Chika Nanda Maghfira (1), Herman Ernandi (2)
General Background: Optimizing tax revenue is crucial for achieving sustainable economic growth and funding development in ASEAN countries. Specific Background: Macroeconomic factors, including Foreign Direct Investment (FDI), inflation, income per capita, and trade balance, are generally considered key determinants of a nation's tax base and revenue generation. Knowledge Gap: Existing literature shows inconsistencies regarding the sign and significance of these macroeconomic variables, particularly when assessing the role of economic growth as a potential moderator in the ASEAN context. Aims: This study aims to analyze the direct relationships between FDI, inflation, per capita income, exports, and imports with tax revenue, and to examine the moderating role of economic growth in these relationships across six ASEAN nations from 2015 to 2022. Results: Utilizing PLS-SEM, the findings indicate that per capita income and exports positively relate to tax revenue, while FDI, inflation, and imports show no direct relationship. Crucially, economic growth significantly weakens the negative association of inflation on tax revenue. Novelty: This research provides an updated, comprehensive analysis of direct and conditional macroeconomic relationships specific to the tax structure of key ASEAN economies. Implications: Policy focus should be placed on fostering higher per capita income and robust export sectors, alongside utilizing economic growth to mitigate inflationary risks to the tax system.
Highlights:
Per Capita Income and Exports are the significant drivers of Tax Revenue.
FDI, Inflation, and Imports show no direct relationship with Tax Revenue.
Economic Growth weakens the negative influence of Inflation on Tax Revenue.
Keywords: Per Capita Income, Exports, Tax Revenue, Economic Growth, ASEAN
Dalam era globalisasi, penerimaan pajak menjadi semakin krusial dengan meningkatnya privatisasi dan berkurangnya kontribusi sektor publik dalam perekonomian, pajak menjadi salah satu alat utama bagi pemerintah untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk pembangunan nasional [1]. Pembayaran pajak bersifat kontribusi wajib terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk mensejahterakan rakyat [2]. Pada dasarnya penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi [3]. Mengingat pentingnya peran pajak dalam mendukung pembangunan ekonomi, pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak [4].
Association of Southeast Asian Nationsatau yang biasa disebut ASEAN merupakan organisasi perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang beranggotakan Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Timor Leste [5][6]. ASEAN memiliki peran strategis dalam perekonomian global dengan menjadi pusat manufaktur dan perdagangan internasional dengan adanya perjanjian perdagangan bebas seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan keterlibatan dalam berbagai perjanjian ekonomi lainnya. Kawasan ASEAN juga termasuk ke dalam negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia Akan tetapi, dibalik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, Negara ASEAN memiliki rata-rata kontribusi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif rendah dibandingkan dengan negara asia pasifik lainnya [7]. Sehingga kawasan ASEAN menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan penerimaan pajak di tengah upaya memperkuatnya perdagangan internasional dan aliran modal asing.
Figure 1. Gambar 1 Rasio Pajak Terhadap GDP Sumber: Diolah dari OECD 2022
Pada tabel 1 menunjukkan rata-rata rasio pajak terhadap PDB di negara-negara Asia Pasifik sebesar 19,3 % pada tahun 2022 [8]. Akan tetapi, sebagian Negara ASEAN memiliki rasio pajak dibawah rata-rata Asia Pasifik. Laos mencatat rasio pajak terhadap PDB sebesar 10,3% pada tahun 2022, Indonesia dan Singapura sebesar 12,1 %, dan Malaysia sebesar 12,2 % [8]. Angka ini menunjukkan bahwa kawasan ASEAN secara relatif memiliki karakteristik sebagai low-tax jurisdiction atau menghadapi tantangan berupa tingkat tax evasion yang cukup signifikan, yang dapat berdampak pada rendahnya tingkat pemungutan pajak [7].
Investasi langsung asing atau Foreign Direct Investment (FDI) merupakan investasi yang dilakukan oleh individu atau perusahaan asing di suatu negara, di mana investor memiliki kepemilikan biasanya lebih dari 10 % dari total saham perusahaan dan menciptakan hubungan ekonomi lebih dalam antara negara asal investor dan negara tujuan investasi [9]. Berdasarkan laporan, ASEAN menerima investasi asing langsung (FDI) sebesar USD 174 miliar pada tahun 2021, menjadikannya salah satu destinasi investasi terbesar dunia [10]. Namun, pertumbuhan perdagangan dan investasi asing langsung tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam peningkatan penerimaan pajak secara optimal. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa FDI tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [3]. Namun, pada penelitian lainnya menyatakan bahwa FDI berpengaruh terhadap penerimaan pajak [11].
Inflasi juga menjadi faktor yang mempengaruhi stabilitas penerimaan pajak di negara-negara ASEAN [12]. Inflasi merupakan kondisi penurunan nilai uang karena banyak dan beredarnya uang yang terjadi dalam suatu negara sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang [13]. Sebagai contoh, inflasi di Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 4,69%, sementara di Laos mencapai 30,1% menjadikan Indonesia sebagai negara inflasi terendah bersama dengan Malaysia 4,4 %, Brunei Darussalam 3,8 %, dan Vietnam 2,89%. Tingkat inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan negara untuk mengumpulkan pajak [14]. Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak [15]. Sedangkan dari penelitian lainnya mengungkapkan inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [16].
Pendapatan Per Kapita adalah indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu negara [17]. Pendapatan per kapita di kawasan ASEAN menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Data Bank Dunia pada tahun 2022 mencatat bahwa pendapatan per kapita di Malaysia mencapai $11.993 Miliar, Thailand $6.913 Miliar, dan Filipina $3.499 Miliar. Meskipun demikian, tingkat kepatuhan pajak masih menjadi tantangan utama di beberapa negara, yang menghambat optimalisasi penerimaan pajak [18]. Semakin tinggi pendapatan per kapita maka semakin banyak pula penerimaan pajak yang akan diterima negara [19]. Dibuktikan pada penelitian terdahulu bahwa pendapatan per kapita memiliki pengaruh terhadap penerimaan pajak [3].
Kawasan ASEAN merupakan salah satu pusat perdagangan internasional yang signifikan di dunia. Perdagangan internasional ini dilatar belakangi dengan adanya ketidaksanggupan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya dari sumber barang maupun jasa [20].
Ekspor merupakan bagian integral dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara-negara di ASEAN [20]. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean [21]. Dengan total nilai ekspor mencapai USD 1,98 triliun pada tahun 2022 [22], ASEAN mencatat peningkatan sebesar 13,4% dibandingkan tahun 2021 sebesar USD 1.75 Triliun [23]. Singapura menjadi penyumbang terbesar ekspor dengan nilai USD 642,29 Miliar, Thailand sebesar USD 337,4 Miliar, Malaysia sebesar USD 246,9 Miliar, Vietnam sebesar USD 233,65 Miliar, dan diikuti oleh Indonesia sebesar USD 218,5 Miliar [23]. Ekspor utama ASEAN mencakup produk berteknologi tinggi, seperti sirkuit elektronik dan mikro komponen, yang mencapai nilai USD 190 miliar (12,5% dari total ekspor), dan perangkat telekomunikasi sebesar USD 99 miliar (6,61%) [24]. Hal ini menegaskan posisi ASEAN sebagai eksportir utama produk teknologi tinggi, didukung oleh industri elektronik di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam [25]. Melalui ekspor, negara dapat meningkatkan pendapatan nasional dan menciptakan lapangan kerja. Semakin tinggi pendapatan nasional dan banyaknya lapangan kerja, makan akan menyerap banyak jumlah tenaga hal ini diyakini mampu meningkatkan penerimaan pajak [26]. Berkaitan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan ekspor memiliki berpengaruh terhadap penerimaan pajak [27]. Akan tetapi, berbeda dengan penelitian lainnya yang menyimpulkan ekspor tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [28].
Impor didefinisikan sebagai kegiatan memasukkan barang ke dalam pabean [21], ASEAN mencatat total impor pada tahun 2022 sebesar USD 1,86 triliun [22], meningkat 14,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Komoditas impor terbesar meliputi mesin dan peralatan elektronik, dengan total nilai USD 392 miliar (26% dari total impor), dan bahan bakar mineral sebesar USD 230 miliar (15,6%) [24]. Tingginya nilai impor mencerminkan kebutuhan negara-negara ASEAN untuk mendukung proses industrialisasi serta memenuhi permintaan domestik sehingga dapat memicu penerimaan pajak yang lebih [29]. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa impor berpengaruh terhadap penerimaan pajak [28]. Namun, pada penelitian lain menyatakan bahwa impor memiliki pengauh negative terhadap penerimaan pajak [30].
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dalam proses pembangunan suatu negara [31]. Pertumbuhan ekonomi juga berguna untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu negara, baik yang telah tercapai, yang sedang berlangsung, maupun yang direncanakan untuk masa yang akan datang [32]. Pertumbuhan ekonomi tercermin melalui peningkatan PDB pada suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan sebaliknya, penurunan terjadi jika PDB menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya [33]. Sebagai indikator utama perekonomian, PDB menunjukkan pencapaian ekonomi suatu negara dan memberikan wawasan tentang prospek pertumbuhannya di masa depan yang mencakup nilai barang dan jasa [34]. Oleh karena itu, setiap negara berupaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkat setiap tahun. Salah satu instrumen utama yang digunakan untuk memengaruhi dan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan fiskal [35]. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi berpotensi meningkatkan penerimaan pajak, sementara penurunan dalam pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan turunnya penerimaan pajak [36]. Sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat memoderasi pengaruh terhadap penerimaan perpajakan [4].
Teori yang dipakai oleh peneliti sebagai dasar dari penelitian adalah Teori Neoklasik solow sebagai grand theory, teori keynesian dan teori merkantilisme sebagai teori pendukung. Teori Neoklasik Solow menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menyatakan bahwa akumulasi modal, angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi [37]. Teori Neoklasik Solow mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi, seperti modal fisik dan tenaga kerja. Ketika masing-masing faktor produksi dianalisis secara terpisah, terjadi pengembalian yang semakin berkurang (diminishing returns). Namun, jika kedua faktor tersebut dianalisis secara bersamaan, hasilnya menunjukkan kondisi dengan pengembalian tetap (constant returns to scale), hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlu ada keseimbangan dan kombinasi yang tepat antara modal dan tenaga kerja [37]. Didukung oleh Teori Keynesian yang muncul sebagai respons terhadap krisis ekonomi 1930-an yang berfokus pada inflasi [38]. Teori keynesian secara umum dipahami sebagai ukuran umum aktivitas ekonomi dan fluktuasi tingkat harga barang dan jasa. Teori keynesian berfokus pada bagaimana fluktuasi dalam permintaan agregat dapat mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan teori keynesian mendukung intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi dan mendorong peningkatan permintaan agregat untuk mengendalikan laju inflasi. Selain untuk mengendalikan inflasi juga berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar dapat mengoptimalkan penerimaan pajak meskipun inflasi sedang terjadi [38]. Penelitian ini juga didukung oleh Teori Merkantilisme yang menilai kekuatan sebuah negara berdasarkan kekayaan yang dimilikinya dengan menekankan akumulasi kekayaan melalui pengendalian perdagangan luar negeri dan peningkatan surplus perdagangan [39]. Oleh karena itu, negara-negara perlu mendorong aktivitas ekspor lebih tinggi dan membatasi impor untuk memperbesar akumulasi kekayaan tersebut. Perdagangan internasional mengacu pada aktivitas perdagangan yang melibatkan transaksi antara pelaku ekonomi dari satu negara dengan pelaku ekonomi dari negara lain, mencakup barang maupun jasa [40]. Teori merkantilisme juga menyatakan bahwa kebijakan ekonomi untuk impor harus menaikkan tarif tinggi bagi barang impor dan memberikan subsidi bagi industri dalam negeri. Pelaku ekonomi tersebut dapat meliputi individu, perusahaan ekspor-impor, perusahaan industri, perusahaan milik negara, hingga lembaga pemerintah yang transaksi ekonominya tercermin dalam neraca perdagangan [40].
Pada penelitian ini mengkombinasikan variabel dari ketiga penelitian terdahulu yaitu variabel investasi langsung asing, pendapatan per kapita, inflasi, ekspor, dan impor [4], [3], dan [28]. Penelitian ini memiliki kesamaan yang terletak pada variabel dependen penerimaan pajak dan variabel moderasi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan perbedaan dari penelitian terdahulu yaitu pada objek penelitian yang sebelumnya hanya lingkup negara Indonesia dan emerging asia menjadi ASEAN, keterbaruan periode tahun penelitian yaitu dari tahun 2015-2022, serta penggabungan beberapa variabel independennya, Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh investasi langsung asing, pendapatan per kapita, inflasi, ekspor, dan impor berpengaruh terhadap penerimaan pajak dengan menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderasi. Penelitian ini diharapkan berguna untuk mendalami peran pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderating sebagai bahan dasar merumuskan kebijakan fiskal yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan ekonomi global di masa yang akan datang. Peneliti juga berharap temuan ini bisa menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya jika ingin meneliti topik yang sama.
Pengaruh Investasi Langsung Asing Terhadap Penerimaan Pajak
Investasi langsung asing (FDI) sangat berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan membawa aliran modal, teknologi, dan keahlian dari satu negara ke negara lainnya. Kehadiran perusahaan asing memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara salah satunya penerimaan pajak seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan berbagai jenis pajak lainnya [3]. Teori Neoklasik Solow mengungkapkan bahwa akumulasi modal akan meningkat dikarenakan investasi [37]. Berdasarkan penelitian terdahulu bahwa FDI berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [15] [41].
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Investasi Langsung Asing Berpengaruh Positif Terhadap Penerimaan Pajak
Pengaruh Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak
Inflasi dapat diartikan sebagai penurunan nilai mata uang dibandingkan dengan nilai barang dan jasa secara umum, yang terjadi ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat melebihi kebutuhan, tingkat inflasi diukur berdasarkan survey terhadap data harga berbagai barang dan jasa yang dianggap mewakili pola konsumsi masyarakat dengan membandingkan harga saat ini dengan harga pada periode sebelumnya [16]. Teori keynesian menganggap inflasi terjadi ketika masyarakat berusaha memenuhi kebutuhan yang melampaui kemampuan mereka. Hal ini menyebabkan permintaan barang dan jasa melebihi jumlah yang tersedia, sehingga memicu munculnya kesenjangan inflasi [38]. Inflasi yang tinggi mengurangi daya beli masyarakat yang pada akhirnya menurunkan konsumsi dan penerimaan pajak sektor konsumsi. Akan tetapi, studi terdahulu menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [15].
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirumuskna hipotesis sebagai berikut:
H2: Inflasi Berpengaruh Positif Terhadap Penerimaan Pajak
Pengaruh Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan penduduk suatu negara dalam periode tertentu, yang diwakili oleh PDB per kapita. PDB per kapita dihitung dengan membagi nilai PDRB suatu wilayah dengan jumlah penduduknya. Indikator ini sering digunakan untuk menggambarkan pembangunan ekonomi, di mana semakin tinggi nilai PDB per kapita suatu wilayah, semakin sejahtera penduduknya. Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara penerimaan pajak daerah dan PDB per kapita, karena semakin tinggi PDB per kapita, semakin besar pula potensi penerimaan pajak daerah [42]. Pada teori neoklasik solow, tenaga kerja menjadi salah satu aspek dalam pertumbuhan ekonomi [37]. Hal ini bisa dikatakan semakin banyak jumlah tenaga kerja yang diserap maka akan meningkatkan pendapatan per kapita suatu negara sehingga mempengaruhi kemampuan untuk membayar pajak. Penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [42].
H3: Pendapatan Per Kapita Berpengaruh Positif Terhadap Penerimaan Pajak
Pengaruh Ekspor Terhadap Penerimaan Pajak
Peningkatan aktivitas ekspor dapat meningkatkan pajak yang dikenakan pada barang yang diekspor, seperti bea keluar, serta pajak penghasilan dari perusahaan yang terlibat dalam kegiatan ekspor. Teori merkantilisme mengungkapkan negara-negara harus memaksimalkan ekspor daripada impor [40]. Pada penelitian terdahulu menyimpulkan ekspor berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [27].
H4: Ekspor Berpengaruh Positif Terhadap Penerimaan Pajak
Pengaruh Impor Terhadap Penerimaan Pajak
Kegiatan impor memiliki peran penting bagi suatu negara karena, apabila sebuah negara tidak mampu memproduksi barang secara efisien, impor menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan dan memenuhi kebutuhan domestik [20]. Keberadan impor juga ikut menyumbang ke dalam pendapatan negara berupa pajak impor. Teori merkantilisme menyatakan impor harus lebih rendah daripada ekspor agar menjaga industri dalam negeri karena impor yang terlalu tinggi dapat menyebabkan defisit neraca perdagangan, yang dianggap merugikan ekonomi negara [40]. Pada penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa impor berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [28].
H5: Impor B erpengaruh Positif P enerimaan P ajak
Pertumbuhan Ekonomi Memperkuat Pengaruh Positif Investasi Langsung Asing Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan ekonomi yang kuat dapat meningkatkan daya tarik suatu negara bagi investor asing, yang berpotensi meningkatkan aliran FDI. Dengan aliran FDI yang meningkat, suatu negara berpotensi mendapatkan penerimaan pajak yang lebih banyak, sehingga, banyak negara berlomba untuk menarik investor asing ke dalam negaranya [4]. Teori neoklasik solow menyatakan bahwa akumulasi modal yang terdiri dari investasi sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara karena dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi diperlukan modal untuk mewujudkannya [37]. Penelitian terdahulu mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat memperkuat Investasi Asing Langsung atau FDI terhadap penerimaan pajak [4].
H6: Pertumbuhan Ekonomi Mem perkuat Pengaruh Positif Investasi Langsung Asing Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan Ekonomi Memoderasi Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan inflasi yang akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, jika inflasi terlalu tinggi maka akan berdampak negatif untuk negara karena masyarakat yang sebelumnya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat mengalami kesusahan ketika terjadi kenaikan harga barang atau jasa yang sangat tinggi, sehingga mereka tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan tersebut dan akhirnya akan menimbulkan kemiskinan [43]. Hal ini akan menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi dan dapat menyebabkan turunnya penerimaan pajak. Teori keynesian mengakui harus ada campur tangan pemerintah untuk mengendalikan inflasi agar tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang positif [38]. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirumuskna hipotesis sebagai berikut:
H7: Pertumbuhan Ekonomi Mem perkuat Pengaruh Positif Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan Ekonomi Memoderasi Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan membuka banyak lapangan kerja baru, dengan banyak orang yang bekerja maka pendapatan per kapita cenderung meningkat sehingga menambah penerimaan pajak. Pendapatan per kapita yang lebih tinggi, daya beli masyarakat juga meningkat. Teori neoklasik solow menyatakan semakin banyak tenaga kerja yang terserap maka akan meningkatkan pendapatan per kapita dan taraf kemakmuran masyarakat sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang [37].
H 8 : Pertumbuhan Ekonomi Mem perkuat Pengaruh Positif Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan Ekonomi Memoderasi Ekspor Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan ekonomi yang baik sering kali disertai dengan peningkatan daya saing produk domestik yang lebih kompetitif di pasar internasional dan dapat meningkatkan volume ekspor, kenaikan ekspor akan berkonstribusi pada peningkatan penerimaan pajak [44]. Teori merkantilisme memaparkan pemerinatah harus memprioritaskan ekspor agar negara bisa menjadi mandiri dan kompetitif di dunia internasional [40].
H 9 : Pertumbuhan Ekonomi Mem perkuat Pengaruh Positif Ekspor Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan Ekonomi Memoderasi Impor Terhadap Penerimaan Pajak
Pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan memicu konsumsi barang impor, khususnya produk yang tidak dapat diproduksi secara lokal. Kenaikan volume impor ini meningkatkan penerimaan pajak negara dari tarif bea masuk dan PPN barang impor [29]. Meskipun demikian impor harus diminimalisir sesuai dengan teori merkantilisme yang menyebutkan bahwa impor tidak boleh lebih besar dari ekspor agar tetap menjaga industri domestik daan menjaga agar negara negara tidak terlalu ketergantungan oleh produk impor yang sebenarnya bisa di produksi sendiri [40].
H 10 : Pertumbuhan Ekonomi Mem perkuat Pengaruh Positif Impor Terhadap Penerimaan Pajak
Kerangka Konseptual
Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Figure 2. Gambar 2 Kerangka Konseptual
Jenis Penelitian
Pendekatan yang dilakukan penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagaian-bagian dan fenomena serta kausalitas hubungan-hubungannya dan dapat diukur dengan melakukan teknik statistik, matematika atau komputasi [45].
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung melalui organisasi lembaga, badan dan institusi yang tersedia untuk digunakan keperluan penelitian [45]. Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai didapatkan dari https://data.worldbank.org situs website resmi The World Bank (TWB) mengenai data Investasi Langsung Asing, Inflasi, Pendapatan Per Kapita, Ekspor, Impor, Penerimaan Pajak, dan Pertumbuhan Ekonomi pada Negara ASEAN.
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, dan Timor Leste..Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive samplingdengan kriteria pengambilan sampel sebagai berikut :
Diperoleh enam negara yang akan diteliti yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura dan Timor Lestedengan periode penelitian dari tahun 2015-2022. Data diunduh pada jam 22:00 WIB ditanggal 22 April 2025.
Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, yang dilakukan dengan mengumpulkan catatan atau dokumen yang berkaitan dengan investasi asing langsung, inflasi, pendapatan per kapita, ekspor, impor penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi Negara ASEANdengan rentang waktu 2015-2022.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variable-variabel yang sedang diteliti menjadi bersifat operasional dalam kaitannya dengan proses pengukuran variabel-variabel tersebut [46]. Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi variabel independen, variabel dependen, dan variabel moderasi. Variabel independen mencakup Investasi Asing Langsung (X1), Inflasi (X2), Pendapatan Per Kapita (X3), Ekspor (X4), Impor(X5). Variabel independennya adalah Penerimaan Pajak (Y), sedangkan variabel moderasinya yaitu Pertumbuhan Ekonomi (Z). Definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian ini dijelaskan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Figure 3. Tabel 2 Definisi Operasional Variabel Sumber : Diolah Penulis (2025)
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS) dengan bantuan software SmartPLS 3.2.9. PLS adalah salah satu pendekatan yang termasuk dalam metode Structural Equation Modeling (SEM). Teknik SEM-PLS digunakan untuk menguji dan mengukur hubungan antar variabel dalam suatu model konseptual yang di dalamya melibatkan sejumlah variabel laten. Terdapat tiga tahapan analisis PLS yaitu Inner Model, Outer Model dan Uji Hipotesis [57].
Pengujian Outer Model bertujuan untuk menentukan hubungan antara variabel laten dengan indikator-indikatornya. Dengan kata lain, Outer Model menggambarkan bagaimana setiap indikator terkait dengan variabel laten yang diwakilinya. Uji yang pada outer model ada dua yaitu uji validitas dan uji reliabilitas [58].
a. Uji Validitas
Uji validitas terbagi menjadi dua jenis, yaitu validitas konvergen dan validitas diskriminan. Validitas konvergen merujuk pada sejauh mana sekelompok indikator yang digunakan untuk mengukur suatu variabel laten menunjukkan tingkat konsistensi yang tinggi. Dengan kata lain, indikator-indikator tersebut harus mampu merepresentasikan variabel laten yang sama secara signifikan, dengan kriteria nilai Outer Loading > 0,7 dan Average Variance Extracted (AVE) > 0,5 [57] [59]. Sementara itu, validitas diskriminan menekankan sejauh mana dua variabel laten yang berbeda dapat dibedakan secara jelas atau tidak saling tumpeng tindih berdasarkan hasil pengukurannya [57]. Pengukurannya dilakukan melalui Cross Loading, di mana nilai pada konstruk tersebut harus lebih besar dibandingkan nilai konstruk variabel lainnya, serta menggunakan metode Fornell-Larcker yang menunjukkan bahwa angka pada tabel harus mengerucut [59].
b. Uji Realibilitas
Untuk menguji konsistensi indikator dalam mengukur suatu konstruk, digunakan dua metode reliabilitas, yaitu Cronbach Alpha dan Composite Reliability. Nilai kedua metode ini diharapkan lebih dari 0,7, yang menunjukkan tingkat reliabilitas yang tinggi [59]. Baik uji validitas maupun reliabilitas dilakukan secara otomatis menggunakan algoritma dalam perangkat lunak PLS.
2. Inner Model atau Model Struktural
Pengujian model struktural (Inner Model) dilakukan dengan mengevaluasi nilai R-Square sebagai indikator goodness-of-fit model. Selanjutnya, dilakukan uji signifikansi dengan memperhatikan nilai koefisien parameter dan nilai t-statistik pada laporan Algorithm Bootstrapping - Path Coefficients. Hasil dianggap signifikan jika nilai t-statistik lebih besar dari t-tabel (untuk tingkat signifikansi 5%, t-tabel = 1,96) [60].
3. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan model struktural untuk menilai dan memberikan landasan dalam pengambilan keputusan mengenai populasi. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis terhadap p-value dan t-statistik, yang melibatkan koefisien jalur dalam prosesnya.
a. P-Value
Pengujian ini bertujuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan signifikan antar konstruk (path coefficient) dalam model struktural. Nilai p < 0,05 menunjukkan hubungan signifikan. Semakin kecil p-value, semakin kuat tingkat signifikansi hubungan tersebut [61].
b. T-statistik
Pengujian ini digunakan untuk mengevaluasi signifikansi koefisien jalur (path coefficient) dan menentukan apakah hubungan antar variabel bersifat signifikan. Hubungan antar variabel dinyatakan signifikan jika t > 1,96 atau p < 0,05. Sebaliknya, jika t < 1,96 atau p ≥ 0,05, hubungan tersebut dianggap tidak signifikan [62].
Perhitungan p-value dan t-statistik akan dihitung secara otomatis di Smartpls 3.2.9 melalui Teknik bootstrapping untuk mengetahui bagaimana estimasi hubungan antar variabel.
Mengevaluasi Outer Model atau Model Pengukuran
Pengujian outer model digunakan untuk menggambarkan keterkaitan indikator dengan variabel laten yang diwakili. Terdapat dua uji yaitu uji validitas dan uji realibitas.
1.1 Convergen Validity
Dalam validitas konvergen menilai indikator berdasarkan besarnya korelasi setiap item pengukuran (indikator) dengan konstruk. Apabilai nilai outer loading > 0,7 dan nilai Average Variance Extracted (AVE) > 0.5 maka dapat dikatakan sebagai indikator yang valid dan memenuhi standar.
Berdasarkan tabel 3, nilai outer loadings dari seluruh indikator menunjukan angka > 0,7 sehingga data dapat dikatakan valid.
Berdasarkan tabel 4, nilai AVE seluruh konstruk sudah memenuhi standar yang ditunjukkan dengan nilai > 0,5.
1.2 Discriminant Validity
Pada uji validitas diskriminan dilakukan dengan menilai sejauh mana antar variabel laten dapat dibedakan secara jelas. Pengukuran dilakukan melalui pendekatan Cross Loading, di mana nilai pada konstruk yang dianalisis harus lebih tinggi daripada nilai konstruk variabel lainnya. Selain itu, metode Fornell-Larcker diterapkan untuk memastikan bahwa angka-angka dalam tabel menunjukkan konsentrasi yang lebih terfokus atau harus mengerucut.
Berdasarkan hasil olah data tabel 5, Cross Loadings menunjukan nilai yang lebih besar dibandingkan nilai konstruk variabel lainnya. Pada tabel 6, nilai Fornell-Larcker menunjukkan angka yang mengerucut. Sehingga dapat dikatakan valid dan sudah memenuhi syarat uji validitas diskriminan
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha dan Composite Reliability yang bertujuan menguji data dengan kriteria angka > 0,7 untuk dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi.
Berdasarkan tabel hasil uji di atas, bahwa seluruh nilai konstruk setiap variabel menunjukkan angka > 0,7 yang menunjukkan keseluruhan variabel telah memenuhi kriteria dan memiliki realibilias tinggi .
Mengevaluasi Inner Model atau Model Struktural
Uji inner model akan dilakukan pengujian R Square atau R2 yang bertujuan untuk memprediksi dan melihat seberapa besar kontribusi pengaruh yang diberikan antara variabel laten X dengan variabel Y. Nilai 0,25 menunjukkan bahwa pengaruh kontribusi lemah/weak, nilai 0,50 menunjukkan bahwa pengaruh kontribusi sedang/moderat dan nilai 0,75 menunjukkan bahwa pengaruh kontribusi kuat/substantial.
Tabel tersebut menunjukkan nilai R Square untuk penerimaan pajak sebesar 0,723 atau 72,3% yang bisa diartikan bahwa investasi langsung asing, inflasi, pendapatan per kapita dan ekspor impor mempengaruhi penerimaan pajak secara substantial atau kuat, sedangkan 27,7% sisanya merupakan pengaruh variabel lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.
Pengujian Hipotesis
Pada alat uji SmartPLS 3 pengujian hipotesis dilakukan dengan cara bootstrapping yang selanjutnya akan dilakukan analisis P-Value dan T- Statistik . Adapun jika P-Value < 0,05 dan T-Statistik > 1,96, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, jika P-Value > 0,05 dan T-Statistik < 1,96, maka hipotesis ditolak.
Berdasarkan tabel hasil uji hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. H1 ditolak karena nilai P-Value 0,000 < 0,050 dan T-Statistik 4,157 > 1,96 yang dapat diartikan bahwa investasi langsung asing berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak.
2. H2 ditolak karena nilai P-Value 0,192 > 0,050 dan T-Statistik 1,307 < 1,96 yang dapat diartikan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
3. H3 diterima karena nilai P-Value 0,000 < 0,050 dan T-Statistik 4,812 > 1,96 yang dapat diartikan bahwa pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak.
4. H4 diterima karena nilai P-Value 0,000 < 0,50 dan T-Statistik 5,761 > 1,96 yang dapat diartikan bahwa ekspor berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak.
5. H5 ditolak karena nilai P-Value 0,000 < 0,050 dan T-Statistik 6,510 > 1,96 yang dapat diartikan bahwa impor berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak.
6. H6 ditolak karena nilai P-Value 0,183 > 0,050 dan T-Statistik 1,334 < 1,96 yang dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif investasi langsung asing terhadap penerimaan pajak.
7. H7 diterima karena nilai P-Value 0,045 < 0,050 dan T-Statistik 2,009 > 1,96 yang dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi memperlemah pengaruh positif inflasi terhadap penerimaan pajak.
8. H8 ditolak karena nilai P-Value 0,854 > 0,050 dan T-Statistik 0,184 < 1,96 yang dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh pendapatan per kapita terhadap penerimaan pajak.
9. H9 ditolak karena nilai P-Value 0,644 > 0,050 dan T-Statistik 0,462 < 1,96 yang dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif ekspor terhadap penerimaan pajak.
10. H10 ditolak karen nilai P-Value 0,705 > 0,050 dan T-Statistik 0,379 < 1,96 yang dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif impor terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, investasi langsung asing berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Investasi langsung asing atau FDI adalah investasi yang dilakukan individu atau perusahaan dari satu negara ke negara lain. Meningkatnya FDI sering kali membawa banyak manfaat ke dalam negara yang dituju seperti transfer teknologi, pengetahuan, keterampilan dan menciptakan lapangan kerja dengan pendirian perusahaan baru. Namun, investasi langsung asing dapat menurunkan penerimaan pajak dikarenakan perusahaan yang didirikan dari FDI menciptakan persaingan dengan perusahaan lokal karena perusahaan lokal biasanya mengalami kekurangan teknologi, pengetahuan dan keterampilan sehingga perusahaan lokal cenderung kurang produktif dibandingkan perusahaan dari FDI. Selain itu, perusahaan FDI dapat melakukan transfer pricing ke negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah dari pada tarif pajak negara tuan rumah bagi FDI. Situasi ini menyebabkan tuan rumah FDI tidak mendapatkan keuntungan penerimaan pajak yang optimal dari FDI. Teori neoklasik solow mengungkapkan bahwa akumulasi modal akan meningkat dikarenakan investasi apabila investasi langsung asing yang dilakukan dapat memberikan penerimaan pajak optimal kepada tuan rumah FDI [37]. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa FDI berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak [11]. Namun, pada penelitian lainnya menyebutkan bahwa FDI tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [3]. Pada penelitian lainnya juga mengungkapkan bahwa FDI berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [41].
2. Pengaruh Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak, Inflasi, yang mencerminkan kenaikan umum harga barang dan jasa dalam suatu perekonomian, berperan sebagai indikator utama dalam menilai stabilitas ekonomi suatu negara. Ketika inflasi terjadi, harga barang dan jasa meningkat, meskipun harga barang dan jasa naik tapi pendapatan yang dikenakan pajak tidak mengalami peningkatan yang sebanding. Sehingga penerimaan pajak tetap stagnan atau bahkan menurun. Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat, meskipun masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang semakin mahal karena sebenarnya daya beli masyarakat tidak meningkat [63]. Ketika harga barang dan jasa meningkat lebih cepat daripada pendapatan, individu dan perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban pajak mereka. Dalam hal ini, meskipun nominal pajak meningkat, penerimaan pajak riil dapat menurun karena masyarakat tidak mampu membayar pajak yang lebih tinggi dan pada akhirnya mereka akan berusaha untuk tidak membayar pajak atau bisa disebut tax avoidance [64]. Teori Keynesian mengungkapkan bahwa inflasi terjadi ketika masyarakat berusaha memenuhi kebutuhan yang melampaui kemampuan mereka. Hal ini menyebabkan permintaan barang dan jasa melebihi jumlah yang tersedia, sehingga memicu munculnya kesenjangan inflasi [38]. Hasil ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang mengungkapkan bawa inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [16]. Akan tetapi, pada penelitian terdahulu lainnya menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [15].
3. Pengaruh Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap penduduk di suatu negara selama periode tertentu, biasanya dihitung setiap tahun. Indikator ini menunjukkan tingkat kesejahteraan ekonomi serta kemampuan beli masyarakat. Jika pendapatan per kapita meningkat, semakin banyak individu dan keluarga yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Pada teori neoklasik solow, tenaga kerja menjadi salah satu aspek dalam pertumbuhan ekonomi [37]. Kenaikan pendapatan tersebut memperluas basis pajak penghasilan, sehingga jumlah orang yang harus membayar pajak bertambah dan total penerimaan pajak pun meningkat. Seiring bertambahnya pendapatan per kapita, baik individu maupun perusahaan cenderung memperoleh penghasilan yang lebih besar. Hal ini dapat menyebabkan jumlah pajak penghasilan yang dibayarkan juga meningkat, mengingat besaran pajak penghasilan biasanya bergantung pada tingkat pendapatan. Dengan demikian, penerimaan negara dari pajak penghasilan akan naik seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dengan demikian temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak [3] dan [42].
4. Pengaruh Ekspor Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, ekspor berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Ekspor merupakan aktivitas menjual barang dan jasa dari satu negara ke negara lain. Kegiatan ini menjadi salah satu elemen penting dalam neraca perdagangan. Ketika perusahaan berhasil melakukan ekspor, biasanya pendapatan mereka meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut dapat memperluas basis pajak penghasilan, karena perusahaan yang memperoleh keuntungan lebih besar akan membayar pajak penghasilan lebih tinggi. Teori merkantilisme mengungkapkan peningkatan aktivitas ekspor dapat meningkatkan pajak yang dikenakan pada barang yang diekspor, seperti bea keluar, serta pajak penghasilan dari perusahaan yang terlibat dalam kegiatan ekspor [40]. Selain itu, ekspor juga berperan dalam meningkatkan penerimaan pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Walaupun barang ekspor umumnya tidak dikenai PPN, pertumbuhan ekspor dapat merangsang perkembangan sektor lain dalam perekonomian yang dikenai PPN, seperti industri pengolahan dan jasa. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa ekspor berpengaruh terhadap penerimaan pajak [27] dan [65]. Akan tetapi, berbeda dengan penelitian lainnya yang menyimpulkan ekspor tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak [28].
5. Pengaruh Impor Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, impor berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Impor adalah aktivitas pembelian barang dan jasa dari luar negeri untuk dipasarkan di dalam negeri. Selain itu, impor menjadi bagian penting dalam neraca perdagangan. Saat barang diimpor, pemerintah akan mengenakan pajak impor atau bea masuk sebagai sumber pendapatan langsung. Teori merkantilisme juga menyatakan bahwa kebijakan ekonomi untuk impur harus menaikkan tarif tinggi bagi barang impor [40]. Kebijakan tarif impor yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aktivitas impor karena pemberlakuan tarif atau kebijakan proteksi yang agresif juga dapat mengurangi total penerimaan pajak di sektor impor [66]. Namun, diberlakukannya pajak impor yang tinggi ini dapat menyebabkan persaingan yang dapat mengurangi penjualan produk lokal, apabila harga barang impor lebih murah dibandingakan produk lokal meskipun barang impor juga dikenakan PPN. Jika volume impor meningkat, hal ini dapat mengurangi konsumsi barang lokal yang nantinya berdampak kepada penurunan kapasitas produksi lokal sehingga mengarah kepada penurunan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang seharusnya memberikan kontribusi [67]. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa impor berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak [30]. Akan tetapi, penelitian lainnya mengungkapkan bahwa impor berpengaruh terhadap pajak [28] dan [27].
6. Pertumbuhan Ekonomi Tidak Dapat Memoderasi Pengaruh Investasi Langsung Asing Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif investasi langsung asing terhadap penerimaan pajak. Investasi langsung asing (FDI) sering dianggap sebagai sumber utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Meski FDI dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi, terdapat kondisi di mana percepatan pertumbuhan ekonomi justru tidak dapat memoderasi pengaruh negatif FDI terhadap penerimaan pajak. Teori neoklasik solow menyatakan bahwa akumulasi modal yang terdiri dari investasi sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi, ketika pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi arus masuk investasi menyebabkan negara-negara cenderung bersaing secara lebih ketat untuk menarik FDI [37]. Dalam upaya tersebut, pemerintah sering kali memberikan berbagai insentif pajak yang besar, seperti pengurangan tarif atau pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu. Kebijakan ini bisa menurunkan potensi penerimaan pajak dari FDI, walaupun investasi tersebut meningkatkan aktivitas ekonomi [3]. Selain itu, jika pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada sektor-sektor yang didominasi oleh FDI, hal ini dapat menimbulkan risiko ketergantungan. Apabila sektor-sektor tersebut mengalami penurunan, dampaknya bisa merugikan penerimaan pajak, terutama jika pendapatan pajak dari sektor tersebut menurun [3].
7. Pertumbuhan Ekonomi Memperlemah Pengaruh Positif Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi memperlemah pengaruh positif inflasi terhadap penerimaan pajak. Inflasi menyebabkan harga barang dan jasa naik, yang secara nominal memperluas basis pajak, khususnya untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penghasilan. Dalam sistem pajak progresif, inflasi dapat membuat wajib pajak masuk ke kelompok tarif yang lebih tinggi meskipun daya beli riil mereka tidak bertambah, sehingga penerimaan pajak secara nominal meningkat. Namun, inflasi yang terlalu tinggi bisa menurunkan daya beli masyarakat, mengurangi tingkat konsumsi, dan pada akhirnya menekan penerimaan pajak dalam nilai riil. Pada teori keynesian mengungkapkan bahwa dengan adanya intervensi pemerintah dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi guna mencapai berbagai sasaran, termasuk mengendalikan laju inflasi [38]. Adanya upaya intervensi pemerintah seperti pembuatan kebijakan moneter dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang akhirnya meningkatkan produksi, konsumsi, dan investasi, yang semuanya memperbesar basis pajak. Adanya pertumbuhan ekonomi juga menaikkan pendapatan riil masyarakat, sehingga mereka mampu membayar pajak yang lebih tinggi akibat inflasi tanpa harus memangkas konsumsi secara signifikan [68].
8. Pertumbuhan Ekonomi Tidak Dapat Memoderasi Pengaruh Positif Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif pendapatan per kapita terhadap penerimaan pajak. Pendapatan per kapita biasanya dianggap sebagai faktor yang positif untuk meningkatkan penerimaan pajak jika diiringi oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan merata. Dalam hal ini, tidak selamanya pertumbuhan ekonomi yang cepat selalu diikuti oleh peningkatan yang merata dalam pendapatan. Jika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor-sektor tertentu yang tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup atau tidak meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan, maka dampak positif dari pendapatan per kapita terhadap penerimaan pajak dapat berkurang. Pada teori neoklasik solow, tenaga kerja menjadi salah satu aspek utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi [37]. Apabila pertumbuhan ekonomi yang pesat namun tidak merata dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan yang lebih besar, di mana sebagian kecil populasi mendapatkan sebagian besar manfaat dari pertumbuhan. Dalam situasi ini, meskipun pendapatan per kapita meningkat, penerimaan pajak tidak meningkat secara proporsional karena basis pajak yang lebih kecil dan konsentrasi pendapatan pada segelintir individu. Dalam hal ini dapat menyebabkan individu dan perusahaan lebih cenderung mencari cara untuk menghindari pajak, terutama jika mereka merasa bahwa pajak yang dikenakan tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima dari pemerintah, sehingga menyebabkan penurunan penerimaan pajak [69].
9. Pertumbuhan Ekonomi Tidak Dapat Memoderasi Pengaruh Positif Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif ekspor terhadap penerimaan pajak. Ketika negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat maka negara tersebut memiliki peningkatan kapasitas produksi yang menarik lebih banyak permintaan global. Dalam upaya untuk memenuhi permintaan global yang meninggi, pemerintah meningkatkan jumlah produk ekspor. Karena hal tersebut pemerintah sering kali memberikan insentif pajak untuk menaikkan jumlah suku cadang devisa kepada perusahaan yang berorientasi ekspor. Insentif pajak bisa berupa pengurangan tarif pajak, pembebasan pajak untuk periode tertentu, atau fasilitas lainnya. Meskipun insentif pajak dapat meningkatkan volume ekspor dan untuk menaikkan cadangan devisa. Pemberian insentif menyebabkan pengurangan potensi penerimaan pajak dari sektor ekspor, karena perusahaan yang mendapatkan insentif pajak mungkin membayar pajak yang lebih sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Sehingga kenaikan ekspor yang diikuti oleh insentif pajak berakibat pengurangan penerimaan pajak [70]. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori merkantilisme yang memaparkan bahwa pemerintah perlu meningkatkan ekspor agar negara bisa bersaing secara internasional serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibidang ekspor [40]. Namun, insentif pajak yang diberikan untuk mendorong ekspor dapat mengakibatkan penurunan penerimaan pajak, sehingga menciptakan tantangan bagi pemerintah dalam menyeimbangkan antara mendorong ekspor dan mempertahankan pendapatan pajak yang stabil [71].
10. Pertumbuhan Ekoonomi Tidak Dapat Memoderasi Pengaruh Positif Impor Terhadap Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi tidak dapat memoderasi pengaruh positif impor terhadap penerimaan pajak. Pertumbuhan ekonomi dapat memengaruhi pola konsumsi masyarakat, di mana terjadi peningkatan permintaan terhadap produk dalam negeri yang lebih terjangkau dibandingkan barang impor. Selain itu, perusahaan lokal cenderung meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan tersebut, sehingga kebutuhan akan barang impor pun berkurang. Perubahan ini dapat menyebabkan penurunan volume impor dan pada akhirnya, menurunkan penerimaan pajak dari sektor impor sehingga penerimaan pajak barang dalam negeri meningkat hal ini PPn dan PPh [72]. Teori merkantilisme menyebutkan bahwa pemerintah harus meminimalisir impor agar tidak bergantung pada sektor impor untuk meningkatkan penerimaan pajak dan lebih menggunakan produk buatan dalam negeri [40]. Penerimaan pajak dari impor juga dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas di pasar global. Jika harga komoditas turun, nilai impor bisa menurun meskipun jumlah barang yang diimpor tetap, sehingga penerimaan pajak juga ikut berkurang [72].
Berdasarkan analisis data menggunakan Partial Least Square (PLS) yang dilakukan pada alat uji SmartPLS 3 menyimpulkan bahwa pada penelitian ini variabel investasi langsung asing berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Hasil variabel pendapatan per kapita berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Variabel ekspor berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Variabel impor berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Hasil dari penelitian ini, pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderasi memperlemah pengaruh FDI, pendapatan per kapita, ekspor, dan impor terhadap penerimaan pajak. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi memperkuat pengaruh inflasi terhadap penerimaan pajak.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian yang akan mendatang. Pertama, periode yang digunakan belum bisa memakai tahun yang paling terbaru (2015-2022) karena kendala data yang belum diunggah dari pihak kedua. Kedua, penelitian ini tidak menyertakan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak diluar variabel ekonomi seperti kepatuhan pajak, tingkat pendidikan dan tingkat kemiskinan. Ketiga, objek penelitian yang digunakan hanya sebatas lingkup negara ASEAN. Keempat, penelitian ini juga terbatas dalam mengidentifikasi faktor-faktor eksternal lain, seperti pandemic COVID-19 yang terjadi pada tahun 2019-2021 dan perubahan kebijakan pajak yang mungkin mempengaruhi tingkat penerimaan pajak.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan bagi pemerintah agar berupaya untuk menekan kenaikan inflasi karena inflasi dapat meningkatkan basis pajak nominal apabila dapat dikendalikan, meratakan pertumbuhan ekonomi agar ketidakmerataan pendapatan yang memengaruhi pendapatan per kapita terhadap penerimaan pajak dapat ditingkatkan dari kemerataan pertumbuhan. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel ekonomi dan penerimaan pajak sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan fiskal dan kondisi ekonomi global. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan berkelanjutan untuk memaksimalkan penerimaan pajak.
[1] M. M. Rahman, “The Effect of Taxation on Sustainable Development Goals: Evidence from Emerging Countries,” Heliyon, vol. 8, no. 9, pp. 1–9, 2022. doi: 10.1016/j.heliyon.2022.e10512.
[2] “Undang-Undang KUP Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,” 2007. [Online]. Available: http://digilib.unila.ac.id/4949/15/BAB II.pdf
[3] M. L. Syahrial, “Pengaruh Pendapatan Perkapita, Investasi Lansgsung Asing, Keterbukaan Perdagangan Dan Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak Di Indo,” 2024.
[4] I. R. Dewi and S. Wijaya, “Liberalisasi Perdagangan, Penanaman Modal Asing, Dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak Pada Emerging Asia Dengan Moderasi Pertumbuhan Ekonomi,” Jurnalku, vol. 3, no. 2, pp. 203–221, 2023. doi: 10.54957/jurnalku.v3i2.467.
[5] “ASEAN Member State,” asean,org. [Online]. Available: https://asean.org/member-states/
[6] A. Binsar, “Ini Dia 11 Negara ASEAN, Dari Nama Ibu Kota Hingga Mata Uang,” rri.co.id. [Online]. Available: https://www.rri.co.id/ktt-asean/349397/ini-dia-11-negara-asean-dari-nama-ibu-kota-hingga-mata-uang
[7] R. M. Qibthiyyah, C. Tjen, S. Sabrina, and P. Paska, “Seri Analisis Fiskal TAX POLICY BRIEF Perpajakan di ASEAN,” LPEM FEB UI, Tax Educ. Res. Cent., no. September, pp. 1–10, 2023.
[8] OECD, Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024: Tax Revenue Buoyancy in Asia. 2024. [Online]. Available: https://www.oecd-ilibrary.org/taxation/revenue-statistics-in-asia-and-the-pacific-2024_e4681bfa-en
[9] Oecdilibrary, “Foreign Direct Investement (FDI).” [Online]. Available: https://www.oecd-ilibrary.org/finance-and-investment/foreign-direct-investment-fdi/indicator-group/english_9a523b18-en
[10] Asian Development Bank et al., “ASEAN Investment Report 2022 Pandemic Recovery and Investment Facilitation,” ASEAN Secr. United Nations Conf. Trade Dev., no. December, pp. 10–40, 2022. [Online]. Available: www.adb.org/ar2022/digital
[11] A. W. Pratomo, “The Effect of Foreign Direct Investment on Tax Revenue in Developing Countries,” Development Studies Research, vol. 10, no. 1, 2023. doi: 10.1080/21665095.2023.2220580.
[12] F. Silfiani and A. Febyansayah, “Effect of Inflation, Economic Growth, and Tax Rates on Tax Ratios in Asian Countries in the Period 2015-2020,” International Journal of Current Science Research and Review, vol. 05, no. 03, pp. 781–794, 2022. doi: 10.47191/ijcsrr/v5-i3-23.
[13] KBBI, “Pengertian Inflasi.”
[14] V. B. Kusnandar, “Inflasi Indonesia Tergolong Rendah di ASEAN per Agustus 2022,” Data Books.katadata.co.id. [Online]. Available: https://databoks.katadata.co.id/ekonomi-makro/statistik/acb88e83f9197f4/inflasi-indonesia-tergolong-rendah-di-asean-per-agustus-2022
[15] I. D. Puspasari and M. Gazali, “Pengaruh Keterbukaan Perdaganagan, Penanaman Modal Asing, Pertumbuhan Ekonomi, dan Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia Tahun 1990-2021,” Jurnal Ekonomi Trisakti, vol. 2, no. 2, pp. 405–418, 2022.
[16] N. R. Rustian and S. Y. Kusumastuti, “Pengaruh Pendapatan Nasional, Tingkat Inflasi, Nilai Tukar, Suku Bunga Terhadap Penerimaan Pajak Negara Tahun 2008-2022,” Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi, vol. 2, no. 1, pp. 555–568, 2023. [Online]. Available: https://www.jseh.unram.ac.id/index.php/jseh/article/view/45
[17] R. O. NISP, “Pendapatan Perkapita: Pengertian, Fungsi, Komponen, & Contoh.” [Online]. Available: https://www.ocbc.id/id/article/2021/08/23/pendapatan-perkapita-adalah
[18] T. W. B. TWB, “GDP Perkapita dalam USD,” 2019. [Online]. Available: https://datahelpdesk.worldbank.org/knowledgebase/articles/906519-world-bank-country-and-lending-groups
[19] M. H. Fadhilah and S. Wijaya, “Pengaruh Pendapatan Perkapita Dan Ukuran Ekonomi Terhadap Penerimaan Perpajakan Dengan Variabel Pengendalian Korupsi Sebagai Moderasi Pada Negara BRICS,” Journal of Law, Administration and Social Sciences, vol. 3, no. 2, pp. 122–132, 2023. doi: 10.54957/jolas.v3i2.476.
[20] Rika Kurnia, Zuha Lazuardi Muhammad Nafaris Al-Fath, Melita Sari, and Muhammad Kurniawan, “Pengaruh Perdagangan Internasional Ekspor Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Negara ASEAN,” Anggaran Jurnal Publikasi Ekonomi dan Akuntansi, vol. 2, no. 2, pp. 280–301, 2024. doi: 10.61132/anggaran.v2i2.617.
[21] “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006,” 2006.
[22] O. WORLD, “ASEAN Export Import Data.” [Online]. Available: https://oec.world/en/profile/international_organization/association-of-southeast-asian-nations
[23] A. Secretariat, “ASEAN Statistical Highlight 2022,” 2022.
[24] Trendeconomy, “ASEAN | Imports and Exports | World | Electrical Machinery and Equipment and Parts Thereof; Sound Recorders and Reproducers, Television Image and Sound Recorders and Reproducers, and Parts and Accessories of Such Articles | Value (US$) and Value Growth, Y.” [Online]. Available: https://trendeconomy.com/data/h2/ASEAN/85
[25] A. K. Alika, “Mengenal Komoditas Ekspor dan Impor Negara ASEAN,” easylink. [Online]. Available: https://easylink.id/komoditas-ekspor-dan-impor-negara-asean/
[26] Unctad, “Trade, Employment and Development.” [Online]. Available: https://unctad.org/topic/trade-agreements/trade-employment-and-development
[27] D. Bramantia, “Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Di Indonesia,” JUMBIWIRA Jurnal Manajemen Bisnis Kewirausahaan, vol. 2, no. 2, pp. 133–143, 2023. doi: 10.56910/jumbiwira.v2i2.770.
[28] L. N. Sholikhah, “Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Amnesty, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Perusahaan, Konsumsi, Ekspor dan Impor Terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia Tahun 1988-2018,” Repository Universitas Muhammadiyah Semarang. [Online]. Available: https://v2.eprints.ums.ac.id/archive/etd/86701/16/16
[29] Z. M. Ardira and Z. Muttaqin, “Pajak Perdagangan Internasional Sebagai Penerimaan Negara,” El-Mal Jurnal Kajian Ekonomi Bisnis Islam, vol. 5, no. 8, pp. 3546–3553, 2024. doi: 10.47467/elmal.v5i8.3271.
[30] R. F. Shubati and T. Awad Warrad, “The Effects of International Trade Openness on Government Revenue: Empirical Evidence from Middle East and North African Region Countries,” International Journal of Economics and Financial Issues, vol. 8, no. 1, pp. 153–160, 2018. [Online]. Available: http:www.econjournals.com
[31] S. Soekapdjo and A. M. Esther, “Determinasi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan Di ASEAN-3,” vol. 16, no. 2, pp. 176–182, 2019.
[32] Safuridar, “Peranan Instrumen Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh,” vol. 2, no. 1, pp. 38–52, 2018.
[33] Fakultas hukum dan bisnis Universitas Medan Area, “Pertumbuhan Ekonomi Makro adalah Sebuah Indikator yang Penting dalam Ekonomi.” [Online]. Available: https://ekonomi.uma.ac.id/2023/10/25/pertumbuhan-ekonomi-makro-adalah-sebuah-indikator-yang-penting-dalam-ekonomi/
[34] tim callen, “Gross Domestic Product: An Economy’s All,” IMF. [Online]. Available: https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/gross-domestic-product-GDP
[35] M. Horton and A. El-ganainy, “Fiscal Policy: Taking and Giving Away,” IMF. [Online]. Available: https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/Fiscal-Policy
[36] M. Inriama and M. S. Setyowati, “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Foreign Direct Investment dan Tax Rate Terhadap Penerimaan PPh Badan Negara ASEAN,” Indonesian Treasury Review Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, vol. 5, no. 4, pp. 325–342, 2020. doi: 10.33105/itrev.v5i4.240.
[37] E. Harlan and S. Wijaya, “Pengaruh Sektor Jasa Dan Pendapatan Per Kapita Terhadap Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Variabel Pengendalian Korupsi,” Educoretax, vol. 3, no. 3, pp. 160–172, 2023. doi: 10.54957/educoretax.v3i3.472.
[38] M. S. Meiriza, D. L. Sinaga, F. U. Tinambunan, S. L. Saragi, and V. Sitio, “Teori Ekonomi Keynesian Mengenai Inflasi dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Modern,” Innovation Journal of Social Science Research, vol. 4, no. 2, pp. 2433–2445, 2024.
[39] M. A. Hye, “Mercantilism: An Economic School of Thought of Early-modern Era,” Scholars Journal of Economics, Business and Management, vol. 4, no. 5, pp. 328–330, 2017. doi: 10.36347/sjebm.2017.v04i05.004.
[40] M. A. Perdana, “Analisis Kebijakan Impor Indonesia Berdasarkan Pendekatan Ekonomi Politik,” vol. 5, no. 4, pp. 1–9, 2024.
[41] D. I. Listikarini and S. Wijaya, “Moderasi Keterbukaan Perdagangan Pada Pendapatan Per Kapita Dan Foreign Direct Investment Terhadap Penerimaan Pajak Di ASEAN-5,” vol. 3, no. 3, pp. 145–159, 2023.
[42] E. Herawati and Saipudin, “Pengaruh Pendapatan Perkapita, Jumlah Penduduk Bekerja dan Jumlah Jenis Pajak Daerah terhadap Penerimaan Pajak Daerah pada Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan,” AT-TAWASSUTH Jurnal Ekonomi Islam, vol. VIII, no. I, pp. 1–19, 2023.
[43] R. A. Pratama and S. Widyastuti, “Pengaruh Penerimaan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia,” Veteran Economic Management Accounting Review, vol. 1, no. 1, pp. 104–120, 2022. doi: 10.32897/jsikap.v3i1.103.
[44] Y. Mahzalena and H. Juliansyah, “Pengaruh Inflasi, Pengeluaran Pemerintah Dan Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia,” Jurnal Ekonomi Regional Unimal, vol. 2, no. 1, pp. 37–50, 2019. doi: 10.29103/jeru.v2i1.1742.
[45] K. Abdullah et al., Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini, 2022.
[46] N. Ridha, “Proses Penelitian, Masalah, Variabel Dan Paradigma Penelitian,” Jurnal Hikmah, vol. 14, no. 1, pp. 62–70, 2017. doi: 10.1111/cgf.13898.
[47] D. A. Putri, “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, BI Rate, Nilai Tukar Terhadap Investasi Asing Langsung Di Indonesia Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada Perusahaan Subsektor Pertambangan Tahun 2019-2022),” 2024.
[48] T. W. Bank, “The World Bank Foreign Direct Investment Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD?end=2023&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM&most_recent_year_desc=false&start=2017
[49] T. W. Bank, “The World Bank Inflation Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.DEFL.KD.ZG?end=2022&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM-LA-SG&most_recent_year_desc=false&start=2017
[50] S. A. Srg, A. Mayes, and Rosyetti, “Pengaruh Produk Domestik Bruto Riil, Nilai Tukar dan Tingkat Suku Bunga Riil Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 1994-2013,” Jom FEKON, vol. 2, no. 1, pp. 1–16, 2015.
[51] T. W. Bank, “The World Bank Export of Goods and Services Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/NE.EXP.GNFS.CD?end=2022&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM-LA-SG&most_recent_year_desc=false&start=2017
[52] I. P. Astuti and F. J. Ayuningtyas, “Pengaruh Ekspor Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia,” Jurnal Ekonomi Studi Pembangunan, vol. 19, no. 1, pp. 1–10, 2018. doi: 10.18196/jesp.19.1.3836.
[53] T. W. Bank, “The World Bank Import of Goods and Services Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/NE.IMP.GNFS.CD?end=2022&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM-LA-SG&most_recent_year_desc=false&start=2017
[54] T. W. Bank, “The World Bank Tax Revenue Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS?end=2022&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM-LA-SG&most_recent_year_desc=false&start=2017
[55] T. W. Bank, “The World Bank GDP Growth Data.” [Online]. Available: https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2023&locations=KH-ID-MY-PH-TH-TL-BN-VN-MM&most_recent_year_desc=false&start=2017
[56] R. Ronaldo, “Pengaruh Tingkat Inflasi Dan Pengangguran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia,” MUTAWAZIN (Jurnal Ekonomi Syariah), vol. 21, no. 5, pp. 137–157, 2019. doi: 10.54045/mutawazin.v5i1.1813.
[57] D. Z. Iba, M. SE, and A. Wardhana, Pengolahan Data dengan SPSS. Eureka Media Aksara, 2023.
[58] M. S. M. Saragih, Megasari Gusandra S.E., M. M. Saragih, Liharman S.E, M. S. Dr. Sugito, S.E., and A. Hantono, S.E., S.Pd., M.Si., Metode Penelitian Kuantitatif di Manajemen dengan aplikasi SEM-PLS. Eureka Media Aksara, 2024.
[59] R. Ardiansyah and Y. Ermawati, “Minat Karir Pajak dalam Perspektif: Persepsi Karir, Pertimbangan Pasar Kerja, Penghargaan Finansial dan Motivasi Sosial,” Jurnal Akuntansi Value Relevansi, vol. 1, no. 1, pp. 16–23, 2023. doi: https://doi.org/10.55098/vrja.v1i1.280.
[60] I. M. A. A. Pering, “Kajian Analisis Jalur Dengan Structural Equation Modeling (SEM) Smart-PLS 3.0 I,” Jurnal Satyagraha, vol. 03, no. 02, pp. 28–48, 2021.
[61] N. Kock, “Hypothesis Testing with Confidence Intervals and P Values in PLS-SEM,” International Journal of e-Collaboration, vol. 12, no. 3, pp. 1–6, 2016. doi: 10.4018/IJeC.2016070101.
[62] A. Fitri and M. Ibrahim, “Pengaruh Financial Literacy dan Pendapatan Terhadap Perilaku Keuangan Pada Pelaku UMKM Sektor Kuliner di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis,” eCo-Buss, vol. 6, no. 1, pp. 262–270, 2023. doi: 10.32877/eb.v6i1.755.
[63] T. Rinanda and P. Pangeran, “Pengaruh Inflasi terhadap Distribusi Pendapatan,” All Fields Science Journal Liaison Academic Sosiety, vol. 3, no. 4, pp. 50–56, 2023. doi: 10.58939/afosj-las.v3i4.688.
[64] W. Oktaviani, L. Syafitri, and A. Munandar, “Pengaruh Inflasi Dan PDB Terhadap Penerimaan PPN Di Indonesia,” Jurnal EK BI, vol. 7, no. 1, pp. 169–183, 2024. doi: 10.37600/ekbi.v7i1.1377.
[65] N. Rahmadani and V. Oktavia, “Pengaruh Makro Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak Dengan Ekspor Pengaruh Makro Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak Dengan Ekspor Sebagai Variabel Mediasi,” Jurnal Ekonomi dan Pendidikan JEKPEND, vol. 7, no. 1, pp. 9–18, 2024. doi: 10.26858/jekpend.v7i1.56080.
[66] S. Evenett and M.-A. Muendler, “Tariffs cannot fund the government: Evidence from tariff Laffer curves,” CEPR. Accessed: Jun. 14, 2025. [Online]. Available: https://cepr.org/voxeu/columns/tariffs-cannot-fund-government-evidence-tariff-laffer-curves
[67] A. F. Fizabillah et al., “Pengaruh Ekspor Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia,” Transekonomika Akuntansi, Bisnis Dan Keuangan, vol. 2, no. 6, pp. 107–126, 2022. doi: 10.55047/transekonomika.v2i6.275.
[68] R. Hagemann, “Tax Policies for Inclusive Growth,” 2018.
[69] H. A. Alfaruqi, D. K. Sugiharti, and A. Cahyadini, “Peran Pemerintah Dalam Mencegah Tindakan Penghindaran Pajak Sebagai Aktualisasi Penyelenggaraan Pemerintaan Yang Baik Dalam Bidang Perpajakan,” ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, vol. 3, no. 1, pp. 113–133, 2019.
[70] U. Perdamayan and A. Adji M.EC Ph.D, “Pengaruh Insentif Fiskal (Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) Terhadap Kinerja Ekspor Perusahaan.” [Online]. Available: https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/215299
[71] H. Kronfol and V. Steenbergen, “Evaluating the Costs and Benefits of Corporate Tax Incentives,” 2020. [Online]. Available: www.worldbank.org
[72] E. Wicaksono, S. S. Nugroho, and A. D. Woroutami, “Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia,” Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 4, no. 1, pp. 1–16, 2020. doi: 10.31685/kek.v4i1.506.