industri nasional di pasar Internasional[1]. Pencapaian tersebut didukung oleh kebijakan fiskal dan fasilitas perdagangan yang mempermudah arus barang, termasuk skema Kawasan Berikat. Hingga Desember 2024, terdapat 1.455 perusahaan yang memanfaatkan fasilitas ini, dengan kontribusi investasi senilai Rp 194,82 triliun, penerimaan pajak sekitar Rp 87,96 triliun, serta penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 1.752 perusahaan dan total penyerapan mencapai 1,73 juta orang di seluruh Indonesia pada tahun 2024[1] Meski demikian, tidak semua perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat berhasil mengoptimalkan manfaat fiskal yang diberikan. Sejumlah studi menemukan adanya perusahaan yang tetap mengalami tekanan profitabilitas atau bahkan kerugian meskipun memperoleh insentif. Perbedaan hasil ini dapat dipengaruhi oleh faktor pengelolaan Customs Policy (beban kepabeanan) dan Tax Restitution (restitusi pajak), yang berdampak langsung pada profitabilitas dan struktur modal perusahaan. Adapun profitabilitas dan struktur modal merupakan indikator fundamental dalam menilai kesehatan dan kinerja keuangan perusahaan. Profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba melalui pengelolaan aset dan sumber daya yang dimiliki[2]sementara struktur modal menunjukkan proporsi penggunaan utang dan ekuitas dalam pembiayaan operasional perusahaan[3].
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan manfaat ekonomi dari fasilitas Kawasan Berikat[4] menunjukkan bahwa perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat mampu melakukan penghematan signifikan. Fasilitas ini tidak hanya mengurangi biaya produksi, tetapi juga meningkatkan cash flow perusahaan dengan menurunkan nilai prepaid tax yang harus dibayarkan. Selain itu, penelitian oleh[5] mengungkapkan bahwa fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) berpengaruh positif terhadap peningkatan nilai ekspor perusahaan. Mereka menemukan bahwa perubahan regulasi KITE, besaran fasilitas yang diberikan, volume impor, serta nilai tukar asing berperan signifikan dalam mendorong ekspor.
Senada dengan temuan tersebut[6] menyatakan bahwa insentif fiskal perusahan Kawasan Berikat berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Mereka menemukan bahwa perusahaan besar yang menerima fasilitas ini cenderung memperoleh peningkatan keuntungan, terutama dipengaruhi oleh faktor seperti karakteristik industri, tingkat ekspor, durasi fasilitas, dan persentase pembebasan fiskal. Namun demikian, manfaat Kawasan Berikat tidak selalu konsisten dirasakan oleh seluruh perusahaan. Kesenjangan manfaat tersebut juga tercermin dalam beberapa penelitian sebelumnya. Pertama [7] menemukan bahwa meskipun insentif fiskal seperti pengurangan tarif impor dan peningkatan intensitas ekspor berkontribusi positif terhadap produktivitas, masih terdapat perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat yang mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat fiskal tidak serta-merta menjamin peningkatan produktivitas atau profitabilitas bagi seluruh perusahaan.
Kedua, penelitian yang dilakukan[8] menemukan bahwa Kawasan Berikat di Indonesia memang berhasil meningkatkan volume ekspor dan menarik investasi, tetapi tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan produktivitas perusahaan. Dalam praktiknya, perusahaan lebih banyak memanfaatkan insentif bea masuk dan kemudahan impor bahan baku, sementara transfer teknologi dan efisiensi produksi tetap terbatas. Efek positif terhadap produktivitas cenderung terkonsentrasi pada perusahaan dengan orientasi ekspor tinggi dan keterlibatan dalam rantai pasok global, sedangkan perusahaan yang berorientasi pasar domestik tidak banyak merasakan manfaat.
Berdasarkan paparan tersebut, terlihat adanya kesenjangan hasil penelitian (research gap) terkait efektivitas fasilitas Kawasan Berikat, khususnya dalam kaitannya dengan profitabilitas dan struktur modal perusahaan. Sebagian studi menunjukkan manfaat signifikan terhadap kinerja keuangan dan ekspor, namun di sisi lain terdapat bukti bahwa tidak semua perusahaan mampu mengoptimalkan fasilitas yang diberikan. Selain itu, penelitian sebelumnya lebih banyak berfokus pada aspek penghematan biaya, peningkatan ekspor, atau dampak umum terhadap kinerja keuangan, tetapi masih terbatas yang mengkaji secara spesifik pengaruh Customs Policy dan Tax Restitution terhadap dua indikator penting, yaitu Profitabilitas dan Struktur Modal, terutama pada perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan menganalisis pengaruh dua kebijakan fiskal tersebut terhadap profitabilitas dan cara perusahaan mengatur struktur modalnya di Kawasan Berikat. Pendekatan ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang umumnya hanya menyoroti dampak fasilitas Kawasan Berikat pada kinerja atau ekspor secara umum. Penelitian ini juga menggunakan data terbaru yang relevan dengan kondisi kebijakan saat ini, sehingga diharapkan hasilnya dapat memberikan gambaran yang lebih akurat sekaligus menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan fiskal. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fasilitas kawasan berikat memberikan dampak signifikan terhadap efisiensi biaya dan peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh [9] yang menemukan bahwa perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dapat melakukan penghematan yang cukup besar, khususnya terkait dengan biaya produksi dan pembayaran pajak. Pemberian fasilitas kawasan berikat terbukti mampu meningkatkan arus kas (cash flow) perusahaan serta menurunkan jumlah prepaid tax yang harus dibayarkan. Pengurangan beban fiskal ini memberikan ruang bagi perusahaan untuk mengelola keuangan dengan lebih efisien, meningkatkan profitabilitas, dan memperkuat daya saing.
Penelitian lain oleh[10] turut memberikan bukti empiris terkait hubungan antara fasilitas insentif fiskal dan peningkatan kinerja ekspor. Mereka menemukan bahwa besaran fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), perubahan regulasi KITE, volume impor, serta fluktuasi nilai tukar asing, semuanya berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap peningkatan nilai ekspor perusahaan yang menerima fasilitas tersebut. Fasilitas KITE sendiri merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah yang memiliki keterkaitan erat dengan kawasan berikat, mengingat keduanya bertujuan mendorong daya saing industri dalam negeri melalui efisiensi fiskal.
Customs Policy merupakan kebijakan yang mengatur lalu lintas barang melalui pemberlakuan tarif bea masuk, pajak impor, serta ketentuan lainnya yang memengaruhi biaya produksi dan kelancaran arus barang [11] Ketika kebijakan kepabeanan lebih ketat atau tarifnya lebih tinggi, hal ini dapat menekan kemampuan perusahaan dalam menjaga profitabilitas dan mengatur struktur modal yang sehat.
Tax Restitution adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh negara kepada wajib pajak setelah melalui proses verifikasi administratif[12] Dengan adanya restitusi pajak, arus kas perusahaan menjadi lebih stabil, yang berpotensi meningkatkan efisiensi operasional, laba bersih, dan mengoptimalkan struktur modal.
Selanjutnya, studi oleh [13] mengungkap bahwa insentif fiskal memiliki efek positif yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar perusahaan besar yang mendapat fasilitas Kawasan Berikat meraih manfaat berupa peningkatan keuntungan, yang dipengaruhi oleh karakteristik industri, profil investasi, durasi fasilitas, tingkat ekspor, dan persentase pembebasan fiskal.
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari aktivitas operasionalnya. Rasio seperti Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE) sering digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas[14] Profitabilitas dipengaruhi oleh efisiensi operasional, pengelolaan biaya, dan kebijakan fiskal yang mendukung. Studi menunjukkan bahwa fasilitas Kawasan Berikat dapat meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, sehingga berdampak positif pada profitabilitas.
Namun demikian, penelitian oleh [14] menemukan bahwa tidak semua perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat mampu meraih peningkatan produktivitas atau kinerja keuangan yang signifikan. Meskipun insentif fiskal seperti pengurangan tarif impor dan peningkatan intensitas ekspor diterapkan, masih terdapat perusahaan yang mengalami kerugian atau penurunan profitabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat fasilitas kawasan berikat sangat bergantung pada efektivitas pengelolaan beban kepabeanan dan optimalisasi restitusi pajak.[15]
Pertanyaan Penelitian :
Landasan Teori
Teori Keagenan ( Agency Theory )
Teori keagenan (Agency Theory) dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang menjelaskan hubungan antara pihak principal (pemilik atau pemegang saham) dengan agent (manajemen atau pengelola perusahaan). Hubungan ini sering kali menimbulkan konflik kepentingan yang dikenal sebagai agency problem, yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terkait tujuan perusahaan.
Dalam konteks perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat, kebijakan fiskal seperti Customs Policy (bea masuk, PPN, dan PPh 22 impor) serta Tax Restitution (pengembalian pajak) dapat memengaruhi perilaku manajemen dalam mengelola keuangan perusahaan. Manajemen memiliki kecenderungan memaksimalkan keuntungan jangka pendek atau memperbesar kompensasi pribadi, yang terkadang bertentangan dengan kepentingan pemegang saham yang menginginkan efisiensi biaya, peningkatan profitabilitas, serta struktur modal yang sehat (Jensen & Meckling, 1976).
Menurut teori ini, pemberian insentif fiskal seperti pengurangan beban kepabeanan atau percepatan restitusi pajak dapat mengurangi tekanan keuangan, meningkatkan profitabilitas, serta mengoptimalkan struktur modal, sehingga membantu menyelaraskan kepentingan antara principal dan agent (Eisenhardt, 1989).
Namun, jika kebijakan kepabeanan tidak efisien atau restitusi pajak lambat, dapat muncul ketidakseimbangan keuangan perusahaan yang mendorong manajemen mengambil keputusan keuangan yang berisiko, seperti meningkatkan utang untuk menutup kekurangan likuiditas. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dan kepabeanan berperan sebagai mekanisme eksternal yang dapat memitigasi atau memperparah konflik keagenan(Ross, 1973).
Penerapan teori keagenan dalam penelitian ini menganalisis bagaimana pengaruh Customs Policy dan Tax Restitution terhadap Profitabilitas dan Struktur Modal, dimana profitabilitas yang baik dan struktur modal yang optimal merupakan indikator bahwa manajemen mampu menjalankan tugasnya sesuai kepentingan pemegang saham, sekaligus mengurangi potensi agency problem.
Teori Signal ( Signalling Theory)
Teori sinyal (Signaling Theory) dikembangkan oleh Spence (1973) yang menjelaskan bagaimana informasi asimetris antara pihak manajemen (insider) dan pihak eksternal seperti investor, kreditur, dan pemerintah dapat diminimalkan melalui penyampaian sinyal tertentu. Dalam lingkungan bisnis, sinyal tersebut dapat berupa laporan keuangan, struktur modal, tingkat profitabilitas, atau kepatuhan terhadap kebijakan fiskal.
Menurut teori sinyal, perusahaan dengan kinerja keuangan yang baik atau prospek bisnis yang positif akan berusaha mengirimkan sinyal positif kepada pasar untuk meningkatkan kepercayaan investor, mengurangi ketidakpastian, serta mempermudah akses pendanaan[16].
Dalam konteks penelitian ini, kebijakan fiskal seperti Customs Policy dan pemberian Tax Restitution berpotensi menjadi sinyal eksternal terkait kondisi keuangan perusahaan:
1. Perusahaan yang menerima restitusi pajak menunjukkan kepatuhan pajak dan efisiensi dalam proses administrasi fiskal, yang menjadi sinyal positif terkait kinerja dan tata kelola perusahaan.
2. Beban kepabeanan yang rendah akibat optimalisasi fasilitas kawasan berikat dapat menjadi sinyal efisiensi biaya, yang berdampak pada peningkatan profitabilitas dan struktur modal yang sehat.
3. Profitabilitas tinggi dan struktur modal yang optimal (rasio utang yang terkendali) juga berperan sebagai sinyal positif kepada pasar mengenai kondisi keuangan perusahaan.
Sebaliknya, keterlambatan restitusi pajak, tingginya beban kepabeanan, atau struktur modal yang terlalu agresif (utang tinggi) dapat menjadi sinyal negatif yang meningkatkan persepsi risiko perusahaan [3]
Dengan demikian, pengelolaan kebijakan kepabeanan dan restitusi pajak tidak hanya berdampak langsung terhadap keuangan perusahaan, tetapi juga berperan penting dalam menyampaikan sinyal kepada pihak eksternal, yang pada akhirnya memengaruhi kepercayaan pasar, akses modal, dan nilai perusahaan.
Kebijakan Kepabeanan ( Customs Policy)
Customs Policy atau kebijakan kepabeanan adalah seperangkat peraturan, tarif, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mengatur arus keluar-masuk barang melalui perbatasan suatu negara, termasuk pengenaan bea masuk, pajak impor, dan ketentuan fiskal lainnya (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2020). Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus menciptakan efisiensi perdagangan internasional.
Dalam konteks Kawasan Berikat, Customs Policy memberikan insentif fiskal berupa pembebasan atau penangguhan bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor atas barang yang digunakan untuk proses produksi yang hasil akhirnya diekspor. Indikator utama yang merepresentasikan beban kepabeanan atau kebijakan kepabeanan dalam penelitian ini meliputi:
1. Bea Masuk, tarif yang dikenakan atas barang impor sebagai instrumen proteksi industri dalam negeri dan sumber penerimaan negara.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, pajak yang dikenakan atas impor barang, yang dalam kawasan berikat dapat ditangguhkan atau dibebaskan.
3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, pajak penghasilan yang dipungut atas kegiatan impor, yang dapat ditangguhkan untuk perusahaan penerima fasilitas.
Fasilitas Kawasan Berikat merupakan kebijakan strategis pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan investasi, dengan memberikan penangguhan atau pembebasan pajak dan bea atas impor bahan baku, barang modal, dan peralatan pendukung produksi (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2020).
[17]menunjukkan bahwa fasilitas kawasan berikat melalui penangguhan bea masuk dan pajak impor dapat meningkatkan efisiensi biaya, cash flow perusahaan, serta menurunkan jumlah pajak terutang, yang pada akhirnya meningkatkan profitabilitas dan memperbaiki struktur permodalan.
Kebijakan kepabeanan yang efisien seperti fasilitas kawasan berikat mendorong efisiensi keuangan, meningkatkan profitabilitas, serta memperkuat struktur modal perusahaan [18].
Hal ini sejalan dengan Teori Keagenan, di mana pengelolaan beban kepabeanan menjadi salah satu cara manajemen menunjukkan kinerja yang baik, meminimalisir konflik kepentingan dengan pemegang saham, serta meningkatkan nilai perusahaan [12]
Restitusi Pajak ( Tax Restitution)
Restitusi pajak adalah proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Direktorat Jenderal Pajak, 2022). Dalam konteks perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat, restitusi pajak yang paling umum adalah pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor.
Perusahaan yang memperoleh fasilitas kawasan berikat berhak mendapatkan kemudahan fiskal, salah satunya adalah percepatan proses restitusi PPN atas barang impor yang belum ditangguhkan bea masuknya atau perolehan bahan baku pembelian lokal yang digunakan untuk produksi barang ekspor (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2020).
Restitusi pajak memberikan arus kas tambahan yang dapat digunakan untuk:
1. Memperkuat likuiditas perusahaan
2. Mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman jangka pendek
3. Meningkatkan efisiensi operasional
4. Mendukung struktur modal yang lebih sehat
Penelitian oleh Valentina (2019) menunjukkan bahwa percepatan restitusi pajak di perusahaan kawasan berikat berkontribusi terhadap peningkatan cash flow perusahaan, yang berdampak positif terhadap profitabilitas dan efisiensi keuangan.
[10] menunjukkan bahwa fasilitas fiskal, termasuk restitusi pajak, mendorong efisiensi biaya produksi yang meningkatkan daya saing ekspor. [14] mengungkap bahwa restitusi pajak membantu memperbaiki struktur modal dengan mengurangi ketergantungan pada utang jangka pendek.
Melalui perspektif Teori Keagenan, pengelolaan restitusi pajak yang baik dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham dengan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan (Jensen & Meckling, 1976). Dari sisi Teori Sinyal, kelancaran proses restitusi pajak menjadi sinyal positif terkait efisiensi keuangan dan kepatuhan pajak perusahaan di mata investor [19]
Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari kegiatan operasionalnya dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki secara efisien [12]. Profitabilitas menjadi indikator penting dalam menilai kinerja keuangan perusahaan dan digunakan oleh investor, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengambilan keputusan.
Menurut [20], profitabilitas dapat memberikan gambaran mengenai efektivitas pengelolaan aset dan efisiensi operasional perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu mengelola beban biaya, termasuk beban fiskal dan kepabeanan, dengan optimal.
Return on Assets (ROA) mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih dari seluruh aset yang dimiliki. Semakin tinggi ROA, semakin efisien perusahaan dalam memanfaatkan asetnya untuk memperoleh keuntungan [12].
ROA dipilih sebagai indicator penilaian profitabilitas karena menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari total aset yang dimilikinya. Indikator ini lebih komprehensif dibandingkan ROE (Return on Equity) karena melibatkan seluruh aset perusahaan, bukan hanya modal sendiri. ROA umum digunakan dalam penelitian akuntansi dan keuangan sebagai ukuran profitabilitas karena menunjukkan efisiensi manajemen dalam mengelola aset untuk menghasilkan keuntungan. Dalam konteks perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat, ROA tepat digunakan untuk menilai efektivitas pemanfaatan fasilitas fiskal (Customs Policy dan Tax Restitution) dalam meningkatkan kinerja aset produktif.
Penelitian oleh [12] menunjukkan bahwa pemberian insentif fiskal seperti bea masuk rendah dan restitusi pajak yang cepat dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan karena mengurangi beban biaya dan mempercepat perputaran modal.
Perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat mendapatkan keuntungan berupa efisiensi fiskal dan kepabeanan, yang pada akhirnya meningkatkan profitabilitas. [10] mengungkapkan bahwa efisiensi biaya melalui fasilitas kawasan berikat dapat memperbaiki cash flow perusahaan dan meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas dalam Perspektif Teori Sinyal dan Teori Keagenan, menjadi sinyal positif yang disampaikan manajemen kepada investor mengenai kesehatan keuangan perusahaan [19]. Tingkat profitabilitas yang tinggi juga membantu mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham seperti yang dijelaskan dalam Teori Keagenan [12], karena menunjukkan bahwa manajemen mampu mengelola perusahaan secara efisien dan memaksimalkan nilai pemegang saham.
Metode penelitian ini menggunakan variabel independen berupa customs policy dan tax restitution, serta variabel dependen berupa profitabilitas dan struktur modal. Customs policy diukur dengan rasio beban kepabeanan (total beban kepabeanan terhadap total nilai impor), sedangkan tax restitution diukur melalui rasio restitusi pajak (total restitusi terhadap total pajak terutang). Profitabilitas diukur dengan Return on Assets (ROA), sementara struktur modal menggunakan Debt to Equity Ratio (DER). Populasi penelitian mencakup 25 perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2022–2024. Teknik purposive sampling digunakan dengan kriteria tertentu, sehingga diperoleh 20 perusahaan sebagai sampel. Data penelitian bersumber dari laporan keuangan dan laporan tahunan yang diakses melalui situs resmi BEI, dengan jenis data berupa data sekunder kuantitatif.Analisis data dilakukan menggunakan regresi linier berganda dengan bantuan SPSS 26. Model persamaan yang digunakan adalah:
ROA=α+β1CP+β2TR+ϵ
DER=α+β3CP+β4TR+ϵ.
Untuk menjamin validitas model, dilakukan uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pengujian hipotesis dilakukan melalui uji t (parsial), uji F (simultan), serta uji koefisien determinasi (R²).
A. Statistik Deskriptif
Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata ROA sebesar 0,086 mengindikasikan kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih terhadap total asetnya sebesar 8,6%. DER memiliki rata-rata 1,124 yang menunjukkan struktur modal didominasi oleh pendanaan berbasis utang.
B. Uji Asumsi Klasik
Unstandardized
Residual
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
Uji Kolmogorov–Smirnov menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,200 (> 0,05) sehingga residual model berdistribusi normal.
C. Uji Multikoliniearitas
Figure 1. Table 2 Uji Multikoliniearitas
Nilai Tolerance untuk semua variabel independen > 0,10 dan nilai VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengalami masalah multikolinearitas.
D. Uji Heteroskedastisitas
E. Uji Autokorelasi
a. Predictors: (Constant), DER, ROA
b. Dependent Variable: profitabilitas , struktur modal
Nilai R sebesar 0,790 menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara variabel independen (Customs Policy dan Tax Restitution) dengan variabel dependen (Profitabilitas dan Struktur Modal). R Square sebesar 0,625 berarti 62,5% variasi profitabilitas dan struktur modal dapat dijelaskan oleh DER dan ROA, sedangkan 37,5% sisanya dipengaruhi faktor lain di luar model. Nilai Durbin–Watson sebesar 1,912 berada di antara batas du dan 4 – du, sehingga tidak terdapat indikasi autokorelasi
A. Hasil Uji Regresi (ROA)
Figure 2. Table 5 Hasil Uji Regresi
a. Dependent Variable: ROA
Customs Policy (X1) dan Tax Restitution (X2) berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, yang berarti peningkatan skor kebijakan kepabeanan dan percepatan restitusi pajak akan meningkatkan profitabilitas perusahaan.
G . Hasil Uji Regresi DER
Figure 3. Table 6 Hasil Uji Regresi
a. Dependent Variable: DER
Customs Policy (X1) dan Tax Restitution (X2) berpengaruh negatif signifikan terhadap DER. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik kebijakan kepabeanan dan semakin cepat restitusi pajak diterima, semakin rendah ketergantungan perusahaan pada utang.
H . Uji t ( Parsial )
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial, dengan tingkat signifikansi 5% (α = 0,05).
Figure 4. Table 7 Hasil Uji t (a)
Customs Policy (X1) memiliki t-hitung sebesar 3,212 dengan nilai signifikansi 0,002 (< 0,05), yang berarti berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Tax Restitution (X2) memiliki t-hitung sebesar 2,845 dengan signifikansi 0,006 (< 0,05), yang berarti juga berpengaruh positif signifikan terhadap ROA.
Figure 5. Table 8 Hasil Uji t (b)
Customs Policy (X1) memiliki t-hitung -2,701 dengan signifikansi 0,009 (< 0,05), yang berarti berpengaruh negatif signifikan terhadap DER. Tax Restitution (X2) memiliki t-hitung -3,114 dengan signifikansi 0,003 (< 0,05), yang berarti juga berpengaruh negatif signifikan terhadap DER.
I . Uji F
Uji F dilakukan untuk menguji apakah seluruh variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen
Figure 6. Table 9 Uji F Model ROA
Nilai F-hitung sebesar 18,562 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa CustomsPolicy(X1) dan Tax Restitution (X2) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap ROA.
Figure 7. Table 10 Hasil Uji F- Model DER
Nilai F-hitung sebesar 15,833 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa Customs Policy (X1) dan Tax Restitution (X2) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap DER
Koefisien determinasi digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan model menjelaskan variasi variabel dependen.
Kedua model memiliki nilai R² yang cukup tinggi (> 0,5), menunjukkan bahwa variabel independen (Customs Policy dan Tax Restitution) memiliki kekuatan penjelas yang baik terhadap variabel dependen. Pada model ROA, sebesar 62,5% variasi profitabilitas dapat dijelaskan oleh kedua variabel independen, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Pada model DER, sebesar 58,7% variasi struktur modal dapat dijelaskan oleh kedua variabel independen, sedangkan sisanya juga dipengaruhi faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini.
Pengaruh Customs Policy terhadap Profitabilitas (ROA)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Customs Policy berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Koefisien yang bernilai positif dengan tingkat signifikansi di bawah 5% mengindikasikan bahwa peningkatan efektivitas pemanfaatan fasilitas kepabeanan berkorelasi dengan kenaikan kemampuan perusahaan menghasilkan laba atas total asetnya. Temuan ini memperlihatkan bahwa kebijakan kepabeanan berperan sebagai pengungkit efisiensi biaya dan perbaikan kinerja operasional. Secara mekanisme, hubungan positif tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa saluran utama. Pertama, penangguhan bea masuk dan pembebasan PPN impor menurunkan biaya perolehan bahan baku/komponen produksi, sehingga COGS menurun dan margin laba kotor meningkat. Kedua, kemudahan administrasi seperti proses pemasukan/pengeluaran barang yang lebih sederhana serta penerapan IT inventory mereduksi biaya kepatuhan dan transaction costs (waktu, dokumentasi, biaya jasa kepabeanan). Ketiga, kelonggaran waktu penimbunan dan fasilitas re-ekspor meningkatkan fleksibilitas pengelolaan persediaan dan mempercepat cash conversion cycle, sehingga laba bersih relatif terhadap aset (ROA) terdongkrak.
Temuan empiris ini sejalan dengan literatur yang menempatkan fasilitas fiskal sebagai enabler efisiensi. Penelitian terdahulu [10] [11] mendapati bahwa perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat mengalami perbaikan arus kas dan kinerja laba akibat turunnya beban fiskal dan biaya transaksi. Penelitian ini memperluas bukti tersebut pada konteks perusahaan kawasan berikat yang terdaftar di bursa, dengan indikator profitabilitas yang eksplisit (ROA), sehingga relevan bagi investor dan regulator. Dalam kerangka teori, hasil ini konsisten dengan Agency Theory [12] , karena efisiensi biaya yang dihasilkan kebijakan kepabeanan menurunkan potensi konflik keagenan: manajemen dapat menunjukkan kinerja lebih baik tanpa menambah risiko leverage. Dari perspektif Signaling Theory [19], kenaikan ROA akibat optimalisasi fasilitas fiskal menjadi sinyal kualitas kepada pasar bahwa perusahaan efisien dalam mengelola operasi dan kepatuhan fiskal.
Variabel kebijakan yang bersifat ringkasan bisa menyamarkan variasi implementasi di level operasional (misalnya perbedaan lead time atau kualitas pengawasan antar kantor pelayanan). Selain itu, laporan keuangan tidak selalu menangkap efisiensi logistik secara langsung. Penelitian lanjutan dapat mengombinasikan data keuangan dengan indikator proses (lead time, frekuensi pemeriksaan fisik, tingkat compliance) serta mengeksplorasi natural experiment atas perubahan aturan untuk memperkuat identifikasi kausal. Bagi manajemen, hasil ini menekankan pentingnya strategi proaktif mengoptimalkan fasilitas perencanaan impor bahan baku, sinkronisasi IT inventory, dan tata kelola dokumen agar seluruh potensi penghematan benar-benar terkonversi menjadi kenaikan ROA. Bagi regulator, temuan ini menggarisbawahi perlunya konsistensi implementasi dan simplifikasi prosedur agar manfaat kebijakan makin terukur di tingkat perusahaan.
Pengaruh Tax Restitution terhadap Profitabilitas (ROA)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tax Restitution berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Koefisien regresi yang bernilai positif dan signifikan menegaskan bahwa semakin cepat dan lancar proses restitusi pajak, semakin besar kemampuan perusahaan untuk meningkatkan laba bersih relatif terhadap total aset. Secara mekanisme, restitusi pajak memperkuat posisi kas perusahaan. Dengan tambahan dana internal, perusahaan mampu membiayai aktivitas operasional dan investasi tanpa harus menambah utang atau menanggung biaya bunga. Hal ini berdampak langsung pada penurunan beban biaya dan peningkatan laba.
Dana restitusi yang cair tepat waktu memberi ruang bagi manajemen untuk merespons peluang bisnis, seperti pembelian bahan baku dalam jumlah besar saat harga rendah, atau melakukan ekspansi produksi. Fleksibilitas ini meningkatkan efisiensi operasional yang tercermin dalam kenaikan ROA. Restitusi pajak memperbaiki cash conversion cycle karena dana yang sebelumnya tertahan di kas negara kembali ke perusahaan. Dengan demikian, modal kerja dapat berputar lebih cepat sehingga margin keuntungan relatif terhadap aset meningkat. Temuan ini konsisten dengan penelitian [11] yang menyatakan bahwa percepatan restitusi pajak meningkatkan likuiditas dan pada akhirnya profitabilitas perusahaan.
Restitusi pajak yang diterima perusahaan memperkuat modal internal, sehingga laba dapat diperbesar tanpa harus menambah beban keuangan dari utang. Selain itu, tambahan kas dari restitusi meningkatkan likuiditas yang pada gilirannya memperbesar kapasitas perusahaan menghasilkan laba. Namun demikian, efek positif restitusi pajak terhadap ROA dapat bervariasi tergantung pada kondisi perusahaan. Pada perusahaan dengan skala besar, restitusi memberi dampak lebih signifikan karena nominal pengembaliannya relatif besar. Sebaliknya, pada perusahaan kecil, dampaknya bisa terbatas karena nilai restitusi relatif kecil terhadap total aset. Perbedaan efektivitas juga dapat timbul akibat kecepatan pelayanan restitusi di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak.
Batasan penelitian terletak pada pengukuran variabel restitusi pajak yang biasanya berbasis data sekunder agregat, sehingga tidak sepenuhnya menangkap kompleksitas proses administratif, seperti lamanya pemeriksaan, kualitas dokumentasi, atau adanya sengketa pajak. Penelitian lanjutan dapat mengombinasikan data kuantitatif dengan studi kualitatif (misalnya wawancara dengan praktisi pajak) untuk memperkaya pemahaman. Bagi manajemen, temuan ini menegaskan pentingnya kepatuhan pajak dan pengelolaan dokumen restitusi agar pengembalian pajak dapat dipercepat. Perusahaan yang proaktif dalam memenuhi ketentuan administrasi pajak akan memperoleh manfaat restitusi yang lebih besar, meningkatkan likuiditas, dan pada akhirnya memperkuat profitabilitas. Bagi regulator (DJP), percepatan proses restitusi dan penyederhanaan birokrasi sangat krusial untuk mendukung daya saing dunia usaha dan memperkuat kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pengaruh Customs Policy terhadap Struktur Modal (DER)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Customs Policy berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal yang diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER). Hal ini menandakan bahwa semakin besar perusahaan memanfaatkan fasilitas kepabeanan, semakin rendah ketergantungan perusahaan pada pendanaan berbasis utang. Dengan kata lain, insentif fiskal dari kawasan berikat mampu mengurangi leverage dan memperbaiki struktur modal perusahaan.
Penangguhan bea masuk dan pembebasan PPN impor menurunkan biaya bahan baku dan barang modal. Penurunan biaya ini meningkatkan margin laba, yang selanjutnya memperbesar retained earnings sebagai sumber pendanaan internal. Retained earnings yang kuat mengurangi kebutuhan perusahaan untuk berutang.
Dengan adanya kepastian fasilitas fiskal, perusahaan mampu menjaga arus kas yang lebih sehat. Arus kas yang stabil membuat perusahaan lebih nyaman menggunakan dana internal ketimbang mengakses pinjaman eksternal, sehingga DER menurun.
Kebijakan kepabeanan mengurangi beban fiskal dan biaya transaksi sehingga rasio utang dapat ditekan. Perusahaan dengan leverage rendah umumnya memiliki biaya modal (cost of capital) lebih rendah karena risiko finansial berkurang.
Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan [11] yang menunjukkan bahwa perusahaan kawasan berikat dengan pemanfaatan optimal fasilitas fiskal cenderung lebih mandiri dalam pendanaan. Namun, temuan ini berbeda dengan studi [13] yang menyatakan bahwa tidak semua fasilitas kawasan berikat menurunkan leverage karena sebagian perusahaan tetap mengandalkan utang untuk ekspansi besar. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh sampel penelitian. Khizazi meneliti perusahaan dengan intensitas investasi sangat tinggi, sementara penelitian ini berfokus pada perusahaan BEI yang lebih stabil dan sudah mapan dalam memanfaatkan insentif fiskal.
Hasil ini mendukung teori utama, perusahaan akan menyeimbangkan antara manfaat pajak dari utang dan biaya kebangkrutan. Dengan adanya fasilitas kepabeanan, manfaat pajak dari utang tidak lagi menjadi daya tarik utama karena beban fiskal sudah lebih ringan. Akibatnya, perusahaan lebih memilih menekan utang. Efisiensi biaya dari Customs Policy memperkuat kas dan laba ditahan, sehingga urutan prioritas pembiayaan (internal → utang → ekuitas) semakin mengarah pada internal financing. Dengan leverage rendah, potensi konflik antara manajer dan kreditur berkurang. Fasilitas fiskal dari kepabeanan berperan tidak hanya sebagai insentif biaya, tetapi juga sebagai mekanisme pengendalian konflik keagenan.
Efek Customs Policy terhadap DER kemungkinan lebih kuat pada Perusahaan berorientasi ekspor besar, karena manfaat fiskal dari penangguhan bea masuk lebih signifikan pada volume transaksi tinggi. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi, karena laba ditahan yang besar memperkuat kemampuan pembiayaan internal. Sebaliknya, pada perusahaan dengan ekspansi agresif atau sektor padat modal (capital intensive), pengaruhnya bisa lebih lemah karena kebutuhan dana eksternal tetap tinggi.
Pengukuran Customs Policy pada penelitian ini masih berbasis data sekunder agregat (misalnya rasio beban fiskal terhadap penjualan), sehingga variasi implementasi di level perusahaan atau perbedaan kualitas pelayanan kepabeanan antar kantor belum sepenuhnya tertangkap. Penelitian selanjutnya dapat memasukkan indikator lead time impor, frekuensi pemeriksaan fisik, atau biaya kepatuhan administrasi untuk mengukur lebih detail dampaknya pada struktur modal.
Bagi perusahaan, hasil ini menekankan perlunya optimalisasi fasilitas kawasan berikat agar struktur modal lebih sehat, leverage terkendali, dan risiko keuangan menurun. Bagi regulator, temuan ini memberi sinyal bahwa konsistensi kebijakan kepabeanan bukan hanya meningkatkan laba, tetapi juga memperbaiki kualitas struktur keuangan perusahaan sehingga stabilitas sektor industri lebih terjaga. Bagi investor, DER yang lebih rendah berkat efisiensi fiskal merupakan sinyal positif karena menunjukkan risiko finansial lebih rendah dan kinerja keuangan lebih berkelanjutan.
Pengaruh Tax Restitution terhadap Struktur Modal (DER)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tax Restitution berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal yang diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER). Artinya, semakin cepat dan efektif proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak, semakin kecil ketergantungan perusahaan pada pendanaan berbasis utang. Restitusi pajak berperan sebagai sumber pendanaan internal yang mampu menurunkan leverage dan memperbaiki kualitas struktur modal.
Dana restitusi meningkatkan kas perusahaan secara langsung. Dengan tambahan kas, kebutuhan pembiayaan modal kerja dapat dipenuhi tanpa harus menambah pinjaman, sehingga rasio DER menurun. Restitusi pajak yang diterima akan memperbesar laba bersih dan retained earnings. Hal ini menambah kapasitas perusahaan untuk melakukan reinvestasi menggunakan modal internal. Dengan ketersediaan dana internal, perusahaan tidak perlu membayar bunga atas pinjaman eksternal. Beban keuangan yang lebih ringan membuat manajemen cenderung menghindari utang tambahan, sehingga struktur modal lebih sehat.
Temuan ini konsisten dengan [21] yang menyatakan bahwa percepatan restitusi pajak memperkuat posisi likuiditas perusahaan dan menurunkan ketergantungan pada utang bank. Penelitian ini juga sejalan dengan hasil [11]yang menekankan bahwa restitusi pajak mendorong kinerja keuangan perusahaan melalui pengurangan leverage. Namun, ada perbedaan dengan penelitian [22] yang menyatakan bahwa dampak restitusi terhadap struktur modal tidak signifikan pada perusahaan padat modal, karena meskipun restitusi meningkatkan kas, kebutuhan dana ekspansi tetap lebih besar daripada dana yang dikembalikan negara. Perbedaan ini menunjukkan bahwa efek restitusi sangat tergantung pada karakteristik industri dan strategi pertumbuhan perusahaan.
Hasil ini dapat dijelaskan melalui Agency Theory, perusahaan lebih memilih menggunakan sumber pendanaan internal daripada eksternal. Dana restitusi pajak memperkuat posisi internal financing, sehingga utang tidak lagi menjadi pilihan utama. Perusahaan berusaha menyeimbangkan manfaat pajak dari utang dengan risiko kebangkrutan. Restitusi pajak mengurangi tekanan pembiayaan sehingga perusahaan tidak perlu menambah leverage untuk mendapatkan tax shield. Dengan menurunnya leverage akibat restitusi, konflik kepentingan antara pemegang saham, manajemen, dan kreditur dapat ditekan. Perusahaan dapat menjaga independensi keuangan tanpa intervensi besar dari pemberi pinjaman.
Pengaruh restitusi terhadap DER kemungkinan lebih kuat pada perusahaan dengan profitabilitas tinggi, karena restitusi dalam nominal besar langsung mengurangi kebutuhan utang. Perusahaan berorientasi ekspor, yang sering memiliki restitusi PPN lebih besar. Sebaliknya, pada perusahaan padat modal yang sedang melakukan ekspansi besar-besaran, dampak restitusi terhadap DER mungkin tidak signifikan karena kebutuhan pendanaan tetap jauh lebih besar daripada dana restitusi[23].
Variabel Tax Restitution pada penelitian ini diukur dengan data sekunder keuangan, sehingga tidak sepenuhnya menangkap variasi administrasi, misalnya lamanya proses pemeriksaan pajak atau adanya sengketa. Penelitian lanjutan dapat menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif (misalnya wawancara dengan pejabat pajak atau praktisi akuntansi) untuk memberikan gambaran lebih utuh. Bagi perusahaan, hasil ini menegaskan pentingnya kepatuhan pajak dan pengelolaan dokumen restitusi agar pencairan dana lancar, sehingga ketergantungan pada utang dapat ditekan. Bagi regulator (DJP), percepatan restitusi merupakan instrumen fiskal yang efektif untuk memperkuat struktur permodalan perusahaan, meningkatkan daya saing industri, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi. Bagi investor, DER yang lebih rendah berkat restitusi menjadi sinyal positif atas kesehatan finansial perusahaan, yang berarti risiko kebangkrutan lebih rendah dan nilai perusahaan lebih terjaga.
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif terhadap perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2022–2024, serta pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Customs Policy berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Pemanfaatan fasilitas kepabeanan, termasuk penangguhan bea masuk, pembebasan PPN impor, serta kemudahan administrasi, terbukti menekan biaya produksi, memperbaiki arus kas, dan meningkatkan efisiensi operasional. Efisiensi tersebut pada akhirnya memperbesar kemampuan perusahaan menghasilkan laba atas total asetnya. Tax Restitution berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Restitusi pajak yang cepat dan efektif memperkuat posisi kas dan likuiditas perusahaan, memberi fleksibilitas keuangan, serta memungkinkan perusahaan melakukan ekspansi atau investasi tanpa tambahan utang. Hal ini berdampak pada peningkatan laba bersih dan rasio profitabilitas. Customs Policy berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal (DER). Insentif fiskal dari kebijakan kepabeanan memperbesar laba ditahan, memperkuat pendanaan internal, dan mengurangi kebutuhan perusahaan terhadap utang. Akibatnya, DER menurun, risiko keuangan berkurang, dan struktur modal perusahaan menjadi lebih sehat. Tax Restitution berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal (DER). Dana pengembalian pajak lebih bayar berfungsi sebagai alternatif pendanaan internal yang menekan ketergantungan perusahaan pada pinjaman eksternal. Dampaknya adalah penurunan leverage, peningkatan stabilitas keuangan, dan perbaikan kualitas struktur modal perusahaan. Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa kebijakan fiskal pemerintah melalui Customs Policy dan Tax Restitution memiliki peran strategis dalam memperkuat kinerja keuangan perusahaan, baik melalui peningkatan profitabilitas maupun perbaikan struktur modal.
Berdasarkan hasil penelitian, implikasi praktis, serta keterbatasan yang diidentifikasi, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Perusahaan perlu mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas kawasan berikat dengan meningkatkan integrasi sistem IT inventory dan tata kelola rantai pasok. Langkah ini akan memaksimalkan efisiensi biaya dan memperbesar laba ditahan. Manajemen harus lebih proaktif dalam mengelola restitusi pajak, memastikan kelengkapan dokumen dan kepatuhan agar pencairan restitusi berjalan lancar. Dana restitusi sebaiknya diarahkan untuk memperkuat modal kerja, membiayai ekspansi, atau menurunkan utang jangka pendek. Perusahaan disarankan untuk menjadikan hasil efisiensi dari fasilitas fiskal sebagai strategi jangka panjang guna menjaga struktur modal yang sehat dan meningkatkan daya saing di pasar global.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai perlu meningkatkan kepastian hukum, simplifikasi prosedur, dan konsistensi implementasi fasilitas kawasan berikat agar manfaatnya lebih merata di berbagai sektor industri. Direktorat Jenderal Pajak perlu memperkuat kebijakan percepatan restitusi dengan sistem digital yang transparan, berbasis risiko, dan minim interaksi langsung untuk mengurangi hambatan birokrasi. Pemerintah dapat menjadikan fasilitas fiskal ini sebagai instrumen strategis kebijakan industri untuk meningkatkan daya saing ekspor, menarik investasi asing, serta menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Investor dapat menggunakan tingkat pemanfaatan Customs Policy dan kelancaran Tax Restitution sebagai indikator tambahan dalam menilai prospek perusahaan. Perusahaan yang efisien dalam memanfaatkan fasilitas fiskal biasanya memiliki ROA lebih tinggi dan DER lebih rendah, sehingga risiko finansial lebih terkendali. Penelitian berikutnya dapat memperluas variabel penelitian dapat, misalnya dengan menambahkan kinerja ekspor, nilai perusahaan, atau efisiensi operasional, sehingga analisis menjadi lebih komprehensif. Metodologi dapat dikembangkan menggunakan pendekatan mixed-method (kuantitatif dan kualitatif) untuk menangkap aspek implementasi kebijakan fiskal yang tidak sepenuhnya tercermin dalam data keuangan. Periode pengamatan dapat diperpanjang untuk menilai dampak jangka panjang kebijakan fiskal terhadap stabilitas keuangan dan nilai perusahaan.
[1] Badan Pusat Statistik, “Berita Resmi Statistik: Ekspor dan Impor Indonesia Juni 2025,” 2025.
[2] E. F. Brigham and J. F. Houston, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, 2020.
[3] B. L. Connelly, S. T. Certo, R. D. Ireland, and C. R. Reutzel, “Signaling Theory: A Review and Assessment,” Journal of Management, vol. 37, no. 1, pp. 39–67, Jan. 2011.
[4] Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Fasilitas Kawasan Berikat dan Insentif Kepabeanan untuk Meningkatkan Daya Saing Ekspor,” 2020.
[5] Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Laporan Kinerja Kawasan Berikat 2024,” 2025.
[6] Direktorat Jenderal Pajak, “Restitusi Pajak: Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak,” Jakarta, Kementerian Keuangan RI, 2022.
[7] K. M. Eisenhardt, “Agency Theory: An Assessment and Review,” Academy of Management Review, vol. 14, no. 1, pp. 57–74, 1989.
[8] L. J. Gitman and C. J. Zutter, Principles of Managerial Finance (14th ed.), Pearson Education, 2015.
[9] K. Eisenhardt, Teori Portofolio dan Analisis Investasi (10th ed.), 1989.
[10] L. J. Gitman, Principles of Managerial Finance Plus MyFinanceLab with Pearson eText, 2014.
[11] S. S. Harahap, Analisis Kritis Laporan Keuangan, Teori Akuntansi, vol. 15, 2009.
[12] M. C. Jensen and W. H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure,” Journal of Financial Economics, vol. 3, no. 4, pp. 305–360, 1976.
[13] Kasmir, Analisis Laporan Keuangan, Rajagrafindo Persada, 2018.
[14] Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 65/PMK.04/2021, 2021.
[15] Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Laporan Perdagangan Indonesia 2024, 2025.
[16] A. Khizazi, “Analisis Pengaruh Pemanfaatan Fasilitas Kawasan Berikat terhadap Produktivitas Perusahaan Manufaktur,” 2020.
[17] S. C. Myers, “Capital Structure,” Journal of Economic Perspectives, vol. 15, no. 2, pp. 81–102, 2001.
[18] A. Nabila et al., “Analisis Pengaruh Fasilitas KITE terhadap Nilai Ekspor,” Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, vol. 2, no. 1, Mar. 2018.
[19] M. Spence, “Job Market Signaling,” Quarterly Journal of Economics, vol. 87, no. 3, pp. 355–374, 1973.
[20] S. C. Myers, “Capital Structure,” Journal of Economic Perspectives, vol. 15, no. 2, pp. 81–102, 2001.
[21] N. Zulaika, M. Lestari, B. Zulfachri, and A. P. Sitepu, “Analisis Akuntabilitas Laporan Pertanggungjawaban dalam Pengelolaan Dana BOP PAUD,” Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, vol. 8, no. 2, pp. 1325–1334, May 2022.
[22] D. Valentina, “Analisis Pengawasan serta Pengaruh Kawasan Berikat terhadap Arus Kas, Beban Pajak, dan Aktivitas Ekspor PT XYZ,” Jurnal Manajemen Bisnis dan Kewirausahaan, vol. 3, 2019.
[23] C. Mangunsong, “Failure of an Export Promotion Policy? Evidence from Bonded Zones in Indonesia,” ERIA Discussion Paper Series, no. 1, 2019.